IslamLib – Kencangnya isu formalisasi syariat di beberapa kota di Jawa Barat memang punya akar tunggang sejarah sampai ke gerakan DI/TII. Namun, antusiasme memperjuangkan isu-isu yang tak langsung memenuhi hajat hidup masyarakat bisa mengalami involusi. Demikian perbincangan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (22/02) lalu, dengan Jajang Jahroni, peneliti PPIM, UIN Jakarta, yang meneliti perkembangan isu syariat di 10 kota di Jawa Barat.
Mas Jajang, apa isi penelitian kualitatatif ICIP Oktober-November 2005 lalu terhadap 20 pesantren di 10 kota di Jawa Barat?
Judul penelitian kami itu menyangkut pandangan pesantren-pesantren di Jawa Barat terhadap beberapa isu menyangkut syariat Islam, seperti formalisasi syariat, toleransi, pluralisme, fatwa MUI, dan lain sebagainya.
Fokus penelitian bukan spesifik pada formalisasi dalam arti melakukan gerakan-gerakan stuktural untuk menegakkan syariat Islam. Jadi, lebih fokus pada pandangan dunia pesantren, karena pesantren-pesantren di Jawa Barat memiliki karakter yang berbeda dengan pesantren-pesantren semisalnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Apa poin-poin menarik dari penelitian kualitatif tersebut?
Sejak tahun 1970-an, di Jawa Barat sudah lama terbentuk organisasi atau forum antar pesantren, yaitu BKSPP (Badan Kerja Sama Pondok Pesantren). Dari tahun 1970-1980-an, BKSPP merupakan badan kerjasama pondok pesantren se-Jawa Barat.
BKSPP rajin melakukan kegiatan pengembangan masyarakat (community depelopment) bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing, nasional dan lokal, untuk menjalankan proyek-proyek seperti pengadaan air bersih. Itu dilakukan BKSPP mengingat di tahun 1960-an, ada kesan kalau pesantren itu jauh dari masyarakat, sebab tokoh-tokohnya sibuk dengan urusan politik.
Pada era Sukarno, semuanya serba politik, sehingga pesantren Jawa Barat yang bisa dikatakan lebih berafiliasi pada Masyumi terkena imbas. Mereka jadi relatif jauh dari masyarakat. Di era Orde Baru, beberapa tokoh kyai Jawa Barat menggagas agar pesantren go back to the community atau kembali ke komunitas, dan karena itu mereka mendirikan BKSPP.
Jadi BKSPP berusaha mendekatkan kembali dunia pesantren dengan masyarakat. Karena itu, pada tahun 1980-an-1990-an BKSPP terlibat dalam beberapa projek pengembangan masyarakat.
Namun setelah tahun 1990-an, khususnya setelah wafatnya salah seorang pendiri BKSPP yang sangat berpengaruh, yaitu KH. Soleh Iskandar, peran BKSPP diambil-alih oleh tokoh-tokoh yang relatif lebih eksklusif. Pak Iskandar memang dikenal moderat, karena itu, BKSPP sepeninggal beliau jadi ekslusif.
BKSPP mulai memutuskan sejumlah kerja sama dengan lembaga-lembaga asing. Mereka mulai menolak bantuan Barat, kemudian lebih berkiblat ke Timur Tengah. Guru-guru pesantren di Jawa Barat dijanjikan berbagai beasiswa untuk studi di Timur Tengah. Jadi, ada perubahan orentasi BKSPP dari yang tadinya moderat menjadi semakin ekslusif.
Apa dampak perubahan kiblat itu tadi?
Dulu BKSPP sempat bekerjasama dengan Oxfam, sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Inggris, dan juga beberapa LSM dari Jepang dan Amerika dalam pengadaan proyek air bersih pesantren. Sebab, di tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang, banyak pesanten yang masih bermasalah dengan air, sanitasi, dan lain sebagainya. Nah, BKSPP menggagas perlunya pesantren punya sumber air bersih yang baik dan aktif melakukan itu.
Namun, sejak Pak Soleh Iskandar wafat, BKSPP memutuskan kerja sama dengan lembaga-lembaga donor dari luar. Mereka beralih kiblat ke Timur Tengah, dan terjadilah proses Arabisasi dan lain sebagainya. Guru-guru pesantren lalu banyak yang sekolah di Timur Tengah dan orientasi kegiatannya berubah.
Sejak tahun 1990-an sampai sekarang, banyak pesantren Jawa Barat yang mendapat beasiswa untuk studi ke Timur Tengah. Tapi, lama-lama kesempatan makin terbatas, bahkan habis. Akhirnya BKSPP vakum dan tidak ada kegiatan sama sekali. Pengaruhnya lalu makin mengecil.
Sementara itu, pimpinan BKPSS setelah Pak Soleh Iskandar, lebih cenderung mendekatkan BKSPP pada kelompok Islam politik, ICMI, dan beberapa jenderal yang dianggap muslim taat. Itu di satu sisi baik, tapi di sisi lain merugikan usaha-usaha yang telah digagas Pak Soleh Iskandar yang telah lama mendekatkan pesantren dengan masyarakat.
Apa pandangan tokoh-tokoh pesantren di Jabar tentang wacana formalisasi syariat Islam lewat kekuatan negara?
Dalam wawancara dengan beberapa tokoh pesantren, saya menyimpulkan kalau pandangan mereka tentang penerapan syariat cukup beragam. Ada yang memahaminya sebagai hukum-hukum formal yang diperkenalkan Alqur’an, seperti potong tangan, rajam, dan lain sebagainya, tapi ada juga yang memahaminya sisi substansinya. Tapi saya kira, cukup banyak yang memahami syariat dari sisi yang pertama.
Syariat Islam misalnya dipahami sebagai kewajiban berjilbab atau menutup aurat bagi perempuan, kewajiban salat berjamaah, penutupan tempat-tempat maksiat pada bulan Ramadan, dan hal-hal sepert itu. Jadi lebih pada simbol-simbol Islam.
Seberapa kuat aspirasi yang mendukung agenda formalisasi syariat ini?
Menurut pengamatan saya, sebenarnya dukungannya tidak begitu kuat. Gerakan yang mendukung formalisasi, sebagaimana yang saya amati, cenderung elitis. Aspirasi tersebut hanya digagas oleh tokoh-tokoh agama atau politik yang sedang memainkan isu-isu agama.
Jika dibandingkan dengan masyarakat yang lebih luas, kelompok ini dapat disebut kecil. Tapi mereka vokal dan cukup artikulatif dalam menyuarakan ide-idenya. Mereka pandai memainkan media massa, sehingga bersedia memblow-up isu-isu yang mereka angkat. Dengan begitu, kelompok mereka terkesan besar sekali.
Tapi perlu diketahui, kata syariat itu sendiri memang mengandung pengertian yang ambigu. Ada yang memahami syariat pada tingkat konsep besarnya saja, dan ada yang lebih detil. Jadi kalau ditanya “apakah Anda setuju penerapan syariat?”, masyarakat akan banyak yang setuju.
Begitulah kalau pertanyaannya konseptual dan general. Tapi kalau pertanyaannya kita breakdown seperti “Apakah pemerintah perlu mewajibkan jilbab bagi semua perempuan?”, jawabannya akan menurun.
Artinya, pemahaman akan syariat itu memang tidak monolitik. Masyarakat memiliki penafsiran yang berbeda soal apa itu syariat. Karena itu, kalau dukungan atas syariat di suatu daerah itu cukup besar, itu tidak perlu membuat para pendukung agenda formalisasi syariat bergembira dulu. Sebab, ketika di-breakdown dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih teknis, mereka biasanya tidak setuju.
Karena itu, yang mendukung pewajiban jilbab bagi semua perempuan akan lebih kecil daripada dukungan terhadap syariat secara umum. Dukungan atas hukum potong tangan tentu akan lebih kecil lagi. Artinya, masyarakat mungkin hendak mengatakan, “Syariat, yes! Isinya, nanti dulu!” Syariat Islam yes, potong tangan nanti dulu. Persis seperti itu. Syariat Islam yes, berjilbab nanti dulu.
Apakah gerakan-gerakan pro-syariat di Jawa Barat cukup berakar secara historis?
Seperti yang kita tahu, di Jawa Barat dulu pernah terjadi pemberontakan Darul Islam (DI/TII), sebuah gerakan politik yang berupaya memperjuangkan berdirinya negara Islam. Jadi dari segi historis, Jawa Barat memang punya kekhasan tersendiri. Itu agak berbeda dengan Islam di Jawa Timur, atau tempat-tempat lain di Indonesia. Jadi alasan historis memang ada.
Nah, ketika melakukan penelitian ini, kita sempat bertemu dengan beberapa anak-cucu aktivis atau pengikut-pengikut DI. Mereka-mereka ini merasa adanya keterpanggilan sejarah atau semacam itu untuk bergerak. Sekarang, mereka ada yang telah jadi kyai, politisi, agamawan, dan seterusnya.
Jadi ada aspirasi untuk memperjuangkan cita-cita lama. Aspirasi itu diperkuat oleh kenyataan bahwa pengaruh NU dan Muhammadiyah di Jawa Barat memang kurang kuat.
Bahkan, meski yang secara kultural mengaku NU, aspirasi sosial politiknya tetap tidak disalurkan ke PKB, tapi ke PPP atau PAN. Di zaman Orde Lama, aspirasi sosial-politik mereka disalurkan ke Masyumi, bukan ke NU. Jadi secara historis, pesantren-pesantren Jawa Barat memang punya kekhasan yang berbeda dengan pesantren-pesantren Jawa pada umumnya.
Ada pemetaan tentang partai-partai di Jawa Barat yang kini mendukung agenda formalisasi syariat?
Penelitian ini tidak sampai memetakan itu. Tapi kita tahu, ada beberapa partai Islam yang mendukung formalisasi syariat, seperti PBB, dan mungkin juga separuh PPP. Kemudian ada partai Islam kecil-kecil yang juga mendukung.
Mereka-mereka itu kemudian berkolaborasi dengan tokoh-tokoh masyarakat atau para kyai yang memang setuju dengan agenda penerapan syariat lewat jalur negara. Jadi di situlah bertemunya dua kepentingan antara kepentingan politik dengan kepentingan penegakan syariat.
Bagaimana sikap dunia pesantren?
Seperti saya jelaskan tadi, pandangan masyarakat, tidak kecuali dunia pesantren tentang isu ini memang sangat beragam. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa orang yang setuju syariat otomatis akan setuju penerapan bentuk-bentuk hukuman yang ada dalam Alquran atau hadis. Kita pernah punya penelitian tentang apa yang dimaksud masyarakat dengan syariat.
Jawabannya juga sangat beragam, mulai dari yang memahami sebagai hukum potong tangan, sampai yang memahaminya sebagai salat jamaah. Karena itu, kita tak bisa mengatakan kalau syariat itu harus bermakna begini atau begitu. Di dalam masyarakat, makna syariat itu diperebutkan.