IslamLib – Tuntutan penerapan syariat Islam selalu timbul-tenggelam, tak selalu konstan. Kembali kita diramaikan dengan isu tersebut setelah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan HAM, menyatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berdasarkan syariat Islam akan segera diberlakukan di Indonesia (Republika, 11/4/2002).
Adakah kaitannya dengan keputusan Mukernas Partai Bulan Bintang (PBB) pertengahan September lalu di Banten, yang merekomendasikan pemerintah untuk segera mengeluarkan KUHP Islam?
Purbasangka di atas wajar-wajar saja. Toh, Yusril adalah Ketua Umum DPP PBB yang punya hajat besar direalisasikannya KUHP Islam tersebut. Tapi, mengapa dalam hal perumusan RUU KUHP Islam ini Yusril berdalih bahwa ia sekadar melanjutkan “proyek lama” mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh?
Bukankah, seperti diutarakan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqi, kita sulit berbicara tentang aspirasi syariat Islam di masa Ismail Saleh tepat ketika Soeharto berkuasa saat itu?
Kalaupun toh sudah dirilis Orde Baru pada masa Ismail Saleh, mengapa draft rancangan UU KUHP Islam tersebut tidak di-share kepada publik? Bahkan, hingga detik ini, para “kuli tinta” sekalipun kesulitan mendapatkan draft yang segera diajukan kepada DPR itu.
Selayaknya RUU KUHP Islam didiskusikan secara publik karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Syariat Islam atau hukum agama lain dan hukum adat sah-sah saja dimasukkan dalam RUU KUHP asalkan tidak mencederai prinsip umum yang berlaku pada KUHP.
KUHP, menurut praktisi hukum Bambang Widjojanto, juga harus menjadi payung hukum untuk peraturan lainnya yang terkait dengan tindak pidana. Dengan kata lain, hukum agama yang bersifat partikular (karena hanya berlaku bagi penganutnya saja) harus diuniversalisasikan agar bisa dicerna oleh penganut agama lain. Dalam istilah Kuntowijoyo, hukum agama —dan juga hukum adat— harus diobyektivasi agar pesan universal tertampilkan.
Di atas segalanya, syariat Islam yang coba ditubuhkan ke dalam KUHP tersebut menunjukkan bukti bahwa banyak orang yang berpikir bahwa syariat Islam bisa menjadi eliksir, obat yang seolah-olah bisa menyembuhkan segala hal penyakit yang diidap bangsa ini.
Walhal, setiap penyakit membutuhkan terapi dan diagnosis yang berbeda-beda. Kadang kita juga bisa mengerti mengapa tuntutan pelaksanaan syariat Islam begitu overloaded, bahkan menjurus overdosis. Tuntutan syariat tidak berdiri tunggal dalam konteks masih amburadulnya kondisi sosio-ekonomi-politik bangsa ini.
Pada saat kita menghadapi kenyataan hidup yang mengerikan, sementara kepastian hukum menjadi utopia, maka sulit kita mencegah munculnya pemikiran untuk menerapkan hukum Islam di saat hukum positif kehilangan taringnya di bumi ini. Syariat lantas mengalami idealisasi berlebihan, bahkan menjurus “mistifikasi.”
Dan KUHP Islam merupakan bukti yang menunjukkan hilangnya asa terhadap hukum positif yang ada. Belum lagi fakta bahwa KUHP kita yang berlaku sekarang merupakan salinan dari wetboek van staatrecht volk Indonesia produk Belanda pada masa kolonialisme yang di negeri Belanda sendiri sudah lama ditanggalkan. Wallahu a’lam.