Home » Politik » Komaruddin Hidayat: “Hamzah Haz Bukan Representasi Islam Politik”
Komarudin Hidayat (Foto: wikipedia.org)

Komaruddin Hidayat: “Hamzah Haz Bukan Representasi Islam Politik”

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

Ketika Islam dibawa dalam medan politik, maka akan banyak sekali klaim yang mengatasnamakan agama ini. Dan karena yang berperan dalam bidang politik itu berasal dari latar belakang yang beragam, maka sifat Islam yang universal dan luas akan mudah dibatasi oleh pemahaman dan pernyataan para politisi tersebut.

Karena itu, menurut Dr Komaruddin Hidayat, kita harus memahami keterbatasan-keterbatasan para politisi itu ketika mereka “mempergunakan” Islam. “Hamzah Haz boleh saja menggunakan Islam politik. Tapi dia bukan satu-satunya representasi Islam politik,” tegas Dosen Pascasarjana IAIN Jakarta, kepada Ahmad Sahal dari Jaringan Islam Liberal.

 

Bagaimana Anda menanggapi naiknya Megawati dan Hamzah Haz, turunnya Gus Dur, serta kaitannya dengan Islam Politik?

Terima Kasih. Saya ingin mengawali dengan satu pemetaan masalah ini. Kalau kita menyebut ada istilah Islam politik, berarti ada Islam non-politik. Nah, dalam studi keagamaan, kita bisa membedakan dimensi-dimensi keislaman. Islam itu bisa dibedakan dalam kategori ritus-ritus, ada lagi untuk syariat, ada lagi peradaban, ilmu pengetahuan. Salah satu aspirasi keislaman itu dalam bentuk Islam politik.

Jadi kalau kita sebut Islam politik adalah bagaimana pergulatan pemikiran Islam dalam meresponi tuntutan, aspirasi, dukungan politik yang bersifat empiris, historis, regional. Itu kita batasi dalam konteks Indonesia, dan dalam segi waktu dibatasi pasca-Gus Dur.

Islam politik yang dipahami masyarakat adalah aspirasi politik yang bergerak pada tataran formalistik. Menurut Anda?

Pada level paradigma, kalau kita sebut politik, asosiasi yang bisa kita tampilkan, di situ ada pemerintahan, batas-batas wilayah yang jelas, citizen (warganegara), undang-undang, ada mekanisme peralihan kekuasaan, ada aturan bagaimana mengelola keuangan negara dan lain-lain.

Kalau kategori-kategori politik modern ini kita kaitkan dengan Islam, maka orang Islam referensinya pada zaman Madinah. Yang waktu itu Madinah tidak seketat sekarang, tidak ada batas negara, dulu tidak ada paspor, orang Islam bisa berziarah ke Mesir, Mekkah sesuka hatinya. Juga tidak ada hubungan internasional.

Dalam konteks modern, negara ini diatur undang-undangnya melalui produk kesepakatan bersama dengan mekanisme permusyawaratan. Kalau Islam ada produk musyawarah, maka musyawarah itu beda dengan demokrasi, beda dengan pemilu.

Kalau demokrasi dalam pengertian ini ada partai multipartai, undang-undang, aturan main (prosedur). Kalau musyawarah, diktator pun bisa musyawarah. Disinilah saya melihat, Islam politik —kalau paradigmanya lama di bawa ke modern—, saya melihat banyak pekerjaan rumah yang belum jelas, remang-remang.

Dengan kata lain, Islam politik tanpa menggarap pekerjaan rumah semacam itu akan problematis?

Sulit, pada level konsep level paradigma, harus diselesaikan. Sebab kalau tidak, pengalaman Pakistan akan terjadi. Secara retorik, negara yang lahir karena Islam adalah Pakistan. Namun, nyatanya, Islam dari segi nilai-nilainya, substansinya, keadilannya dan profesionalismenya itu ternyata kalah dibandingkan negara-negara non-Islam

Kita kembali ke tema soal Islam Politik Pasca Gus Dur. Hamzah Haz, kita tahu pernah menggunakan argumen-argumen Islam untuk menolak Megawati, tapi kini malah berkompromi dengan Mega?

Kita harus menyadari bahwa ketika Islam dibawa ke percaturan politik, itu berarti Islam dalam pengertian konsensus sementara, regional, kultural. Maka jangan sampai terjadi mistifikasi dan sakralisasi terhadap Islam. Islam di sini adalah ekspresi keislaman yang dituangkan dalam wadah budaya yang sangat bersifat konsensus.

Hamzah boleh saja memakai Islam politik. Tapi tidak absolut, dia bukan satu-satunya representasi Islam politik. Benar bahwa Hamzah Haz orang Islam, menggunakan simbol Islam, tapi paradigma politik Indonesia adalah semi-sekuler. Tapi sekuler jangan diartikan anti-Tuhan, tapi merupakan produk undang-undang DPR/MPR dengan cara rasional.

Bagaimana dengan Partai Keadilan yang tidak mau masuk dalam kabinet Megawati, atau FPI yang menolak presiden perempaun?

Ini fenomena bahwa ekspresi-emosi keislaman masih kental pada level comunalism. Jadi orang Indonesia lebih merasa sebagai member of second community, entah itu etnik atau agama, bukannya sebagai Indonesia itu sendiri. Kalau kita bicara politik, kita bicara state dan citizen yang keduanya harus rasional.

Secara pribadi, Hamzah Haz punya komitmen keislaman, tapi yang lain juga punya komitmen keislaman juga. Oleh karena itu, kalau kita bicara politik, ada rambu-rambu yang universal, rasional dan jangan terjebak pada ikatan emosiaonal dan simbolisme agama saja.

Anda menyebut tentang simbolisme yang masih mewarnai politik Islam. Bisa dijelaskan?

Biasanya sebuah masyarakat yang ekonominya belum maju, selalu membutuhkan yang lain (need for association). Untuk memenuhi kebutuhan asosiasi, yang paling mudah adalah menggunakan sebuah simbol agar orang lain yang simbolnya sama bisa bergabung.

Yang pendidikannya maju lebih suka pakai fungsi daripada simbol. Ini ketemu. Tingkat pendidikan, simbolisme dan semangat jamaah karena Islam sangat menekankan jamaah. Jamaah ini bila tidak diikuti tingkat pendidikan yang maju bertemu dengan rasa tidak percaya diri, maka makin menguatkan komunalisme tadi. Dan simbol memberikan akomodasi.

Apakah Islam politik saat ini sudah masuk dalam wilayah isi, dan bukan hanya sekadar simbol?

Saya khawatir antara simbol dan isi ada kesenjangan. Ka’bah adalah simbolisasi egalitarianisme, mobilitas dan kedekatan Alquran. Ketika orang terjatuh pada mencium batunya, kuat-kuatan untuk mencium Hajar Aswad, berarti ada isi dan subtansi yang dihadirkan dalam haji, tapi tidak muncul karena orang terpaku pada simbolnya.

Dalam politik orang juga begitu kemudian simbolnya, perbanyak jamaah, voters tapi benarkah mereka comitted terhadap simbol-simbol yang mereka usung itu? Dan ini nyatanya kalau Islam menekankan persatuan dan kesatuan ternyata yang paling ribut adalah partai-partai Islam dan jumlahnya paling banyak.

Kita mengenal Gus Dur sebelumnya sebagai pejuang pluralisme dan toleransi tampak. Tapi setelah gagal, saya khawatir agenda-agenda pluralisme akan ikut dilecehkan?

Hemat saya, Gus Dur dan kawan-kawan, perlu redefinisi, karena ketika Gus Dur berada di puncak kekuasaan dia terjebak kepada ekslusifisme dengan PKB-nya, NU-nya. Kalau dia salah, dia harus menjelaskan, tapi kalau disalahpahami dia harus mengklarifikasi.

Gus Dur harus menunjukkan prestasinya bahwa dia betul-betul pejuang demokrasi. Sebab dengan masuknya ke politik dan gagal, saya khawatir, dia bukan Gus Dur yang dulu. Dahulu ada Adi Sasoso, pejuang LSM, ketika masuk ke politik dan kalah, orang mempersepsikan dia sebagai pecundang.

Bagaimanapun Gus Dur harus menunjukan kepada umatnya bahwa saya bukan pejuang yang kalah, “Saya masuk ke politik sebagai ampiran dari misi mulia perjuangan kultural.” Agenda perjuangan pluralisme dan toleransi tidak bisa dikaitkan dengan orang, tapi gerakan.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.