IslamLib – Kelompok radikal Islam Indonesia makin beringas dan ganas. Mereka tak sabar melihat perbedaan agama dan perbedaan penafsiran terhadap Islam. Mereka tak rela agama orang lain berkembang, dari segi jumlah umat-penganutnya dan dari segi jumlah rumah ibadahnya.
Pelaksanaan ritual peribadatan umat agama lain dihalang-halangi dan perkenan pendirian rumah ibadahnya tak diberikan. Sejumlah patung yang menyimbolkan satu agama ditebang dan beberapa gereja dipugar.
Bahkan, jemaat GKI Yasmin tak diperkenankan melaksanan ibadah di lahan dan gedung yang keberadaannya dinyatakan sah oleh Mahkamah Agung melalui putusan MA No.127PK/TUN/2009. Alih-alih tunduk pada putusan Mahkamah Agung, Walikota Bogor (Diani Budiarto) lebih memilih patuh pada tekanan kelompok radikal Islam.
Sang Walikota pada tanggal 11 Maret 2011 mencabut IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) GKI Yasmin melalui SK No. 645.45-137. Akhirnya, jemaat GKI Yasmin beribadah di trotoar dekat gereja dalam suasana mencekam karena terintimidasi oleh Pemkot Bogor, Satpol PP, dan sekelompok radikal Islam.
Tak hanya terhadap umat agama lain. Kelompok radikal Islam juga mengerahkan kekuatan untuk menumpas gerakan kelompok Islam lain. Hingga hari ini mereka kukuh untuk mengenyahkan jemaat Ahmadiyah dari bumi Indonesia.
Tak sedikit dari mereka yang melakukan pengrusakan terhadap properti orang-orang Ahmadiyah. Rumah-rumah kepunyaan orang Ahmadiyah dibakar dan orangnya dibiarkan tinggal di tempat pengungsian. Hal yang tak jauh beda sedang dialami orang-orang Syiah. Orang-orang Syiah diserang.
Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaludin Rakhmat menyatakan, seperti diberitakan disejumlah media, bahwa penyerangan terhadap Syiah telah dimulai secara terorganisir sejak tahun 2007 di Bondowoso, Bangil Pasuruan, dan berlanjut di Sampang Madura. Kelompok radikal Islam itu menumpahkan kemarahan bukan hanya melalui pidato melainkan juga dengan penghancuran dan pembakaran aset-aset Syiah.
Telah lama Gus Dur berkata tentang pentingnya menampilkan Islam ramah bukan Islam marah. Islam ramah adalah Islam yang cenderung menyelesaikan persengkataan melaui cara-cara nir-kekerasan dan mengacu pada hukum yang berlaku.Main hakim sendiri tak dilakukan Islam ramah.
Beda dengan Islam ramah adalah Islam marah. Sejauh yang bisa kita lihat, kelompok radikal Islam adalah yang paling doyan memecahkan persoalan dengan amarah dan emosi tinggi. Tak hanya marah dalam ceramah, tapi juga marah dalam tindakan nyata. Jika mulut melontarkan umpatan dan cacian, maka tangan melakukan penghancuran bahkan penebasan.
Tak jarang, teriakan suci “Allahu Akbar” di bibir paradoks dengan perilaku kotor di tangan yang membawa pentungan. Mulut berkata suci, lalu tangan yang mengotori dengan tindakan yang tak terpuji. Dalam aksinya, mereka seperti orang sedang kesurupan, tak ingat suatu apa kecuali merusak dan meobrak-abrik apa yang ada di sekitar.
Seperti dikatakan Gus Dur, Islam adalah agama ramah. Bagi saya, keramahan Islam tampak pada beberapa bukti ajaran dan tindakan Nabi. Pertama, Islam mengajarkan bahwa untuk memulai satu pekerjaan hendaknya umat Islam memulainya dengan bacaan basmalah bukan takbir “Allahu Akbar”.
Kita tahu, pada bacaan basmalah itu terdapat nama Allah, al-rahman dan al-rahim (yang maha pengasih dan penyayang). Ini menunjukkan bahwa tindakan dan perilaku umat Islam mesti mencerminkan kasih-sayang dan keramahan.
Umat Islam harus merefleksikan dan mengaplikasikan keramahan itu dalam kehidupan sehari-hari. Gerak lidah dan tangan kita harus menjadi bagian dari al-rahman dan al-rahim itu.
Kedua, Islam menganjurkan untuk mengucapkan salam, “assalamu ‘alaikum”. Semua tahu bahwa salam itu berarti damai atau kedamaian. Mengucapkan salam berarti mendoakan agar orang lain berada dalam kedamaian.
Begitu pentingnya salam-damai itu, tak hanya dalam kehidupan sosial, dalam ibadah ritual seperti shalat pun umat Islam diwajibkan mendoakan salam-damai sekurangnya buat orang yang ada di kanan dan kiri kita.
Bagi saya, mendoakan damai bagi orang lain itu menunjukkan keramahan Islam. Orang yang sangup mendoakan baik untuk orang lain adalah orang yang dalam hatinya tak ada kebencian, melainkan rahmah dan kasih sayang.
Ketiga, Nabi Muhammad SAW bukanlah tokoh pemarah apalagi pendendam. Ia ramah dan pemaaf. Kisah berikut bisa membantu menjelaskan. Ketika kota Mekah berhasil ditaklukkan umat Islam, Nabi Muhammad tak melakukan pembalasan terhadap intimidasi, isolasi, dan kekerasan yang pernah dilakukan Musyrik Mekah terhadap dirinya dan umatnya.
Alih-alih berkata marah, Nabi Muhammad justru berkata, “la tatsriba ‘alaikum al-yawm yaghfiru Allah lakum idzhabu fa antum al-thulaqa” [hari ini tak ada cercaan pada kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kalian. Kalian boleh pergi, kemana pun. Kalian adalah orang-orang bebas].
Keempat, alkisah suatu waktu Rasulullah mengutus Khalid ibn Walid bersama 350 orang ke pemukiman Juzaimah Yalamlam, untuk kepentingan dakwah Islam. Orang-orang yang ditemui Khalid dan pasukannya itu tak eksplisit berkata bahwa dirinya memeluk agama Islam, seperti permintaan Khalid.
Mereka hanya berkata, “shaba’na” [kami keluar dari agama kami]. Khalid tak puas dengan perkataan itu. Ia memerintahkan pasukannya untuk membunuh mereka. Di antara anggota pasukan, ada yang melaksanakan perintah Khalid itu. Tapi, tak sedikit juga yang menolaknya.
Abdurrahman ibn Auf dan Abdullah ibn Umar termasuk yang tak menyetujui dan menegur Khalid ibn Walid. Mendengar kejadian itu, Nabi Muhammad langsung mengadu kepada Allah, “Allahumma inni abra’u ilaika mimma shana’a Khalid” [Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid”.
Peristiwa ini menunjukkan penolakan Nabi terhadap cara-cara kekerasan dalam mendakwahkan Islam, seperti yang dilakukan Khalid ibn Walid.
Kelima, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad memiliki barang-barang berharga, hasil rampasan perang yang dikirim Ali ibn Abi Thlib dari Yaman. Nabi Muhammad membagi harta rampasan itu kepada orang-orang yang berhak. Namun, Uyainah ibn Badr dan al-Aqra’ ibn Habis mengkritik Nabi. Mereka menuduh Nabi telah membagi secara tidak adil.
Mendengar tuduhan itu, Khalid ibn Walid bangkit dan meminta ijin kepada Nabi untuk memenggal leher keduanya. Tapi, Nabi tak mengijinkan Khalid. “La’allahu yushalli” [boleh jadi dia shalat], kata Nabi.
Lalu Khalid berkata, “betapa banyak orang shalat dengan lidahnya, tapi tidak dengan hatinya”. Nabi kemudian bersabda, “inni lam u’mar an anquba ‘ala qulubi al-nas wa la asyuqqa buthunahum” [aku tak disuruh untuk menggali isi hati manusia dan untuk membelah perut mereka].
Belajar dari kisah ini, sekiranya orang Syiah dan orang Ahmadiyah masih shalat, maka mestinya mereka tak boleh dibunuh atas dasar keyakinan atau tafsir keislaman yang dikembangkannya.