IslamLib – Banyak upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah kekerasan. Namun yang sering luput dari perhatian adalah syiar kebenciannya. Karena kekerasan itu adalah suatu rangkaian, dan syiar kebencian adalah awal dari rangkaian kekerasan. Baru-baru ini terjadi video yang memancing kehebohan karena ada ceramah agama yang menyuruh untuk melakukan pembunuhan terhadap kelompok tertentu.
Untuk membahasnya lebih jauh, Radio 68H melalui program Agama dan Masyarakat pada tanggal 05 Oktober 2011 mengadakan diskusi bertema “ceramah yang menimbulkan kebencian” bersama pengasuh pondok pesantren Al-Mizan Majalengka, Kyai Maman Imanul Haq dan aktivis Setara Institute, Bona Tigor Naipospos.
Menurut Maman, dakwah secara epistemologi adalah ajakan. Prinsip dakwah yang utama itu mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, serta memberikan argumen tanpa sentimen. Tugas seorang dai sebenarnya hanya menyampaikan, bukan memvonis sesuatu, wa maa alayna illa balaghul mubin.
Tugas seorang dai bukanlah tahkim, apalagi dengan nada provokatif seperti yang ada di video tersebut. Maka hal tersebut sangat keliru. Kalaupun harus menjelaskan suatu hukum, maka harus disertai dengan argumen-argumen kuat tanpa sentimen. Apa yang ada di video tersebut jelas menggambarkan suatu kedangkalan ilmu agama dari seorang dai.
Tidak berbeda dengan Maman, Bona menjelaskan media penyampaian syiar kebencian tidak hanya ada di ceramah dan pengajian saja, tetapi juga ada di internet, radio, dll. Ini sangat mengkhawatirkan, karena tidak hanya mengancam masyarakat umum tetapi juga anak muda. Tanpa kematangan dan kedewasaan politik, dikhawatirkan ini bisa menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.
Maka hal ini seharusnya dilakukakan tindakan pencegahan. Namun perdebatan tentang syiar kebencian ini menjadi panjang ketika membahas tentang batasannya itu sendiri. Menurut Bona, apakah suatu kritik tajam bisa diartikan sebagai syiar kebencian? Kalo perintah melakukan pembunuhan atau kekerasan, jelas sebagai syiar kebencian. Namun yang tidak mudah adalah bagaimana menentukan batas kebebasan berekspresi tersebut.
Bona melanjutkan, bahwa perbedaan antara kritik dan syiar kebencian dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) masih dalam perdebatan yang panjang. Apakah mengkritik tafsir teologis agama sendiri bahkan agama lain itu diperbolehkan? Dalam perspektif kritis boleh saja, karena agama bukanlah perspektif yang kaku.
Agama bukan ideologi tertutup dan harus mengikuti perkembangan zaman. Tidak mudah menentukan antara kritik dan syiar kebencian. Butuh kearifan dalam melihat persoalan ini lebih luas. Tapi dalam batasan tertentu, mengkritik apapun diperbolehkan kecuali bila menganjurkan kekerasan. Menyoal tentang sebab munculnya syiar kebencian, Maman menyoroti tentang akar terorisme. Menurutnya, terorisme disebabkan oleh radikalisme dan radikalisme disebabkan oleh puritanisme.
Kaum puritan inilah yang nantinya akan menyebarkan syiar kebencian. Ciri dari puritanisme adalah, pertama mereka sangat tekstual dalam memahami teks Al-Quran. Teks kitab suci tidak pernah dikembangkan dalam konteks masyarakat. Mereka berbicara selayaknya tuhan yang berbicara. Oleh karena itulah mereka sangat mudah menyuruh kelompok lain untuk dibunuh karena menurut mereka salah.
Kedua, mereka selalu menganggap orang yang berbeda dengan dia adalah kafir. Tidak pernah ada usaha untuk memahami manusia dengan pendekatan. Ketiga, mereka anti dialog. Mereka mengandalkan ceramah monolog di mimbar-mimbar sambil menyebarkan syiar kebencian. Mereka menjadikan mimbar dakwah menjadi mimbar ghibah.
Keempat, dalam era reformasi ini mereka memanfaatkan kebebasan berpendapat sebagai corong syiar kebencian. Dan ini yang paling berbahaya disamping negara yang tidak mampu melawan kelompok-kelompok puritan ini. Faktor politik tertentu juga bisa sangat melatarbelakangi terjadinya syiar kebencian ini. Orang yang tidak paham agama tapi mempunyai pengikut atau laskar tertentu atas nama agama, biasanya akan didekati calon kepala daerah karena dianggap heroik.
Menanggapi komentar dari pendengar, Maman menyatakan bahwa syiar kebencian ini tidak ada hubungannya dengan kondisi masyarakat kita yang beragam. Bila kita meyakini Allah itu satu, maka kita juga harus yakin bahwa umatnya tidak akan menjadi satu. Maman menambahkan bahwa sejak dulu ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persis.
Dari ketiga organisasi Islam terbesar tersebut masing-masing berbeda pandangan namun meyakini satu hal yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ulama Persis seperti A. Hassan adalah ulama yang sangat kuat dalam berargumen dan keras, tetapi tidak pernah sekalipun menganjurkan kekerasan. (Rofi Uddarojat)