Home » Politik » Radikalisme » Apa yang Hendak Dicapai ISIS?

Apa yang Hendak Dicapai ISIS?

4.37/5 (108)

IslamLib – Sejak Abu Bakr al-Baghdadi mendeklarasikan diri sebagai khalifah pada 29 Juni 2014, kita disuguhi parade kebrutalan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Parade itu di-display di depan mata kita hampir rutin setiap bulan, bahkan minggu. Yang fantastis dari ISIS, dia memamerkan kebrutalan itu atas nama Islam. Setiap ia menemukan metode kebrutalan baru, seperti membakar orang hidup-hidup, ia akan menyertakan dalilnya dalam teks Islam.

Secara faktual, ISIS sekarang ini sudah hadir sebagai negara. Meskipun teritorinya masih cair, belum begitu jelas dan pasti — bisa mengembang, bisa menciut. Serangan dari negara-negara koalisi anti-ISIS bisa menciutkan wilayah kekuasaannya, atau bahkan memusnahkannya sama sekali. Kita belum tahu. Yang kurang pada ISIS sekarang hanyalah pengakuan dari dunia internsional. Tetapi apalah artinya pengakuan bagi mereka, apalagi pengakuan dari negeri-negeri yang mereka anggap kafir?

Apa sih tujuan yang mau dicapai ISIS? Ini pertanyaan yang mungkin hinggap di banyak benak orang saat ini.

Tujuan pertama, menurut saya, jelas: yaitu menegakkan kekuasaan politik yang disebut khilafah. Mereka mempunyai semboyan yang terkenal dan kerap tertera dalam bendera mereka: al-khilafah baqiyah wa tatamaddad. Kekhilafahan Islam akan terus langgeng dan meluas. Kalimat dalam bahasa Arab ini juga sekaligus menjadi yel-yel mereka. Komandan ISIS biasanya akan meneriakkan kata “al-khilafah” yang kemudian disambut dengan teriakan keras oleh pasukan lain: Baaaaaaqiyah!

Apa itu khilafah? Khilafah adalah bentuk negara Islam yang tak mengenal batas-batas nasional. Dia adalah negara yang wilayahnya, dalam visi para pendukung ide ini, bisa mencakup seluruh dunia. Bahkan mereka memiliki semacam “sweet utopia” bahwa seluruh bumi, kalau bisa, harus tunduk pada satu kekuasaan politik — kekuasaan negara khilafah.

Berdirinya negara khilafah, dalam pandangan para anggota dan pendukung ISIS, hanyalah tujuan antara saja. Yang menjadi tujuan sesungguhnya ialah tegaknya syariat Allah di muka bumi. Syariat adalah hukum Islam sebagaimana tertera dalam Quran dan sunnah Nabi. Mereka berpandangan bahwa selama hukum Allah belum tegak di muka bumi, keadilan belum bisa telaksana dengan sesungguhnya.

Bagi pengikut ISIS, negara-negara yang selama ini kita sebut negara Islam atau negara dengan mayoritas penduduk Muslim, belum bisa disebut negara Islam seperti mereka bayangkan. Sebab, negeri-negeri Muslim sekarang belum menerapkan hukum Allah secara konsisten. Banyak dari mereka yang masih menerapkan hukum buatan manusia kafir dari Barat.

Kenyataan bahwa negeri-negeri Muslim masih diatur oleh hukum positif dari Barat, bagi anggota ISIS, sama sekali tak bisa diterima. Keadaan ini membikin mereka marah bukan main. Negeri-negeri yang tidak menerapkan hukum Allah, atau menerapkan hanya sebagian saja dan mencampurnya dengan hukum sekular dari Barat (katakan saja “legal jumbo-mumbo”!), tak bisa disebut sebagai negara Islam di mata ISIS.

Ini yang menjelaskan kenapa ISIS melakukan teror bukan saja di Paris, ibu kota kekafiran di dunia modern, tetapi juga di Istanbul dan Jakarta. Kita masih bisa paham kenapa anggota atau simpatisan ISIS melakukan teror di Paris (meski tak berarti kita membenarkannya!). Tetapi bagaimana mungkin mereka melakukannya di Turki, Mesir, Saudi Arabia dan Indonesia, negeri-negeri dengan mayoritas penduduk Muslim?

Tak ada penjelasan lain kecuali yang sudah saya katakan di atas. Di mata anggota dan simpatisan ISIS, negeri-negeri seperti Indonesia bukanlah negeri Muslim, melainkan negeri thaghut – negeri yang masih meringkuk-gerumuk di bawah hukum kafir yang diimpor dari Barat. Karena itu, musuh ISIS bukanlah hanya negeri-negeri Barat, tetapi juga negeri-negeri yang selama ini kita kenal sebagai negeri Muslim.

Visi ISIS mengenai dunia benar-benar bersifat manichaean, hitam-putih. Dunia, di mata mereka, mirip seperti pinang dibelah dua: yang satu belahan adalah belahan dunia Islam (dar al-Islam), belahan yang lain adalah belahan dunia kafir (dar al-harb). Yang satu terang, yang satunya gelap. Yang satu ada di pihak Allah yang Maha Terang dan Benar. Yang satunya lagi ada di pihak Setan yang Maha Gelap dan Jahat.

Pandangan ISIS mengenai dunia sekarang ini juga bersifat apokaliptik. Yang dimaksud dengan pandangan apokaliptik adalah pandangan yang berhubungan dengan apocalypse, hari akhir, atau hari kiamat. ISIS tampaknya mempercayai sebuah ramalan yang dikemukakan dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah.

Dalam hadis itu dinyatakan bahwa: La taqum al-sa’atu hatta yanzil al-Rumu bi al-A’maq aw bi Dabiq. Arti hadis itu: Hari kiamat tak akan datang hingga bangsa Rum (Romawi) terjun perang di kawasan A’maq atau Dabiq. Hadis ini tentu saja bisa ditafsirkan dengan berbagai cara. Dalam tafsiran ISIS, yang dimaksud bangsa Rum dalam hadis di atas itu adalah bangsa kulit putih. Mereka tak lain adalah koalisi negara-negara Barat yang sekarang berperang melawan ISIS.

ISIS tampaknya percaya, jika mereka berhasil memprovokasi negara-negara Barat untuk mengirim pasukan darat di Dabiq, sebuah kota kecil di sebelah utara Aleppo dan berbatasan dengan Turki, itulah tanda-tanda hari kiamat telah dekat, sesuai dengan ramalan dalam hadis di atas. Apa menariknya hari kiamat yang makin mendekat? Bukankah jika kiamat telah datang, usaha ISIS membangun negara khilafah akan sia-sia?

Jawabannya bisa ditemukan dalam visi Islam mengenai hari kiamat. Menurut Islam, sebagaimana kita baca dalam literatur mengenai tanda-tanda akhir zaman atau kiamat (adabiyyat asyrat al-sa’ah), kiamat bukan saja berakhirnya dunia ini, tetapi juga menandai periode ketika keadilan yang nyaris sempurna terlaksana di muka bumi. Sebab, sebelum kiamat tiba, ada sebuah kepercayaan dalam Islam bahwa Nabi Isa akan turun kembali ke muka bumi untuk menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya.

Karena itu, Dabiq adalah kata kunci yang sangat penting bagi ISIS. Sebab di sanalah akan terjadi perang kosmis, semacam Perang Armageddon versi Islam (sering disebut Al-Malhamah al-Kubra) di mana terjadi pertarungan antara Yang Benar dan Yang Jahat. Ini mengingatkan kita pada kisah-kisah kepahlawanan dalam film-film Hollywood. Begitu pentingnya kata Dabiq secara simbolis dalam kosmologi ISIS, sehingga kelompok ini menamai majalah mereka dengan Dabiq.

Ini semua asal-usulnya adalah dari penafsiran atas hadis tentang tanda-tanda hari kiamat di atas itu. Visi ISIS adalah visi yang apokaliptik. Mereka memanding diri sebagai kelompok yang bersiap-siap untuk menghadapi Perang Armageddon yang terjadi sebelum hari kiamat.

Ini nyaris mirip dengan pandangan kelompok Kristen zionis di Amerika yang percaya bahwa berdirinya negara Israel adalah tanda kembalinya Yesus ke muka bumi. Karena itu, mereka adalah pendukung fanatik negara Israel. Dukungan ini bukan didorong oleh motif ekonomi-politik, melainkan oleh pandangan keagamaan yang sifatnya apokaliptik. Dengan mendukung negara Israel, mereka telah mencicil langkah untuk mempercepat kembalinya Yesus untuk kedua-kalinya di muka bumi ini.

Bagi ISIS, umat Islam memiliki kewajiban keagamaan untuk tinggal di negeri yang diatur dengan hukum Islam (shari’a). Negeri itu, tak lain, adalah negara khilafah yang sedang mereka dirikan di Irak sekarang ini. Tinggal di negeri kafir adalah tindakan dosa di mata ISIS.

Sebetulnya pandangan semacam ini bukanlah khas ISIS saja. Beberapa ulama Wahabi di Saudi Arabia sudah mendahului mereka dengan mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi umat Islam untuk tinggal di negeri kafir (negeri Barat, misalnya). Sebab tak ada jaminan bahwa seorang Muslim yang tinggal di negeri kafir tak akan terpengaruh oleh kultur orang-orang kafir itu, dan akhirnya merusak akidah mereka sendiri (maksudnya: umat Islam).

Karena itu, doktrin hijrah sangat penting bagi ISIS. Hijrah artinya pindah dari negeri kafir ke ke negeri Islam. Inilah yang menjelaskan kenapa ISIS melakukan kampanye agresif agar umat Islam pindah dan bergabung dengan mereka di Syria dan Iraq. Sebab hanya negara khilafah milik merekalah yang sebenar-benarnya bisa disebut sebagai negara Islam. Negara-negara lain, termasuk negeri-negeri Muslim yang ada sekarang, adalah negara kafir. Dan karena itu, umat Islam punya kewajiban untuk meninggalkannya.

Kemaren siang (Kamis, 14/1), saya menghadiri sebuah diskusi di kantor Ma’arif Institute di kawasan Tebet. Hadir di sana seorang antropolog dari Amerika yang banyak menulis tentang Indonesia: Robert Hefner. Dia, antara lain, membuat pernyataan yang menarik tentang ISIS. Kenapa ISIS melakukan teror di Paris? Sebab, kata Hefner, dia ingin membuat umat Islam di negeri-negeri Barat tak kerasan lagi tinggal di sana. Dia ingin membuat umat Islam mengalami alienasi dan akhirnya akan balik lagi ke negeri Muslim.

Bagaimana alienasi ini timbul? Setelah teror dilakukan ISIS di Barat, sudah bisa diduga akan muncul islamophobia dan kebencian pada umat Islam, terutama dari kalangan right-wing atau kaum kanan yang fundamentalis. Teror ISIS di negeri-negeri Barat dimaksudkan, antara lain, untuk mengobarkan islamophobia ini, yang pada gilirannya akan membuat umat Islam tak kerasan dan balik lagi ke negeri Islam, yakni negerinya ISIS.

Saya kira, pengamatan Hefner ini sangat tepat, meskipun hanya untuk konteks teror ISIS di kota-kota di Barat seperti di Paris. Dalam konteks Indonesia atau negeri-negeri Muslim yang lain, boro-boro teror ISIS ini akan membuat umat Islam jatuh hati pada ideologi mereka dan kemudian pindah ke negeri khilafah di Syam atau Syria. Yang terjadi justru teror itu menimbulkan resistensi dan kutukan ramai-ramai dari dunia Islam terhadap ISIS.

Yang terjadi bukan umat Islam mengalami alienasi, sebaliknya ISIS-lah yang justru teralienasi dari umat Islam, seperti kita saksikan sekarang ini. Ini tentu tak menafikan adanya pengaruh ISIS di sebagian kalangan Islam seperti saya tulis dalam esei sebelumnya.

Dengan mengerti tujuan ISIS semacam ini, kita akan bisa memandang kelompok ini dengan lebih jernih. Ini adalah kelompok teror yang tidak main-main. Bukan saja karena ia secara faktual memiliki negara dengan teritori yang kurang lebih jelas, tetapi juga karena ia didasari oleh ideologi apokaliptik tentang akhir zaman yang sudah dekat. Mereka memadang diri sebagai pasukan Islam yang akan terlibat dalam kancah “al-malhamah al-kubra”, Perang Armageddon antara Yang Baik dan Yang Jahat.

Dengan memproyesikan diri sebagai Pasukan Kebenaran ini, anggota ISIS mungkin merasakan sense of grandiosity: semacam perasaan megalomaniak tentang kebesaran diri karena memikul sebuah tugas kosmik yang gigantik untuk menyelamatkan dunia. Ini mirip dengan sosok-sosok hero dalam komik-komik Jepang atau Amerika. Tetapi ini bukan perasaan grandisotiy yang biasa, sebab di sana ada motif dan tujuan keagamaan yang memberikan sungkup sakral pada perasaan-perasaan magalomaniak semacam ini.

Anggota ISIS, sebagaimana kaum teroris-jihadis yang lain, pada dasarnya bukan orang-orang yang ingin hidup dunia ini. Mereka lebih menghendaki kematian untuk segera berjumpa dengan kehidupan di dunia lain – kehidupan di sorga yang sarat dengan kelezatan-kelezatan yang fantastik.

Sebetulnya, kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir punya andil terhadap kelahiran ideologi yang memuja kematian ini. Kelompok Ikhwanlah yang untuk pertama kali dalam sejarah Islam mengenalkan semboyan berikut ini: al-mautu fi sabilillahi asma amanina – mati di jalan Allah (alias jihad) adalah cita-cita tertinggi kami. Semboyan ikhwan ini ditangkap oleh kelompok-kelompok teror belakangan seperti Al-Qaedah dan ISIS menjadi semboyan utama mereka.

Saya amat yakin, ideologi apokaliptik semacam ini tak akan bisa tegak lama dan sukses. Cepat atau lambat, ideologi ini akan mengalami kebuntuan dan gagal. Tetapi kita tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga ISIS mengalami kehancuran. Jika ISIS percaya bahwa “al-khilafah baqiyah”, negara khilafah akan tegak terus, maka saya cukup yakin bahwa “al-khilafah matat wa satamut”, negara khilafah telah bubar (dibubarkan oleh Kemal Attaturk pada 1923) dan negara khilafah seperti ditegakkan ISIS sekarang ini juga akan bubar, cepat atau lambat.

Sebab ideologi yang akan menang bukan ideologi yang memuja kematian seperti ideologi ISIS, melainkan ideologi yang merayakan kehidupan. Sebagian besar umat Islam, saya yakin, lebih percaya kepada ideologi yang terakhri ini ketimbang ideologi apokaliptik ISIS yang memandang kematian sebagai kebajikan utama itu.[]

 

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.