IslamLib – “Umat Islam ini memang sedang sakit dan bangkrut nalar. Salah satu tandanya, fitnah yang menyebar di mana-mana,” tulis saya di status Facebook pada 30 September 2015. Ungkapan itu muncul karena kegelisahan yang disebabkan maraknya berbagai berita tanpa sumber yang jelas.
Fenomena munculnya berbagai media sosial sekarang memberikan kita kemudahan mengakses berbagai informasi yang berkembang. Pada satu sisi, kita bisa mendapatkan berbagai pengetahuan yang sangat berharga. Pada sisi lain, tak sedikit yang memanfaatkan perkembangan dunia yang saling terhubung itu sebagai media untuk menyebarkan propaganda atau fitnah demi kepentingan tertentu.
Salah satu indikatonya adalah bangkrutnya nalar (atau akal budi) di kalangan umat Islam. Dalam beberapa pekan lalu, kita bisa melihat bagaimana sekelompok umat Islam yang menyikapi tragedi Mina dengan mengaitkannya ke konflik Sunni dan Syi’ah. Tak sedikit yang menyalahkan Iran meski itu murni kesalahan pemerintah Arab Saudi sebagai pihak pengelola.
Dalam soal haji, ada fenomena menarik diamati. Sebagian masih enggan mengkritik segala kebijakan/pelayanan yang tidak memuaskan karena takut akan hilangnya nilai sakral ibadah tersebut. “Hajinya nanti tidak mabrur,” katanya. Padahal, karena ongkos yang semakin tinggi, sepatutnya mereka berhak untuk mengkritik.
Islam memang muncul di tanah Arab tapi hal itu tidak berarti bahwa mengkritik Arab (Saudi) sama dengan mengkritik Islam. Di sini, kita harus membedakan yang sakral dari yang profan. Menunaikan ibadah haji merupakan sesuatu yang sakral, sedangkan pengelolaannya adalah hal profan.
Karena pertimbangan itu, yang sering disuarakan kalangan Islam liberal pada dasarnya adalah kritik atas pengelolaannya sebagaimana yang sudah disinggung Harja Saputra dan Masdar F. Mas’udi di sini.
Hal itu pula yang melatarbelakangi Ziauddin Sardar—salah seorang intelektual Muslim dari Pakistan—menulis sebuah artikel menarik tentang persoalan tersebut, The Destruction of Mecca. Ia mengkritik dengan keras pola pembangunan kota suci umat Islam (Mekkah) yang dilakukan pemerintah Arab Saudi.
Bagi Sardar, Mekkah memang tidak seperti Bagdad, Damaskus atau Kairo yang menjadi pusat perkembangan intelektual Islam. Namun, Mekkah dalam sejarahnya menjadi sebuah kota di mana perdebatan tentang beragam pemikiran dalam Islam awal berkembang. Sardar menyayangkan Mekkah yang sekarang menjadi kota yang direduksi ke dalam sebuah entitas keagamaan monolitik.
Kita bisa bayangkan betapa tragisnya rumah Khadijah sebagai situs sejarah Islam yang sekarang menjadi toilet umum. Yang tersisa hanya sebuah rumah yang Nabi telah tinggali meski para ulama di sana khawatir akan dijadikannya rumah tersebut sebagai sesembahan umat Islam dengan dalih kemusyrikan.
“Mekkah sebagai mikrokosmos dunia Islam,” tulis Sardar, “akan memiliki dampak besar bagi umat Islam di mana pun.” Sehingga, sistem kepercayan yang monolitik di mana perbedaan tidak mendapat toleransi, sejarah tidak punya arti dan konsumerisme tidak dibendung, akan menjadi dominan di negeri-negeri Muslim lain.
Selain soal haji/tragedi Mina yang ramai di media sosial, kita juga mengalami kebangkrutan nalar dalam menyikapi G30S yang mana PKI selalu dikambinghitamkan. Bagi saya, kita memang aneh. PKI yang jelas memberikan sumbangan besar ke kemerdekaan Indonesia ditakuti dan orang-orang tertuduhnya dizalimi/difitnah. Sementara itu, kelompok Islam yang tidak menerima Pancasila sebagai dasar negara justru mendapatkan tempat.
Dalam peralihan September ke Oktober, soal komunisme dan Tuhan pasti ramai. Orang-orang yang masih percaya bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak percaya Tuhan adalah orang-orang yang malas membaca atau mungkin malas berpikir. Banyak buku yang bisa dibaca dalam versi cetak maupun versi online sebagai kekayaan sejarah bangsa yang utuh.
Melalui dua filmnya: The Act of Killing (2012) dan Senyap (2014), Joshua Oppenheimer bahkan menyajikan fakta sejarah tentang bagaimana orang-orang tertuduh PKI mengalami pembantaian dan penganiayaan. Mereka difitnah, dizalimi dan dikucilkan sampai tak mampu bertahan hidup.
Bila kita membaca sejarah Indonesia dari berbagai sumber, kita bisa menemukan bahwa Islam dan komunisme punya kaitan. Tokoh-tokoh komunis melalui pergerakan mereka berjuang melawan kolonialisme. Di antaranya, Haji Mohammad Misbach yang mengatakan bahwa komunisme ada dalam prinsip Islam (Takashi Shiraishi, 2005).
Sayangnya kebangkrutan nalar sudah terlanjur parah di masyarakat kita. Sehingga, kelompok-kelompok Islam yang tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara bisa hidup dengan nyaman. Sebutlah Hizbut Tahrir Indonesia! Mereka mengingkari nasionalisme dengan menganggap bahwa khilafah adalah solusi terbaik.
Kita bisa bayangkan betapa terbelakangnya umat Islam yang masih sibuk dalam soal khilafah dan juga Sunni-Syi’ah sampai saat ini. Di Barat, umat lain sudah berbicara tentang sains, teknologi dan kemungkinan adanya ruang dalam dimensi waktu lain seperti yang tergambar dalam Interstellar (2014). Sementara, umat Islam masih mempersoalkan sampai atau tidaknya bacaan Fatihah bagi yang sudah meninggal.
Indonesia sebagai sebuah negara yang demokrasinya berjalan dengan baik, harus memberikan hak bagi siapa pun untuk hidup. Bila kelompok Islam yang tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara bisa mendapatkan tempat, orang-orang tertuduh PKI pun seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama.
Sebagai seorang Muslim yang mendukung ide-ide kebebasan, saya tidak pernah takut akan bangkitnya sebuah ideologi tertentu. Saya yakin bahwa ideologi apa pun yang berkembang dalam iklim kebebasan yang baik, akan tergerus dengan sendirinya bila ideologi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan. Sebab, setiap manusia pada dasarnya mendambakan kebebasan.
Pangkal Kebangkrutan Nalar. Berbagai fenomena kebangkrutan nalar yang disinggung di atas sebenarnya berpangkal dari lemahnya tradisi literasi. Munculnya berbagai tuduhan tak berdasar kepada kelompok-kelompok keagamaan dan komunitas tertentu menandakan hal tersebut.
Literasi atau membaca adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw: iqra’ (Qs. 96:01) . Dengan demikian, Islam pada dasarnya menyeru para pemeluknya untuk menyadari pentingnya literasi dan membuka diri terhadap berbagai informasi. Khususnya karena keterbukaan diri terhadap berbagai informasi harus dilandasi kesadaran literasi.
Dalam sejarah Islam, betapa tradisi literasi pernah berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ibn Sina di antaranya telah menulis al-Qanun fi al-Thibb dalam bidang kedokteran yang mendominasi pengajaran di Eropa setidak-tidaknya sampai akhir abad 16 (Montgomery Watt, 1972). Namun, sayangnya sampai saat ini masih ada di antara umat Islam yang mau berobat ke dukun.
Selain Ibn Sina, ada Ibn Rusyd dan Ibn Khaldun. Dari keduanya kita perlu mengembangkan rasionalisme dan teori sosial. Rasionalisme Ibn Rusyd bisa menghidupkan kembali tradisi ilmiah Islam; teori sosial Ibn Khaldun mampu mengatasi kejumudan sosial yang sekarang masih diidap sebagian besar umat Islam.