Panitia Kerja Komisi III saat ini sedang melakukan pembahasan secara mendalam terhadap materi atau muatan RUU KUHP untuk mendapat persetujuan. Informasi yang berkembang, RUU tersebut akan dirampungkan paling lama akhir tahun 2016 dengan alasan telah tertunda cukup lama. Kebutuhan menyusun RUU ini antara lain dimotivasi oleh kenyataan 70 Indonesia merdeka, tapi negara ini masih mewarisi KUHP buatan kolonial. Meskipun pada aslinya KUHP kita tidak memuat delik agama, dalam perjalanannya, pasal 156a menjadi sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi, utamanya atas jaminan kebebasan beragama dan berkepercayaan. Persoalan yang merisaukan adalah dalam RUU tersebut delik pidana terhadap agama dan kehidupan beragama justru semakin menguat.
Bagaimana masa depan demokrasi di tengah ancaman delik penodaan agama?
Ranah Permasalahan. Konteks kemajemukan Indonesia seperti keyakinan (agama), etnis, suku dan yang lainnya, saat ini sedang diuji dengan munculnya sikap-sikap intoleran. Kelompok intoleran menjadi pemicu konflik dan berbagai tindak kekerasan di banyak daerah di Indonesia. Fenomena ini sangat disayangkan karena kekerasan dan pengekangan terhadap keyakinan telah mengusik ranah utama tata hidup bersama dalam satu masyarakat yang majemuk.
Toleransi meskipun belum cukup, adalah salah satu kata kunci untuk membangun masyarakat tanpa kekerasan. Akan tetapi, di beberapa tempat masih tampak adanya proses dan praktik mengkhawatirkan yang menandai kurang bergairahnya toleransi tersebut. Padahal, tanpa toleransi dan moderasi yang didasarkan pada semangat pluralisme, mengelola kemajemukan mustahil dilakukan. Apalagi jika kontestasi yang berlangsung menyentuh bagian yang paling asasi yaitu pemahaman dan penghayatan keimanan seseorang atau sekelompok orang yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh negara.
Di lain pihak, negara yang diharapkan hadir melindungi masyarakat terhadap kasus-kasus intoleran sebagaimana tertuang dalam ”nawacita”, sering bersikap ambigu dalam merespon kasus-kasus kekerasan bernuansa agama. Sementara itu, negara sangat ingin mencitrakan Indonesia sebagai negara toleran. Namun dalam praktiknya, negara selalu terlambat dalam melakukan pencegahan atas sebuah gejala konflik antara kelompok masyarakat. Selain itu, negara seringkali absen dan keluar dari persoalan utama yang harus diselesaikan. Bahkan terkadang negara melalui aparatur terkait, justru ikut memperkeruh situasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak netral sebagai pejabat publik.
Praktik-praktik intoleran dan kekerasan yang dialami oleh kelompok-kelompok non-mainstream” masih saja terus terjadi. Bahkan pemerintahan Jokowi-JK pengusung nawacita yang dianggap akan membawa angin segar perubahan ke arah lebih demokratis, belum berbuat banyak untuk menyelesaikan kasus-kasus intoleran utamanya berbasis agama.
Ibadah yang ke 105 dari kelompok GKI Yasmin di depan Istana Negara, belum diperolehnya jalan keluar bagi pengungsi Ahmadiyah di Transito NTB setelah hampir 10 tahun, adalah contoh kongkrit betapa negara lalai dalam melindungi masyarakat. Belum lagi kasus-kasus sengketa perizinan pembangunan rumah ibadah yang berujung pada vandalisme, seakan dibiarkan hilang ditelan zaman, sembari menunggu kasus baru pembakaran rumah ibadah.
Tindakan intoleransi dan kekerasan yang secara umum terjadi banyak daerah di Indonesia, disadari atau tidak justru dipicu oleh regulasi yang dibangun sendiri oleh negara. Banyak pakar menilai, akar intoleransi dan kekerasan ditengarai karena masih berlakuknya pasal-pasal karet ”Penodaan agama”. Antara lain yang termaktub dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan UU yang merujuk kepadanya. Diksi ”Penodaan agama” seringkali dipahami dan ditafsirkan tanpa memperhatikan secara serius asas kebebasan berkeyakinan dan beragama, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi.
Sayangnya kata kerja ”penodaan agama” yang demikian ”sakti” selain muncul dalam KUHP pasal 156a, justru kembali menguat dalam Rancangan Undang-Undang KUHP dalam bagian ”Delik pidana terhadap agama dan kehidupan beragama”. Kita sulit membayangkan apa yang akan terjadi di negara ini terkait jaminan konstititusi kebebasan beragama dan berkepercayaan sebagaimana menjadi jaminan asasi dari konstitusi, jika RUU KUHP itu mulus tanda perubahan.
Sebagaimana menjadi pemahaman umum, satu pasal 156a saja telah cukup untuk memenjarakan 27 kasus dengan isu penistaan dan penodaan agama pada zaman SBY, apatah lagi dalam RUU tersebut setidaknya ada 6 pasal yang akan digunakan untuk menindak masyarakat yang dikategorikan menodai agama dan beragama. Hal ini tentunya menjadi PR serius kita bersama.
Harus bagaimana? Meskipun demokratisasi di Indonesia belum kiamat dan di pihak lain adanya kesadaran bahwa fenomena kekerasan dan konflik berbasis agama dan keyakinan adalah bagian dari pematangan demokrasi di Indonesia, namun masyarakat sipil tidak boleh lengah dalam kontestasi pematangan demokrasi tersebut. Setidaknya ada beberapa kondisi yang harus dicermati antara lain:
Pertama, dalam konteks demokrasi, keterlibatan dan pertisipasi setiap warganegara dalam mengawal setiap kebijakan yang akan dilahirkan untuk keteraturan bersama sangat mutlak dibutuhkan, sepanjang partisipasi itu dilakukan secara beradab dan melalui proses-proses yang rasional. Dengan kata lain, pihak-pihak yang bernegosiasi untuk meletakkan perdebatan tentang sebuah kebijakan harus benar-benar berangkat dari nalar publik (public reason) yang rasional, tanpa harus melabeli/menstigma kelompok lain yang berkontestasi sebagai sesat, kafir dan stigma lainnya (Rawls;1971:An-Naim, 2007).
Kedua, masih di tingkat masyarakat sipil, dalam merespon fenomena intoleran dan kekerasan atau dalam bentuk konflik lainnya, perlu mengembangkan keterampilan membangun resolusi konflik yang partisipatif. Seluruh kelompok yang berkepentngan mesti dilibatkan.
Yang lebih penting lagi adalah dilakukan upaya penghindaran dari berbagai kemungkinan yang justru akan memicu konflik di tempat yang berbeda. Konspirasi tidak perlu dikembangkan. Tidak boleh ada judgement. Lebih penting lagi, perlu secara partisipatif melibatkan kelompok-kelompok yang bertikai tersebut sebagai pelaku utama perdamaian.
Ketiga, untuk merawat kemurnian demokrasi, negara harus membangun jarak yang bermartabat terhadap agama-agama. Pentingnya negara membangun jarak bermartabat terhadap agama-agama tersebut, An-Na’im menyebut dengan “the neutrality religion of the state” (An-Na’im, 2000:1).
Pentingnya menjaga jarak antara agama—negara, bukan dimaksudkan untuk meminggirkan agama-agama dalam ruang privat atau melakukan pemisahan antara agama dan negara secara ketat seperti dalam pengertian “sekulerisme klasik”. Netralitas negara terhadap agama dimaksudkan agar antara negara dan agama dapat membangun jarak yang berprinsip atau “principled distance” (Bhargava,2011:1). Dengan demikian antara negara dan agama tidak akan saling mengintervensi sekaligus tidak akan mendiskriminasi disebabkan keberpihakan terhadap satu agama atau golongan.
Hanya dalam bingkai rasional bermartabat itulah, masa depan demokrasi kita tidak akan lagi direcoki oleh pasal-pasal karet penodaan agama, apatah lagi hanya karena perbedaan penafsiran dan perbedaan sudut pandang dalam melihat fenomena agama. Allahu’alam bisawab.