Dalam Against Islamic Extrimism (1998), Al-Asymawi menulis: Religion has been defined as the spiritual attitude of recognizing supra controlling power in life. Politics has been defined as the state of being organizer under a particular form of goverment or similar institution (h. 68).
Agama adalah perilaku spiritual yang mengakui adanya kekuatan supranatural sebagai pengendali kehidupan. Sementara politik adalah suatu negara yang diorganisir dalam sebuah institusi pemerintahan. Jadi, politik terkait dengan kekuasaan berjangka pendek.
Maka, politisasi agama berarti membuat agama “bersumbu pendek” dan menghilangkan universalitasnya. Agama direduksi sekadar menjadi alat untuk merebut kekuasaan berjangka pendek.
Agama “sumbu pendek” jelas sangat berbahaya, karena “pertemuan antar sumbu pendek” akan menimbulkan ledakan yang mematikan. Konflik bernuansa agama di berbagai wilayah antara lain disebabkan pertemuan kepentingan agama “bersumbu pendek” ini. Agama menjadi basis solidaritas untuk merebut kekuasaan politik. Akibatnya, benturan antarkepentingan sering tak terhindarkan.
Hal ini bukan saja merupakan fenomena modern. Sejak masa awal Islam, politisasi agama pernah terjadi dalam perang antara Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah dengan Muawiyah.
Ketika pasukannya terdesak, Muawiyah mengangkat mushaf al-Qur’an dan berseru agar menjadikan Kitab Allah sebagai arbitrase/tahkim. Ali terkecoh tipu muslihat Muawiyah meskipun Ali sudah tahu akal-akalan tersebut, namun sebagian besar pengikutnya tidak percaya dengan pendapat Ali.
Muawiyah sebenarnya telah menggeser pertentangan sosial politik ke wilayah agama (teks). Akibatnya, nalar dan segala kepentingan harus tunduk pada “wilayah agama”. Karena itu, tak ada alasan bagi kelompok Ali untuk menolak “tawaran damai” Muawiyah dengan simbol mushaf Alquran yang ditaruh di pucuk tombak. Sejarah membuktikan, apa yang dilakukan Muawiyah memang untuk mengelabuhi Ali.
Kerangka di atas tepat dijadikan refleksi kehidupan beragama di Indonesia terutama masa kampanye pemilu 2004. Agama sering menjadi “amunisi” parpol untuk menarik simpati masyarakat.
Agama “dikorbankan” untuk kepentingan jangka pendek dengan mengabaikan moralitas agama sendiri. Di samping mengumbar janji-janji yang (hampir pasti) tidak ditepati, dalam kampanye partai politik akan selalu memanfaatkan setiap peluang, termasuk memanfaatkan emosi keberagamaan, untuk meyakinkan konstituen akan kehebatan partainya.
Isu agama dalam kampanye pemilu 2004 memang tidak sedahsyat dalam pemilu 1999. Elite politik, terutama elite parpol Islam, agaknya mulai mengurangi pernyataan yang dapat memancing emosi keberagamaan.
Jika menjelang pemilu 1999 di beberapa wilayah Jawa Tengah, misalnya, ketegangan antarpendukung parpol (PPP dan PKB) yang luar biasa, kini ketegangan itu mulai berkurang, meski di wilayah “tapal kuda” Jawa Timur, ketegangan baru justru muncul akibat eksodus beberapa tokoh PKB ke PPP.
Mengapa isu agama agak berkurang dalam pemilu 2004? Pertama, makin berkurangnya jumlah partai berbasis agama (baca: partai Islam). Jika pemilu 1999 tak kurang 11 partai Islam menjadi peserta pemilu, dalam pemilu 2004 tidak lebih dari enam parpol.
Berkurangnya parpol berbasis agama itu tidak sepenuhnya bisa dikatakan telah terkonsolidasinya kekuatan partai Islam, tapi lebih karena ketidakmampuan aktivisnya untuk menggalang dukungan masyarakat. Akibatnya, beberapa parpol Islam tak lolos menjadi peserta pemilu 2004.
Kedua, meski dalam pemilu 1999 diikuti banyak partai Islam, baik yang memakai asas Islam maupun basis pendukungnya masyarakat Islam, namun jumlah suaranya tak mencapai 50%, padahal jumlah pemeluk Islam konon mencapai 87%.
Kenyataan ini bisa dimaknai bahwa sentimen dan isu-isu agama terbukti tidak cukup ampuh untuk menggalang dukungan masyarakat. Masyarakat juga makin sadar bahwa pilihan politik tak dikaitkan dengan agama. Emosi keberagamaan yang terus diaduk-aduk menjelang pemilu 1999 lalu ternyata tak bisa merubah perilaku pemilih.
Ketiga, masyarakat sudah mulai sadar bahwa mereka selama ini telah menjadi korban dari kepentingan elite politik. Konflik berdarah dalam pemilu 1999 lalu, ternyata tak punya arti apa-apa bagi kehidupan mereka, kecuali mengantarkan beberapa orang menduduki kursi legislatif.
Beberapa orang yang terlibat konflik PKB dan PPP di Jepara, menjelang pemilu 1999 lalu, pernah bercerita pada penulis bahwa mereka telah melakukan tindakan bodoh karena larut dalam konflik akibat ambisi para elitenya. Karena itu, mereka kini tidak mau lagi menjadi korban dan dipermainkan elitenya.
Apakah Islam politik telah kehilangan momentum? Belum tentu, tergantungperformance dan isu-isu yang diusung. Aktivis Islam politik harus semakin sadar bahwa isu agama, seperti formalisasi syariat Islam, Piagam Jakarta dan sebagainya tidak bisa lagi “dijual”. Masyarakat pemilih makin sadar bahwa selama ini telah terjadi “manipulasi” dan pembajakan agama oleh elite tertentu.
Meski potensi politisasi agama ada trend menurun, hal itu tak berarti tidak ada ancaman politisasi agama dalam pemilu 2004 mendatang. Ada beberapa hal yang layak mendapat perhatian. Pertama, politisasi agama tak hanya bisa dilakukan oleh aktivis politik Islam, tapi bisa dilakukan oleh siapapun yang memahami bahwa agama dapat dijadikan sebagai alat pendulang suara, meski ia berangkat dari “partai sekuler”.
Ini dimungkinkan karena asas dan ideologi partai politik di Indonesia tak otomatis menjadi asas dan ideologi perjuangannya, tapi lebih sebagai “simbol pragmatisme” untuk menarik dukungan massa.
Kedua, makin banyak agamawan yang menjadi aktivis parpol, baik langsung atau tidak langsung dengan menjadi penyangga partai politik tertentu. Agamawan tipe terakhir ini biasanya cukup menjadi vote getter (juru kampanye), caleg “nomor sepatu”, atau menjadi “penasihat spiritual” partai.
Agamawan menjadi aktivis parpol selalu berdampak ganda, memberi harapan sekaligus mencemaskan. Memberi harapan karena agamawan diharapkan menjadi pengendali moral politik yang sering dianggap kotor; dan mengkhawatirkan karena alih-alih menjadi pengendali moral, mereka justru terlarut dalam imoralitas politik dan menjadi agen politisasi agama di setiap pemilu.
Bagi agamawan, tak ada cara yang lebih mudah untuk menarik dukungan politik masyarakat selain dengan menggunakan simbol dan isu agama. Argumen-argumen keagamaan dalam politik akan dirasakan lebih punya makna daripada argumen non-agama.
Robert Audi dalam Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal (2002) menyebutkan bahwa argumen penjelasan agama (evidentially religious) dalam politik sebenarnya merupakan penjelasan agama tanpa kandungan agama (h. 107). Argumen agama diperlukan sebagai legitimasi teologis atas sebuah tindakan politik dan memberi motivasi pada masyarakat untuk mendukung tindakan tersebut.
Meski demikian, saya tetap yakin bahwa masyarakat beragama sudah cukup dewasa dan bisa belajar dari peristiwa pemilu 1999. Politisasi agama hanya akan mengotori kesucian agama itu sendiri.