Dinamika politik menjelang pemilu presiden betul-betul telah menempatkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sosok-sosok di dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang merepresentasikan ormas terbesar di Tanah Air menjadi “bunga desa” yang menjadi primadona banyak pihak untuk dipersunting. Hanya saja, dinamika internal di PKB maupun NU membuat pesona sang primadona menjadi terlampau rumit untuk ditangkap.
Inti persoalan terletak pada struktur PKB sebagai partai berbasis massa NU yang terlalu persis meniru Golkar era Orde Baru, dan sekaligus kondisi internal NU sebagai ormas warga nahdliyyin yang tak kunjung menjam’iyyah.
Itulah yang terungkap dari perbincangan Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan KH Mustofa Bisri, kiai-penyair yang sehari-hari mengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Thalibin, Rembang. Apa saja kriteria pimpinan nasional yang ideal menurut kiai yang akrab disapa Gus Mus itu? Berikut petikan wawancara yang berlangsung Kamis, 29 April 2004 kemarin.
Gus Mus, sebagai figur masyarakat, apakah Anda punya kriteria bagi seorang pemimpin nasional yang ideal?
Kriteria saya sederhana saja. Saya menginginkan pemimpin nasional yang takut pada Tuhan, dan punya rasa kasihan pada rakyat. Itu yang paling pokok. Kriteria lain, jika tidak punya rasa takut pada Tuhan dan tidak sayang pada rakyat tidak akan ada gunanya.
Kemudian, tentu ada kriteria mampu mengetahui masalah-masalah pokok bangsa ini. Dia harus seorang negarawan, bukan politisi saja. Mampu saja juga tidak cukup, tapi juga harus mau melakukan yang terbaik untuk Indonesia.
Bagaimana mengukur kriteria takut pada Tuhan dan sayang pada rakyat itu, Gus?
Itu terlihat, dong! Kalau Tuhan melarang bertindak zalim, tapi kita justru bertindak zalim, itu artinya kita tidak takut pada Tuhan. Tuhan melarang korupsi, tapi kita justru korupsi, itu artinya tidak takut Tuhan. Itu saja.
Apakah dari sudut ajaran Islam terdapat kriteria tertentu?
Kalau kriteria diambilkan dari kitab-kitab kuning, mungkin semua tidak ada yang memenuhi syarat. Tidak ada yang ideal. Makanya sekarang kita dalam posisi memilih yang terbaik dari yang jelek-jelek.
Kalau memakai ukuran-ukuran yang standar dalam kriteria (calon presiden), maka tidak ada yang memenuhi standar. Kalau memilih yang terbaik dari yang baik-baik mungkin mudah saja. Tapi sekarang kita harus memilih yang agak jelek dari yang jelek-jelek, ha-ha-ha.
Tapi mereka kan diklaim sebagai putra-putri terbaik bangsa?
Yang mengatakan itu kan hanya mereka. Kita ini sebetulnya dalam kondisi darurat. Bagaimana tidak darurat, toh mereka yang dulunya melarang pempinan negara dari kalangan perempuan juga sudah meralat sikapnya, dan itu atas pertimbangan darurat. Padahal tidak hanya perempuan saja, tapi kalau (pemimpinnya) laki-laki juga masih darurat.
Apa komentar Anda tentang hadirnya hampir semua calon presiden dalam pertemuan para kiai di Surabaya beberapa hari lalu?
Saya tidak tahu karena saya tidak datang. Tapi konon, mereka-mereka juga bingung karena merasa NU dibutuhkan banyak orang, capres-capres berdatangan. Ini mungkin karena NU merupakan organisasi yang besar. Makanya, karena sekarang pilihan langsung, soal suara menjadi sangat penting; dan NU mempunyai suara yang cukup besar. Hitungannya kan begitu.
Lalu para kiai bertanya-tanya: “Yang meminang sudah banyak, tapi siapa yang dipilih?” Kira-kira begitulah! Jadi, kalau misalnya orang-orang itu meminang Hasyim Muzadi, Pak Hasyim akan memilih siapa? Makanya, mereka yang memilih itu akan kesulitan juga.
NU betul-betul menjadi primadona, ya?
Ya, setiap kali membutuhkan banyak suara, NU tentu diperhitungkan. Cuma sekarang NU-nya itu siap atau tidak untuk diperhitungkan.
Di dalam sebuah surat kabar nasional, Anda menulis soal persinggungan NU dengan politik. Di situ Anda mengibaratkan NU seperti satpam, pendorong mobil mogok, dan lain sebagainya. Apa Anda ingin mendorong NU tampil di tampuk kemimpinan nasional lagi?
Tidak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ada masalah yang lebih besar dari pada itu. Soal negoro adalah soal reformasi, sedangkan soal NU adalah soal penataan diri. Inti tulisan saya adalah kalimat terakhir yang secara sinis menyebutkan, “untuk urusan penataan NU dan reformasi negoro, kita bahas nanti-nantilah.”
Sekarang terjadi kebingungan dari mereka yang ingin meminang figur dari kalangan NU. Mereka ngotot, kalau tidak lewat jalur PKB akan menelikung lewat jalur NU. Komentar Anda?
Bagi saya, sekarang ini NU apakah akan tergiur dengan pinangan-pinganan itu atau bagaimana? Orientasinya yang perlu dipertegas. NU itu adalah organisasi kemasyarakatan Indonesia yang menyadari bahwa khidmahnya bukan hanya untuk orang NU saja, tapi juga untuk bangsa atau negara ini.
Karena itu, saya menulis agar orang-orang NU sadar juga tentang apa yang bisa mereka berikan kepada negeri ini; apa cukup sebagai satpam, pendorong mobil mogok, atau sebagai apa? Nah itu terserah mereka. Bukan ditentukan orang lain yang ingin menghargai mereka sebagai tukang dorong atau satpam. Orang NU yang harus menentukan: banyak berkiprah dalam khidmahnya itu, atau begini-begini saja.
Saya mengingatkan dalam tulisan itu bahwa NU mempunyai potensi besar. Ibaratnya seperti pisau cukur, tapi sejauh ini hanya digunakan untuk mengiris bawang. Memang enak buat mengiris bawang, tapi kan nggak cucuk dan nggaksumbut dengan potensinya. Nah, saya ingin orang-orang NU menyadari itu, agar potensi ini dapat dioptimalkan perannya, terutama buat negeri ini.
Anda sendiri menginginkan potensi NU itu diarahkan ke mana?
Sebelum saya cenderung ke mana-mana, saya perlu jelaskan kalau dari dulu saya punya obsesi agar NU itu berul-betul menjadi jam’iyyah, bukan jemaah saja; menjadi organisasi yang sebenar-benar organisasi.
Karena dengan itulah potensi yang dimiliki akan bisa diabdikan secara optimal kepada masyarakat, bangsa dan negara. Sebelum itu ditata dengan baik, jadinya akan seperti pisau cukur yang digunakan untuk mengiris bawang tadi. Kalau NU ditata dengan baik, maka NU akan menjadi kekuatan yang luar biasa.
Artinya usaha untuk menguatkan jam’iyyah itu belum optimal?
Betul. Itulah yang menyebabkan orang luar tahu kekuatan dan kelemahan kita, tapi kita tidak sadar. Orang NU tidak tahu kekuatan dirinya, karena melihat lahirnya yang tidak kunjung men-jam’iyyah. Makanya NU hanya melayani mereka-mereka yang ingin mempergunakan NU sendiri. Mereka yang menginginkan dukungan datang ke NU. Kalau NU-nya (secara institusional) tidak bisa (diminta dukungan), maka mereka lagi ke kiai-kiainya.
Menurut Anda, kenapa NU belum berhasil menjadi sebuah jam’iyyah?
Itu panjang ceritanya. NU lahir tidak seperti organisasi-organisasi lain. Golkar, HMI dan organisasi lain lahir dari sekelompok orang yang punya tujuan, misi dan visi yang sama. Mereka berkumpul, lalu sepakat mendirikan organsisasi. Tapi NU tidak demikian.
Dulu sebelum tahun 1926, di mana-mana sudah ada komunitas santri dan kiai-kiai. Mereka mengabdikan diri, mengawani, mengasihi, membantu dan menyayangi masyarakat. Lalu dulunya kiai-kiai sepuh itu berpikir, kalau ini ditanzim atau ditata menjadi sebuah organisasi modern, potensi ini akan menjadi tertib; lebih sangkil dan manqus apa yang mereka lakukan.
Lalu diwadahilah dengan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Jadi ada dualisme di sini, ada dua dimensi yang sulit dipahami orang. Di sana ada isinya yang bersifat tradisional, yaitu jemaah tadi, dan wadahnya yang modern berupa jamiyyah. Nah, antara wadah dan isinya itu mau dijembatani untuk kemudian diatasi oleh almarhum Kiai Mahfudz Siddik dan Kiai Wahid Hasyim.
Tapi mereka semua meninggal muda. Makanya misi itu tidak bisa dilanjutkan apalagi dengan kehadiran Jepang dan faktor lainnya. NU jadi tambah terbengkalai. Mereka keburu besar dan tidak sempat ditata dengan baik. Makanya setiap muktamar saya selalu mengatakan agar soal itu diprioritaskan.
Sekarang NU bermain politik lagi. Bagaimana sikap para jamaahnya?
NU itu besar sekali seperti Indonesia, maka kesenangannya macam-macam. Ada yang senang politik karena dulu tahun 1955 memang pernah sukses berpolitik. Makanya mereka ini masih kental sekali jiwa politiknya. Tapi ada juga yang tidak suka politik, bahkan antipolitik. Jadi macam-macam, karena banyak orang. Tapi sebetulnya kalau itu diorganisir dengan baik, akan bisa ditata dengan baik pula.
Ini sama saja dengan fenomena pemikiran di NU; ada yang masih sangat konservatif, ada juga yang sudah sangat maju dan bahkan ada yang liberal. Nah, ini semua kalau ditangani oleh organisasi yang baik tidak akan menyebabkan friksi-friksi di dalam. Sekarang kan tidak. NU itu lain dengan HMI yang dengan enaknya dapat membagi orang-orangnya; ke Golkar, ke PDI-P, dan lain sebagainya. Di NU tidak bisa begitu; mereka akan dicomot-comot sendirian oleh partai-partai.
Apa Anda punya evaluasi terhadap kiprah politik orang NU seperti di PKB?
PKB itu jelas dikemudikan Gus Dur. PKB itu juga mau meniru Golkar, tapi terlalu persis menirunya. Makanya ada dewan tanfiz yang sekarang diketuai Alwi Shihab. Itu analog saja dengan posisi Harmoko dulunya. Ada juga dewan syuro atau dewan pembina seperti di Golkar. Dulu di Golkar ada sosok Pak Harto, sekarang di PKB ada Gus Dur, he-he-he.
Jadi sekarang ini, peran Alwi Shihab itu seperti Harmoko yang sebetulnya tidak berfungsi apa-apa. Semuanya tergantung Gus Dur. Sama saja dengan Golkar dulunya; Harmoko tidak berfungsi apa-apa, tergantung petunjuk Pak Harto.
Itu internal PKB, bagimana dengan persinggungannya dengan partai-partai politik lain; apakah sudah terlihat sebagai driver?
Sama saja. Tergantung apa yang akan dilaksanakan PKB; akan memperkuat sistem atau terus begitu. Kalau masih begitu saja, maka orang luar juga akan menganggap begitu, dan mereka akan selalu ngebut langsung ke Gus Dur, tidak perlu melalui Alwi Shihab dan lain-lain.
Tapi kan, meski PKB identik dengan Gus Dur, di sana masih ada peran kiai-kiai yang sering disebut-sebut Gus Dur sebagai rujukannya!
Kiai-kiai itu kan macam-macam juga modelnya, karena banyak orang. Di atas dewan pembina –kalau di Golkar dulunya tentara– ada A dan B. Ada kelompok birokrat dan ada juga ABRI. Di atas PKB itu juga ada NU yang (syuriahnya) diketuai oleh KH Sahal Mahfudz, dan ada juga kiai-kiai yang jalan sendiri-sendiri secara kultural. Nah, dari sini Pak Harto atau Gus Dur tinggal ngambil salah satunya, sukur-sukur kalau bisa memegang dua-duanya. Kalau tidak bisa keduanya, mungkin bisa salah satunya.
Jadi kalau Gus Dur mengklaim sudah dapat restu atau mandat kiai, itu masih perlu dicek ulang, ya?
Mengklaim itu kan sudah pekerjaan orang Indonesia, dan Gus Dur hanya bagian di dalam tradisi itu.
Gus Mus, tiap kiai kan punya pengikut masing-masing. Bagaimana mereka menyikapi pergulatan politik di kalangan elit NU?
Karena persoalannya NU itu organisasinya para kiai-kiai dan umatnya, maka kenyataan ini kemudian mengundang orang-orang yang menghajatkan sesuatu –seperti meminta dukungan– untuk datang ke NU. Kalau NU (sebagai organisasi) tidak bisa dipegang, mereka langsung ke kiai-kiai. Yang mereka tidak tahu, para kiai itu pada akhirnya juga akan kembali menanyakan pelbagai persoalan itu kepada PBNU.
Hanya saja, persoalan itu tidak begitu perlu diperhatikan bagi orang yang punya kepentingan tadi. Bagi yang berkepentingan, yang paling penting mereka bisa ketemu dengan kiai ini dan kiai itu, lalu bilang kepada wartawan, “kami ketemu kiai ini dan kiai itu; didukung ini dan didukung itu.” Jadi tidak terlalu perlu apa isi pertemuannya. Yang penting bagi mereka, sudah terjadi pertemuan dan berita itu disiarkan di pers. Itu satu.
Kedua, kiai-kiai itu tidaklah homogen. Ada yang tidak mengerti persoalan, bahkan lugu, dan ada juga ngerti betul (permainan politik). Kalau Anda perhatikan misalnya kiai-kiai Buntet yang dikatakan mendukung Gus Dur, nanti di Tebuireng yang katanya tidak mendukung Gus Dur, orangnya akan itu-itu juga, ha-ha-ha. Jadi itu yang tidak diperhatikan orang.
KH Abdullah Faqih misalnya, di Buntet ikut, tapi di Tebuireng juga ikut. Kita juga tahu itu. Itu dikarenakan mereka ikhlas saja. Kalau dibilang untuk urusan umat, mereka akan semangat semua. Tapi apakah itu soal umat betul atau tidak, klaim saja atau memang sebenarnya untuk umat, itu persoalan mereka yang membuat skenario.
Tapi dalam suasana politik yang memanas, kiai-kiai tampak sangat terlibat!
Tepatnya dilibatkan! Jadi mereka itu dilibatkan karena persoalannya tadi: kepentingan-kepentingan di luar yang membutuhkan dukungan. Makanya, kiai lantas dilibatkan.
Apakah para kiai itu juga tidak punya kepentingan?
Saya katakan lagi berulang-ulang, kiai itu seperti orang Indonesia juga, seperti orang NU juga. Maka ada juga yang berkepentingan. Ada yang polos, lugu, ikhlas, tapi juga ada yang ngerti ini-itu. Ada yang kalau ditipu cuek saja, yang penting dapat, dan macam-macam, he-he-he. Jadi kita tidak bisa bicara dengan cara menggeneralisir. Kita harus jeli betul.
Orang sering keliru melihat fenomena kiai, karena mereka menggeneralisir kiai NU itu homogen. Ini persis ketika orang yang melihat pesantren dan menyangka pesantren itu satu; padahal pesantren itu banyaknya sebanyak kiainya. Di NU ada kiai yang bernama kiai kunci, dan ada juga kiai yang ikut kiai lain saja. Makanya, peta tentang kiai-kiai ini tidak banyak yang tahu.
Berarti para politisi yang kemarin rajin berkunjung ke pesantren-pesantren dengan maksud tertentu itu banyak juga yang kecele, ya?
Ya. Jelasnya, mereka tidak akan mendapatkan semua yang mereka inginkan. Karena itu tadi: para kiai itu ada yang rangkap. Kalau Anda datang ke mereka, Anda akan diperlakukan sehormat mungkin, persis seperti anjuran di kitab kuning.
Tapi, kalau Anda membawa agenda macam-macam dia tidak mau tahu. Tapi banyak juga yang pintar; sudah bisa tawar menawar. Sudah dididik selama 32 tahun, masak mereka tidak ngerti juga. Rakyat kecil saja sudah tahu soal itu, kok!
Bagaimana sikap kiai-kiai terhadap perseteruan internal tokoh politik NU?
Dalam memandang Gus Dur, kiai-kiai itu juga berbeda-beda. Bahwa mereka mencintai Gus Dur, itu sudah jelas. Hanya saja, implementasi cintanya juga berbeda-beda. Ada yang sangat sayang dengan Gus Dur, sehingga tidak mau membantah karena takut menyakiti hatinya, ada juga yang tidak manut, malah menasehati, menjelaskan sikapnya kalau suatu persoalan itu dianggap bisa merugikan Gus Dur sendiri.
Semua itu dalam konteks rasa sayang. Ada juga yang mengagumi Gus Dur dalam satu hal, tidak dalam hal lain. Tapi rata-rata mereka menyayangi Gus Dur meski dengan ungkapan berbeda-beda.
Misalnya sikap mereka soal Gus Dur yang ingin menyalonkan diri menjadi presiden. Banyak juga yang tidak setuju –bukan karena yakin Gus Dur tidak mampu, tapi kasihan pada Gus Dur– karena waktu jadi presiden dia tidak ada yang ngawani dan membantu.
Makanya capek sendiri dan menimbulkan rasa kasihan. Selain itu, ada juga yang menganggap Gus Dur terlalu kecil untuk jabatan presiden. Cocoknya jadi guru bangsa saja.
Bagaimana posisi Anda dalam hal ini?
Hubungan saya dengan Gus Dur tidak seperti yang diduga orang. Hubungan saya itu merupakan hubungan persaudaraan yang kekeluargaan. Jadi tidak ada hubungannya dengan politik, NU dan lainnya. Keluarganya baik dengan keluarga saya. Dia tahu semua anak saya, dan saya juga tahu semua keluarga dia. Jadi begitulah.
Kalau ngomong, kita juga ngomong keseharian yang ringan-ringan saja. Tapi orang menduga, karena Gus Dur tampil sebagai budayawan, maka saya juga budayawan; kalau tampilannya sebagai politisi, saya juga dianggap begitu.