IslamLib – Saya masih berada di Balikpapan ketika Saudara Anick HT mengirim info via pesan pendek (SMS) bahwa dia dan Ahmad Suaedy akan menjadi saksi persidangan Rizieq Shihab hari Senin (25/8/2008), pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Begitu inginnya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa Front Pembela Islam (FPI), mengingat terdakwanya adalah orang yang selama ini mereka kultuskan.
Senin pagi saya menjemput Saudari Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah meminta izin, polisi dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan.
Di dalam gedung kami berpapasan dengan beberapa orang dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.
Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, lebih banyak laki-laki dan sebagian besar memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada tempat kosong; cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan. Itu terjadi setiap kali diteriakkan kata ”takbir” oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.
Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan dengan itu, Nong, Anick, Saidiman, dan Ilma datang. Kami berenam duduk bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN hanya muat empat orang).
Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadwal sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick, dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya laki-laki.
Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh sesak. Sebagian duduk di lantai, sebagian lagi berdiri di seputar dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh pendingin ruangan (AC), sekarang sudah berubah panas dan sumpek.
Seingat saya, ada aturan yang ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?!
Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai melakukan ratiban. Tentu dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa, dan wiridan lainnya, mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim, karena seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.
Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban sama sekali bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah saya lakukan sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara.
Di pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak, sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang lain.
Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk memimpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. ”Semua yang mengaku Muslim harap berdiri!” demikian perintahnya.
Amanda dan saya tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: ”Kalau Islam, berdiri dong!”; ”Hai kafir, jangan duduk saja!”; ”Kamu bukan golongan muslim, ya?!”; dan seterusnya. Kami tetap diam dan bergeming.
Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan tangan berdoa dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda. Terdengar suara, ”Sudah, nggak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas Islam!” Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu.
Yang pasti doa lalu dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin, dengan suara lantang; seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: ”Heran ya, kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain?!” Apalagi soal doba-berdoa; itu kan tidak harus berdiri, bisa sambil duduk, berbaring, dan itu terserah kita. ”Ya, begitulah mereka,” jawab saya.
Pembacaan doa berakhir, dan tidak berapa lama para hakim memasuki ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq Shihab memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk.
Hakim Ketua sempat menegur: ”Ehh, ini siapa?” Lalu dijawab, isteri Rizieq. ”Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu pengunjung!” kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera saja muncul interupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang.
Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak di dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik; orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam.
Sempat terjadi adu argumentasi yang hangat. Akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi meninggalkan ruangan. Hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua. Sikapnya tegas, tenang, dan tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang ”hangat”.