IslamLib – Kebebasan beragama merupakan hak asasi tiap warganegara Indonesia yang telah dilindungi konstitusi NKRI. Hak sipil tiap anak bangsa itu harus tetap dilindungi oleh negara yang mengaku demokratis. Namun hak asasi yang paling mendasar itu, kini rentan dirampas dengan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu. Negara yang demokratis tak boleh membiarkan tren itu berlangsung terus. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan M. Dawam Rahardjo, aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Kamis, (2/3) lalu.
Mas Dawam, apa definisi dan pentingnya kebebasan beragama bagi Indonesia dewasa ini?
Saya mulai dari soal pentingnya. Saya melihat, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang sekarang tidak lagi dilindungi negara. Padahal sejak adanya UUD 1945, hal itu sebenarnya sudah dinyatakan sebagai hak sipil setiap warganegara. Jadi, kita sebetulnya sudah lama punya konstitusi yang menjamin kebebasan beragama sebagai salah satu hak sipil yang harus dilindungi negara.
Namun akhir-akhir ini, hak sipil dalam kebebasan beragama itu tidak kunjung dipahami, tidak saja oleh masyarakat luas, tapi juga oleh para pemimpin negara ini, termasuk Mentri Agama. Menurut saya, Menag kita saat ini tidak mengetahui apa pengertian hak sipil itu, sehingga dia melakukan pelanggaran atas hal sipil orang lain.
Soal pengertian, orang yang menentang kebebasan beragama terkadang mengatakan bahwa mereka menolak karena kebebasan itu memang ditafsirkan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya, atau kebebas-bebasan. Padahal yang kita inginkan dari kebebasan tidaklah begitu. Kebebasan selalu diikuti dengan tangung jawab, sehingga menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Apa itu kebebasan yang bertanggung jawab? Kebebasan yang bertanggung jawab adalah kebebasan yang tidak menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi orang lain, sekaligus menghargai dan melindungi kebebasan orang lain. Itulah yang sesungguhnya bentuk kongkret dari kebebasan yang bertanggungjawab.
Kebebasan beragama menyangkut atau termasuk juga kebebasan untuk tidak beragama. Bersikap atheis boleh saja. H. Agus Salim, seorang pemimpin besar Islam di masa kemerdekaan, pernah mengatakan, orang atheis atau orang tidak beragama tetap punya hak hidup di Indonesia. Jadi mereka punya kekebasan untuk hidup.
Tapi di sini, saya tetap membedakan sikap atheis dengan atheisme. Atheisme merupakan paham yang dipropagandakan atau disiarkan ke khalayak. Konsekuensinya adalah sikap anti-agama. Kalau kembali ke konstitusi Indonesia, saya rasa sikap itu akan dilarang karena kita sudah mendasarkan diri pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan Yang Maha Esa antara lain berarti tidak membolehkan kebebasan untuk bersikap anti-agama atau tidak suka terhadap agama tertentu seperti yang pernah ada di negara-negara komunis atau sebagian negara Eropa Barat.
Bagaimana membedakan antara kritik atas agama dengan penghinaan atau anti-agama. Sebab, kriteria penghinaan atau anti-agama itu kadang-kadang sangat menipulatif?
Artikel atau ucapan seperti “agama telah gagal mengemban amanat sosial” misalnya, biasa dilontarkan dalam studi ilmiah. Dan itu tak bisa dianggap mengandung penghinaan atau sesuatu yang merendahkan agama. Mungkin hanya disinformasi. Contohnya orang yang menggambarkan Nabi Muhammad dengan paras yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilukisan banyak hadis mengenai nabi.
Kita tahu, dalam hadis sudah banyak gambaran tekstual tentang segi-segi fisik nabi. Jadi dengan membaca hadis-hadis itu, seorang pelukis sebenarnya bisa melukiskan bentuk orang yang kira-kira mirip dengan gambaran hadis tadi tentang nabi. Tapi kalau nabi digambarkan gendut, padahal di hadis nabi itu digambarkan langsing, itu sudah disinformasi.
Sebab secara logika, nabi tak mungkin gendut, karena dia sehari makan sehari tidak. Kalau berjalan, dia seperti orang yang turun gunung alias cepat. Tidak mungkin orang gemuk bisa jalan cepat. Karena itu, kalau tidak digambarkan seperti itu, mungkin gambar itu bisa dibilang bodoh, tidak punya dasar, atau mungkin diniatkan untuk memberi citra buruk mengenai Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya. Itu tidak boleh.
Apakah seseorang yang puas menjadi atheis boleh mengikrarkan diri sebagai seorang atheis dalam negara Pancasila?
Menurut saya boleh. Di Perancis, Jean Paul Sartre terang-terang menyatakan diri atheis. Di Inggris, Bertrand Russel menyatakan diri agnostik atau setengah atheis. Itu mestinya boleh, asal jangan membuat propaganda kebencian, apalagi penghinaan terhadap suatu agama.
Dalam sejarah kesastraan Indonesia, ada seorang yang bernama Suradal. Dia menyatakan diri atheis, sebab di tahun 1950-an para penyair Indonesia masih berada dalam iklim yang cukup bebas dan cukup sekuler. Jadi, mereka berani terang-terangan mengatakan itu.
Tapi dengan berkembangnya kekuatan Islam sebagai mayoritas, banyak orang yang takut menyatakan diri atheis. Sebab kalau bilang tidak bertuhan atau tidak beragama, dia tak akan dapat KTP. Karena itu, banyak yang menyembunyikan atau menyimpan keatheisannya. Mereka tetap menyatakan diri Islam, Budha, Keristen, atau lainnya, sekalipun mereka sesungguhnya tidak percaya pada suatu agama.
Mas Dawam, kalau hendak mewujudkan kebebasan beragama, bagaimana negara memosisikan diri di tengah beragamnya agama dan kepercayaan di Indonesia?
Negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, seperti Komunitas Eden, itu tak bisa dilarang oleh negara. Artinya, biar pasar atau masyarakat yang menilai. Kalau agama itu mengajarkan hal yang aneh-aneh, pasti dia akan ditolak oleh masyarakat. Biar masyarakat yang menolak.
Tapi menolaknya hendaklah dengan cara tidak ikut aliran itu saja, bukan dengan melakukan tindak-tindak kekerasan dalam rangka menghukum mereka. Sebab di Qur’an sendiri sudah dikatakan bahwa yang punya hak menghukum keyakinan seseorang kelak hanyalah Tuhan. Hanya Aku yang berhak menghukum, sementara kamu hanya bertugas untuk menyampaikan, memberi kabar. Menghukum adalah urusan-Ku, kata Tuhan.
Apakah negara yang mengakui kebebasan beragama perlu mencantumkan agama resmi negara?
Tidak. Negara harus sekuler; mesti memisahkan diri dari agama apapun. Namun, ini tidak berarti negara mesti bermusuhan dengan agama tertentu. Soal sikap negara terhadap agama-agama, memang biasanya bervariasi. Negara yang komunis akan sangat keras terhadap agama dan menganggapnya sesuatu yang negatif bahkan sumber penyakit masyarakat.
Di negara sekuler seperti Perancis, ada pembatasan ekspresi keagamaan di ruang publik dalam rangka menjaga ruang publik dari sentimen-sentimen keagamaan. Tapi di negara-negara lain seperti Kanada, ekspresi keagaman berlangsung bebas.
Di Amerika, ekspresi keagaman juga berlangsung bebas, sehingga Amerika terkenal dengan para penghotbah, pastur-pastur atau pendeta-pendeta yang kondang dalam mewarnai wacana publik. Kadang-kadang, pertunjukan seperti itu bahkan sering menjadi entertainment atau hiburan tersendiri.
Faktor apa yang menghambat terwujudnya kebebasan beragama dalam sebuah masyarakat?
Sulit terwujudnya iklim kebebasan beragama bisa dirusak oleh feodalisme. Sebab feodalisme menghendaki masyarakat untuk tetap tidak kritis dan jangan sampai memakai akal pikirannya. Kebudayaan seperti itu sudah lama tumbuh dalam banyak masyarakat, sehingga orang sudah terbiasa tidak memakai akalnya dalam beragama. Padahal kata Nabi Muhammad, tidak ada agama kalau tidak dengan akal.
Jadi, memakai akal pikiran sebenarnya merupakan bagian dari agama. Sekarang, kedua hal itu dipertentangkan dan banyak sekali orang yang lebih mengutamakan dogma agama daripada akal pikiran sendiri. Padahal, sebagian dogma agama itu juga hasil pemikiran manusia.
Maksudnya, pemikiran manusia tentang agama itu telah diklaim sebagai kebenaran Tuhan. Padahal, itu belum tentu benar menurut pemikiran orang lain yang punya interpretasi lain. Ketidaksadaran akan hal itulah yang membuat orang beragama kehilangan akal. Saya kira, sumbernya adalah feodalisme.