IslamLib – Politik Islam dipanggung internasional mengalami krisis identitas dan sedang berada di titik nadir. Demonstrasi dan pergantian rezim di Timur Tengah, mulai Tunisia, Mesir, Syiria, Libanon, dan lainnya mengindikasikan masalah serius, yaitu mahalnya demokratisasi, egalitarianisme, dan keadilan sosial.
Politik Islam dicap tidak kompatibel dengan dunia modern yang meniscayakan keterbukaan, mengedepankan partisipasi publik, dan menghilangkan fanatisme dan praktek kotor korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini menjadi tantangan serius umat Islam umat berbenah, merekonstruksi bangunan politik yang egaliter, demokratis, dan akuntabel.
Nabi Muhammad SAW. mengajarkan umat Islam untuk membangun persaudaraan lintas sektoral, tidak dibatasi sekat agama, suku, ras, dan antar golongan. Umat Islam harus bisa berkomunikasi dan bekerjasama dengan umat lain dalam memajukan bangsa dan dunia.
Piagam Madinah adalah contoh terbaik dimana Nabi Muhammad mampu duduk dengan para pemuka agama dan politik di Madinah untuk membangun rasa memiliki dalam membangun bangsa, dengan mengesampingkan agama.
Memang, sampai sekarang, relasi Islam dan politik masih menjadi perdebatan panjang. Masih ada yang mengikuti paham integrasi, bahwa Islam adalah agama dan negara; ada yang sekuler, bahwa Islam hanya agama, sedangkan politik adalah wilayah konsensus publik; dan ada yang sinergis, bahwa Islam adalah agama yang tidak menentukan bentuk negara, tapi selalu membawa pesan-pesan esensial bagi semua bidang, tidak terkecuali politik, yaitu pesan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan mengedepankan musyawarah.
Dalam kitab-kitab utama yang biasa dikaji umat Islam, banyak yang menekankan bentuk intagrasi, bahwa kepemimpinan politik adalah keniscayaan dalam Islam untuk menegakkan misi Islam yang suci.
Abu Hafsin, Ph.D, dan Ulil Abshar Abdalla, MA, mengutip statement Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 1, h. 37 : Kerajaan dan agama adalah dua entitas, agama adalah pondasi dan raja adalah penjaganya, sesuatu yang tidak ada pondasi akan roboh dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terbengkalai, dan kerajaan tidak sempurna tanpa ada raja.
Statement Imam Ghazali di atas mengukuhkan peran agama dan negara yang terintegrasi dalam satu sistem. Negara berperan menerjemahkan ajaran-ajaran agama dalam wilayah publik.
Ini berbeda dengan pandangan golongan sekuralisme yang memisahkan agama dengan negara atau sinergi yang saling mengisi tapi tidak menyatu dalam satu sistem. Abu Hafsin dan Ulil Abshar tidak mendukung integrasi, keduanya menekankan ilmu dan moral dalam wilayah politik sehingga tujuan politik untuk kemaslahatan rakyat bisa terealisir dengan baik.
Konteks Indonesia Lepas dari perdebatan tiga relasi negara dan agama di atas, dalam konteks Indonesia yang plural dan heteregon, pilihan terbaik adalah sinergi dan inilah yang diputuskan Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke 27 tahun 1982 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur asuhan KH. As’ad Syamsul Arifin yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi dengan konseptornya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Abdurrahman Wahid yang akhirnya terpilih sebagai Rais Am Syuriyah dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.
Dalam sinergi, yang ditekankan adalah nilai-nilai esensial Islam bisa menjiwai moralitas penyelenggara negara menuju clean and good governance. Nilai-nilai esensial Islam yang dimaksud adalah keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, demokrasi, moralitas luhur.
Menurut KH. Abdurrahman Wahid, nilai fundamental Islam berkisar pada demokrasi (syura), kesetaraan (musawah), dan keadilan (musawah). Tiga prinsip inilah yang akan menjadi spirit negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Dalam sinergi tidak ada upaya formalisasi hukum Islam dan obsesi mendirikan Khilafah Islamiyah. Karena keduanya bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Motto Pancasila Binneka Tunggal Ika, unity in diversity, menjadi harga paten seluruh elemen bangsa Indonesia sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan harus dipertahankan sepanjang masa. Dalam Munas Lampung 1992 diputuskan salah satunya adalah menjadikan hukum Islam sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Jadi nilai-nilai Islam terkulturalisasi secara alami tanpa intervensi negara.
Walaupun dalam konteks tertentu ada formalisasi yang menjadi kebutuhan utama umat Islam, misalnya dalam konteks pernikahan, perwakafan, dan zakat. Tentu saja dalam hal ini yang dipakai adalah hukum Islam yang berpijak pada realitas sosial aktual, sehingga formulasinya tidak hanya dari mazhab Syafi’i, tapi dari berbagai mazhab yang menuju ke arah realisasi kemaslahatan publik secara luas.
Pemikiran solutif datang dari Muhammad An-Naim, pemikir reformis terkenal dari Sudan yang lebih memilih berdomisili di Amerika Serikat. Menurutnya, justru Islam lebih hidup di negara sekuler, artinya, negara yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk mengapresiasi praktek Islam apapun madzhabnya, tanpa mengaturnya dalam satu aliran tertentu.
Jadi, dalam negara sekuler, Islam bisa berkembang dengan baik. Menurut KH. Abdurrahman Wahid, pendekatan yang ideal adalah substansi, artinya, maksud dan inti ajaran Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan demokrasi bisa direalisir dengan baik, tanpa harus memakai jubah negara Islam yang eksklusif.
Dalam pendekatan substansi ini, transformasi bisa dilakukan secara gradual, intensif, dan sistematis dalam wilayah sosio-kultural yang strategis untuk mengangkat perekonomian, pendidikan, dan wawasan kebangsaan umat.
Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, sangat tidak bijaksana kalau umat Islam memaksakan berdirinya negara Islam, karena justru akan menjadi sumber perpecahan bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk ideal dari kebinnekaan bangsa tercinta ini.