Home » Politik » Menteri Lukman Memanjakan Doa
(Photo: Bikas Das)

Menteri Lukman Memanjakan Doa

4.36/5 (14)

IslamLib – Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menganjurkan untuk salat minta hujan (istisqa). Saya membaca anjuran itu di media sosial 140 karakteran, dan memberi tiga huruf sebagai komentar: “LOL”. Serta-merta beberapa orang daif membelanya. Atau mungkin sekadar kaum muda yang entah terlalu bersemangat, sehingga lebih suka memilih membaca LOL saya tadi sebagai menertawakan doa.

Meski bagi saya itu juga benar, tapi dalam konteks ini saya lebih sedang me-LOL-kan Kementerian Agama. Namun pembelaan berlanjut dengan membahas secara apik keluputan LOL yang mereka pilih sendiri. Dan saya tak pedulikan itu, sebab saya hanya akan membicarakan LOL versi saya.

LOL atau “Ketawa ngakak” juga saya terakan sebagai komentar ketika Kapolri Sutarman melarang ibadah di rumah, dan ini yang sebenarnya lebih tepat. Sedang untuk Menteri Lukman sebenarnya cukuplah dengan singkatan yang melambangkan “Senyum simpul”. Sayangnya ketergesaan membuat saya tak menemukannya.

Tapi ketawa ngakak ataupun senyum simpul menurut saya sama-sama masih layak. Sebab ini menyangkut keberadaan Kementerian Agama di dalam sebuah negara sekular. Sebuah keberadaan yang seharusnya berbeda dengan ketika pimpinan pondok pesantren yang menyarankan berdoa bersama guna menurunkan Dollar.

Baik pernyataan Kapolri dan ataupun cuitan Yusuf Mansur – pimpinan ponpes tadi, sama-sama membuat kaum muda yang masih itu-itu juga, memberi komentar yang setara dengan LOL, tapi meradang ketika menterinya dikomentari LOL. Dari sini saya mulai bisa meraba tentang semangat mereka bela.Tapi sekali lagi saya tak tertarik membahas itu.

Apa yang membuat saya tertarik sebenarnya tak jauh berbeda dari apa yang pernah ditulis Ulil, juga di media ini yaitu tentang “Negara Agnostik”. Anda boleh mengatakan anjuran salat meminta hujan Menteri Agama sebagai tugas seorang Mentri Agama, tapi saya melihat itu menyepelekan pekerjaan selevel menteri.

Lihatlah betapa pertumbuhan semangat fundamentalis agama semakin masif – yang juga dibarengi dengan konflik antar dan inter agama. Hal yang lebih penting semacam inilah, yang seharusnya menjadi prioritas utama kementrian ini.

Saya dengar anggaran yang dicurahkan untuk Kementrian Agama cukup memukau secara angka. Tapi saya dengar juga tak ada anggaran untuk program-program yang bertujuan membangun terciptanya kerukunan antar umat agama, dialog antar iman, menghalau benih-benih intoleransi, dan sebagainya.

Ironis menurut saya, sebab kementrian ini sejak awal hadir dalam semangat merukunkan umat yang demikian beragam. Anggaran besar seharusnya semakin bisa membawa kemaslahatan umat, bukan malah bisa membawa menterinya ke KPK.

Saya tak tidak tahu sejak kapan tugas Kementrian Agama ini bergeser dari tugas sekularnya, menjadi tugas yang lebih condong pada perayaan-perayaan agamis. Merukunkan umat yang beragam adalah jelas tugas sekular, dan mengajak salat istisqa adalah perayaan agamis.Yang pertama adalah amanah sebagai seorang Menteri Agama, dan yang kedua tugas seorang muadzin.

Memang tak ada yang boleh melarang seorang Menag berperan sebagai muadzin. Tapi memperlakukan perayaan-perayaan sebagai hal prioritas daripada mengerjakan amanah yg lebih besar, juga pantas menjadi bahan kritik. Nyinyir istilah para pembelanya.

Saya meyakini adanya kesengajaan politis tentang penggeseran status agama di Indonesia. Adalah Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 yang menyebutkan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu. Para pejabat di jaman Orde Barulah yang menjadikan kelima yang pertama sebagai agama resmi yang statusnya diakui negara, sisanya seolah semacam belum terakreditasi.

Keyakinan saya tersebut bukannya tanpa alas an, karena ada Khong Hu Cu yang turut disebut, namun tak turut serta diakui. Singkatnya begini:  Khong Hu Cu banyak dianut orang Cina. Cina adalah bangsa yang dilekatkan dengan peristiwa G30S.

Ketika “Program Pembauran” oleh Orba berlangsung, tak strategislah bagi orang-etnis Cina jika tetap memeluk falsafah hidup moyang mereka. Maka pada sebuah era terjadilah migrasi besar dari anutan Khong Hu Cu ke Buddha atau ke Nasrani.

Memang program pembauran itu tak lain adalah upaya antisipasi Orba menangkal pengaruh Cina dengan cara memangkas berbagai ragam budaya mereka, dan Khong Hu Cu adalah target pertama yang harus diredam.

Baru di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Khong Hu Cu turut diakui. Gus Dur memasukkan Khong Hu Cu sebagai satu dari “The Big Six” agama di Indonesia itu juga bukan lantas berarti dia bebas dari persoalan substansif tentang kesetaraan keagamaan.

Menambah satu bukan hanya berarti mengurangi satu dari dua ratusan lebih agama dan atau kepercayaan tak diakui, tapi artinya juga mempertegas garis yang salah tentang status keagamaan di Indonesia.

Status di Facebook saja bisa bermasalah apalagi status keagamaan, karenanya harus mulai kembali dipikirkan untuk membenahi, yang bukan dengan jalan membiarkan. Atau dihapus kalau perlu.

Setahu saya Gus Dur pernah memiliki gagasan yang lebih progresif, yaitu menghapuskan sekalian Kementerian Agama di dalam kabinet, entah karena apa gagasan dahsyat itu tak terwujud. Tapi sepertinya juga tak perlu menutup kementerian agama kalau sekadar membenahi pelencengan status keagamaan.

Menteri Lukman sendiri dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa, tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan ada agama resmi atau tidak resmi, dan yang diakui atau tidak diakui oleh negara. Pak Menteri sebenarnya bisa saja memulai dari situ, dari kesetaraan keberagamaan.

Kalau hari ini mengajak salat istisqa di Istiqlal, maka esok hari ngajak caos sajen di Ngawi, atau barapen di Biak. Bukan, tentu bukan begitu. Sebab perayaan-perayaan ini hanya akan menghadirkan kegembiraan spiritual sesaat.

Tapi tentang bagaimana lebih memperhatikan kerja besar yang berbasis kerukunan, pendidikan umat berdasar nilai-nilai toleran di dalam keagamaan dan kepercayaan, merekalah orang-orang pintar di Kemenag yang seharusnya lebih tahu. Kerja besar yang mampu menggerus pikiran-pikiran intoleran dalam kehidupan berbangsa.

Sehingga kelak tak ada lagi seorang walikota yang melarang perayaan agama hanya lantaran tak semadzab dengannya. Atau seorang walikota yang di media menyatakan ketaksukaan kepada Syiah hanya karena ia Suni.

Pertanyaannya di sini tentu bukan “Ada apa dengan Walikota?”

Pertanyaannya adalah: “Ada apa dengan pejabat (re)publik yang menyuarakan benih intoleransi di negara demokrasi?” begitu tepatnya.

Jawabannya menjadi tugas kita, khususnya Kemenag dalam rangka menegakkan demokrasi beragama di Indonesia. Pak Lukman, katakanlah karena Pancasila (Sila I) dan Pembukaan UUD 1945 yang membuat Indonesia susah move on menjadi negara agnostic. Tapi setidaknya, hentikanlah Indonesia menjadi sebuah negara favoritis.

Sebagaimana dalam tulisan Ulil, “Negara favoritis dengan sendirinya akan menjadi negara yang diskriminatif. Sebab ia berpihak. Ia tidak netral.”

Negara yang berpihak itu tak cuma ketika membiarkan agama minoritas tak bisa mendirikan rumah ibadah mereka, tapi juga tampak menganak-emaskan agama mayoritas dalam beribadah. Satu contoh, misalnya jika untuk memanjatkan doa saja difasilitasi negara, maka itu hanya akan menjadikan Anda memanjakan doa.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.