IslamLib – Tidak sedikit orang di negara ini yang menganggap bahwa pelbagai persoalan bangsa saat ini berasal dari moral bobrok pejabat publik. Karena itu, hampir semua orang merindukan datangnya seorang pemimpin yang bersih, baik, amanah, perhatian, jujur, melayani, dan seterusnya. Bahkan ada pula yang merindukan pemimpin yang bertakwa dan beriman tebal.
Harapan-harapan seperti ini, misalnya, terekam dalam pelbagai survei opini publik yang dilakukan oleh lembaga tempat saya bekerja, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Tentu harapan semacam itu tidak keliru. Persoalannya adalah bagaimana cara mendatangkan pemimpin dan pejabat ideal? Ada sejumlah prosedur rumit dan terjal yang harus dilalui. Sang ideal tidak hanya harus mau menjadi pemimpin, tapi juga harus terpilih. Dan itu bukan main susahnya.
Berharap pada petuah-petuah moral? Sudahlah. Tak jarang malah sang pengkhotbah moral sendiri yang masuk penjara karena kasus korupsi. Bikin malu.
Cara terbaik untuk keluar dari persoalan ini adalah memaksa para pemimpin dan pejabat yang ada menjadi ideal. Dibutuhkan suatu sistem pemerintahan yang membuat para penyelenggara negara terpaksa melakukan yang terbaik.
Pada masa kampanye presiden, Joko Widodo datang dengan semangat ingin membangun pemerintahan yang bekerja cepat, efisien, berorientasi memecahkan masalah dan hasil, dan mengefektifkan implementasi semua kebijakan.
Pintu utama untuk masuk ke dalam semua itu adalah reformasi birokrasi. Untuk itu, Jokowi kemudian menggadang-gadang slogan e-government sebagai kata kunci untuk mengatasi masalah-masalah birokrasi dan pelayanan publik. Saya ingin membicarakan itu kali ini.
E-government sudah sangat populer di pelbagai negara. Tujuannya bukan sekedar membuka ruang transparansi yang lebih lebar dan meningkatkan akuntabilitas penyelenggara negara, melainkan juga untuk efisiensi dan efektivitas pelayanan. Itulah yang membuat negara-negara yang tidak demokratis pun juga sudah mulai menerapkannya, seperti Malaysia dan Arab Saudi.
Pada dasarnya, e-government adalah pemanfaatan teknologi informasi berbasis internet untuk meningkatkan akses pada informasi mengenai pemerintahan dan layanan publik. Melalui e-government, interaksi dua arah antara publik dan pemerintah bisa lebih cepat, lebih mudah, lebih efisien, dan kemungkinan lebih transparan (McClure, 2000).
Empat Tahap E-Government. Ada empat tahap penerapan e-government sebagaimana yang diamati oleh Karen Layne dan Jungwoo Lee (2001), merujuk pada kasus Amerika Serikat: cataloguing, transaction, vertical integration, dan horizontal integration.
Tahap pertama, cataloguing, adalah tahap dimana instansi pemerintah mulai menggunakan atau mengadakan website negara dalam pelbagai level pemerintahan semata untuk memberi layanan informasi kepada publik. Informasi itu meliputi kegiatan pemerintah, program layanan publik, data-data umum, dan seterusnya. Informasi yang tertera pada website pemerintah itu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum, kelompok kepentingan, peneliti, dan oleh pemerintah sendiri yang berkepentingan.
Tahap kedua adalah transaksi. Pada tahap ini, pemerintah mulai menggunakan internet tidak sekedar sebagai media informasi, tapi meningkat menjadi sarana pelayanan publik. Melalui internet, publik mulai bisa mengurus keperluan administrasi, misalnya membuat kartu identitas penduduk, memperbarui passport, membayar pajak kendaraan, dan seterusnya.
Jika pada masa pemerintahan manual, urusan-urusan administrasi publik itu dilakukan dalam waktu berhari-hari, maka dengan basis elektronik, semua itu bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit atau jam. Sistem ini juga bisa mengurangi bahkan menghilangkan praktik pungutan liar yang acapkali dilakukan oknum pemerintah pada sistem manual.
Tahap ketiga adalah integrasi vertikal. Pada tahap ini, sistem e-government sudah mencakup seluruh tingkat pemerintahan. Website yang sebelumnya terpecah-pecah berdasarkan wilayah pemerintahan kini bisa disatukan. Bila pada masa manual atau tahap-tahap awal e-government, pelayanan masih dilakukan secara bertingkat, maka pada tahap ketiga ini, sistem pelayanan seolah-olah telah menghilangkan hirarki itu.
Tahap terakhir adalah integrasi horizontal di mana semua unsur pelayanan publik ada dalam satu sistem elektronik. Pada tahap ini, yang melebur bukan hanya hirarki pemerintahan tapi juga instansi.
Di Australia, misalnya, untuk mendapatkan bantuan dana child care diperlukan beberapa syarat, yakni penghasilan yang diperoleh dari rekaman pajak dan imunisasi. Untuk mengurus bantuan dana child care, warga yang berhak tidak harus bolak-balik mengurus persyarakat ke instansi pendidikan, pajak, kesehatan, dan lain-lain. Yang perlu dilakukan hanya masuk ke sistem elektronik integratif dengan nama Centerlink. Dari situ semua bisa diproses secara online.
Posisi Indonesia. Beberapa tahun terakhir, slogan e-government mulai muncul dan semakin populer setelah Jokowi menjadikannya sebagai salah satu tema utama dalam kampanyenya. Namun begitu, berdasarkan empat tahap di atas, sebetulnya Indonesia sudah cukup lama memulai sistem ini, terutama pada tahap pertama.
Tiga level pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) sudah memiliki website yang berisi sejumlah informasi mengenai pemerintahan. Instansi-instansi pemerintahan terutama pada level kementerian juga telah memiliki website serupa. Berkaca dari sini, tahap pertama penerapan e-government sudah hampir rampung.
Persoalan dan tantangan utama penerapan e-government pada level pertama adalah bagaimana menciptakan sistem informasi pemerintahan berbasis website benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan oleh publik mengenai pemerintahan.
Sampai saat ini, website instansi pemerintahan, terutama yang dipimpin oleh politikus, masih lebih banyak berisi informasi dan promosi sang pemimpin politikusnya. Beberapa website kementerian, misalnya, didominasi oleh gambar sang menteri ketimbang serangkaian data yang dibutuhkan oleh publik. Demikian pula yang terjadi pada website-website milik pemerintah daerah.
Tantangan besar pada level pertama ini menjadi batu sandungan bagi penerapan e-government pada level berikutnya. Pemerintahan pusat dan beberapa pemerintahan daerah sudah mulai meningkatkan peran website mereka tidak lagi sekedar media informasi, tapi menjadi media pelayanan.
Inisiatif semacam LAPOR yang sudah ada sejak masa pemerintahan Bambang Yudhoyono sejauh ini cukup efektif menyalurkan aspirasi warga kepada pemerintah pusat.
E-budgeting yang sekarang mulai diberlakukan oleh sejumlah daerah juga mulai menuai efek positif. Perbincangan publik mengenai efektifitas sistem ini menangkal praktik kongkalikong oknum legislatif dan birokrasi dalam penyusunan anggaran akan meningkatkan kepercayaan publik pada e-government.
Dengan begitu, pemerintah pada semua tingkat dan instansi bisa lebih tertantang untuk berlomba memperbaiki dan meningkatkan sistem pelayanan elektroniknya. Mudah-mudahan dengan begitu akuntabilitas pemerintahan dan kepercayaan publik pada penyelenggara negara bisa meningkat seiring dengan efektifitas pelayanan itu sendiri.
Di sini, petuah-petuah moral dan para pengkhutbah menjadi kurang relevan, tergantikan oleh penerapan teknologi informasi. Bahkan pemimpin tak bermoral pun bisa ambil bagian.