Home » Politik » Radikalisme » Luthfi Assyaukanie: “Ideologisasi Islam Kini Sedang Bergerilya”
Luthfi Assyaukanie

Luthfi Assyaukanie: “Ideologisasi Islam Kini Sedang Bergerilya”

3.67/5 (3)

Beberapa gerakan Islam baru, kini meneriakkan tuntutan negara Islam atau khilfah Islam. Apakah ini semacam gejala amnesia sejarah?

Kalau melihat fenomena 5 tahun belakangan, atau persisnya sejak reformasi, memang tampak adanya upaya-upaya untuk menghidupkan gagasan-gagasan politik Islam lama. Menjelang pemilu 1999, ada beberapa partai yang mengklaim sebagai pewaris ideologis Masyumi. Ini jelas merefleksikan keinginan untuk menghidupkan kembali gagasan-gagasan Masyumi. Namun saya kira, semangat itu wajar muncul dan sah-sah saja.

Tapi yang dilupakan banyak orang, perkembangan pemikiran politik Islam Indonesia sudah bergerak sedemikian dinamis, sehingga ada beberapa gagasan atau konsep yang di tahun 1950-an sangat populer dan didukung banyak orang, lambat laun ditolak, bahkan oleh tokoh-tokoh Islam yang berlatarbelakang sama dengan mereka yang dulu mengusungnya. Misalnya gagasan negara Islam yang di tahun 1950-an, hampir didukung oleh seluruh orang Indonesia yang berlatar belakang santri.

Kalau dulu kalangan santri mendukungnya, mengapa Indonesia tidak mendeklarasikan negara Islam saja? Apakah kalangan santri kalah-tarung di pentas perpolitikan nasional?

Dibilang kalah, tidak juga. Terlebih kalau dilihat dari perolehan suara kalangan santri dalam pemilu tahun 1955. Di tahun 1950-an, gagasan negara Islam didukung hampir seluruh kalangan santri. Namun, dukungan itu tetap tidak cukup untuk memenangkan pertarungan demokrasi di tingkat pemilu.

Pada pemilu 1955, partai-partai yang berbasis kalangan santri memperolah 43 % suara. Kalau dilihat dari semangat yang menggebu-nggebu untuk memperjuangkan negara Islam tapi tidak terwujud, memang dapat saja dinilai sebagai kekalahan. Tapi dibandingkan sekarang, perolehan suara kaum santri di masa lalu memang sudah cukup besar. Perolehan suara partai-partai Islam setelah reformasi terbukti menurun secara drastis.

Tapi perkembangan yang lebih menarik bagi saya, gagasan negara Islam, sejak tahun 1980-an sudah dikritik oleh tokoh-tokoh Islam sendiri. Kita ingat, di tahun 1982, Amien Rais, pemimpin Muhamadiyah ketika itu, termasuk orang pertama yang secara terbuka menolak gagasan negara Islam; sesuatu yang tidak dikatakan langsung tapi didukung by implication oleh almarhum Nurcholis Madjid. Padahal, Amien Rais saat itu dikenal sebagai aktivis yang cukup Islamis. Gejala ini, bagi saya menunjukkan adanya perkembangan pemikiran politik Islam itu sendiri.

Bagaimana dengan perubahan paradigma berpikir dari perjuangan Islam-struktual menuju yang lebih kultural dan subtantif?

Nuansa seperti itu sebetulnya juga sudah ada pada perdebatan di masa-masa pra-kemerdekaan, terutama dari kelompok nasionalis-sekuler. Mereka-mereka lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman ketimbang Islam secara formal. Bahkan, Sukarno pernah menyatakan, “Tangkaplah api Islam, bukan abunya!” Selain itu, ada juga yang mengajurkan perlunya mengamalkan politik garam, bukan politik gincu.

Jadi secara umum, perdebatan apakah kita harus mengedepankan Islam yang subtantif atau bukan, sudah sejak lama terjadi. Hanya saja, belakangan mereka yang berpikir lebih substantif tampak makin membesar dalam peta pemikiran politik Islam di Indonesia.

Tapi kini, kalangan yang berpikiran formalistis tampak kembali menguat.Apakah bandulnya sudah berayun ke belakang lagi sejak reformasi?

Kita tidak bisa berbicara soal menguat atau tidaknya tanpa ada data atau bukti. Data atau bukti paling kongkret adalah hasil pemilu dan pertemuan-pertemuan di MPR. Bukti-bukti menunjukkan, baik pada pemilu 1999 maupun 2004, partai-partai yang mendukung ideologi Islam telah terbukti kalah dan hanya mendapat suara yang relatif kecil.

Di tahun 2002, kita menyaksikan begitu besarnya penolakan atas tuntutan pengembalian Piagam Jakarta di ruang sidang MPR. Jadi, pada tingkat pusat, dukungan atas ideologisasi Islam sudah bisa dikatakan menyurut.

Namun, tetap ada langkah-langkah berikutnya. Seiring proses demokratisasi, gagasan otonomi daerah menguat. Karena gagal di tingkat pusat, para pendukung ideologisasi Islam bergerilnya dari bawah. Ketika ideologi Islam gagal diperjuangkan di tingkat pusat, mereka menyebar ke tingkat-tingkat daerah.

Salah satunya berwujud pelbagai tuntutan formalisasi syariat Islam seperti di Aceh. Padahal, di Aceh sendiri dukungan atas formalisasi syariat Islam tidak juga seragam. Ada banyak kelompok yang melakukan perlawanan.

Tahun lalu saya berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan sejumlah tokoh yang sebetulnya juga bingung menyikapi isu formalisasi syariat. Aceh memang semacam dilema. Pada satu sisi, secara historis Aceh merupakan negara Islam dalam pengertian yang netral dan umum.

Sebelum Indonesia terbentuk, di sana sudah ada kerajaan Islam yang sudah sangat tua. Ketika kingdom itu menjadistate, Aceh diharapkan akan menjadi Islamic mini-state. Saya kira, semangat formalisasi syariat itu lebih banyak untuk menjaga kesinambungan sejarah Aceh.

Apa kritik Anda terhadap wacana politik Islam yang dominan selama ini?

Secara umum, saya melihat adanya dinamika dan perubahan-perubahan cukup fundamental dalam sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia. Dalam rentang waktu 50 tahun terakhir, selalu ada pasang-surut gagasan. Ide-ide yang di tahun 1950-an cukup populer, kini bisa tidak populer lagi.

Saya kira, perkembangan itu bukan hanya menyangkut soal ideologi, tapi juga utopia besar yang hendak diusung. Para pemikir politik Islam memang sudah punya angan-angan tentang model tatanan pemerintahan tertentu. Dan itu sudah terpatri di dalam mindset mereka. Karena itu, seluruh penjelasan tentang ideologi yang mereka anut akan berpusat pada utopia yang mereka angan-angankan itu.

Artinya, sedari awal sudah ada anggapan kalau bernegara atau berkhilafah Islam, urusan negara pasti akan beres?

Menurut saya, lebih dari itu. Utopia itu merupakan payung dari semua gagasan-gagasan ideologis. Turunannya adalah perdebatan tentang konsep negara Islam, pandangan boleh-tidaknya presiden dari non-muslim atau perempuan, dan isu-isu lain. Itulah turunan-turunan dari pemikiran politik Islam yang dipayungi sebuah tata pemerintahan atau apa yang saya sebut utopia tadi.

Menurut Anda, apa yang kurang dari pemikiran politik Islam selama ini?

Secara umum, sejarah Islam modern adalah sejarah bagaimana kaum muslim merespon gagasan-gagasan politik yang datang dari Barat. Saya melihat, sejauh ini ada perkembangan yang begitu dinamis di dalam pemikiran politik Islam, sehingga sudah dapat menerima gagasan-gagasan yang datang dari Barat.

Tapi dalam tingkat yang praktis, memang ada semacam simulacraatau rasa takut dan waswas dalammenerapkan gagasan-gagasan yang datang dari Barat itu, seperti isu demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan lain-lain. Karena itu, dalam laporan-laporan badan internasional, negeri-negeri muslim selalu mendapat rangking terburuk dalam bidang-bidang tersebut.

Namun, demokrasi memang sebuah proses panjang yang sulit untuk diterapkan secara penuh. Karena itu, di negara-negara Barat sendiri selalu ada indeks yang setiap tahun mengukur naik-turunnya peringkat demokrasi mereka. Misalnya, sebuah pemerintahan yang indeks freedom atau kebebasannya turun, biasanya juga akan mengurangi nilai demokrasinya. Kita mungkin juga perlu bersabat untuk sampai ke situ.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.