Benih-benih ekstremisme ada dalam semua agama. Doktrin metafora spasial yang beroposisi biner, seperti mukmin-kafir dalam Islam atau extra exclessia nulla salum dalam tradisi Kristiani, merupakan potensi munculnya gejala ekstremisme agama. “Tumbuh-kembangnya benih ekstremisme agama tersebut biasanya tergantung konteks historis politiknya,” demikian dinyatakan Saiful Mujani, kandidat doktor bidang political science dari Ohio-State University, AS.
Menurut Saiful, kaum ekstremis Islam memiliki kecenderungan “menguasai” negara ketimbang ekstremis Kristen yang cenderung inward looking (berorientasi ke dalam). Berikut ini petikan wawancara dengan peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal.
Bagaimana Anda melihat fenomena munculnya gejala ekstrimisme agama-agama?
Saya berpendapat bahwa ekstrimisme itu muncul ke permukaan secara timbul tenggelam. Apa yang disebut ekstrimisme dalam keagamaan adalah satu pandangan, sikap dan perilaku kelompok agama yang keluar dari mainstream. Intinya, keluar kebiasaan dari pandangan, sikap dan perilaku yang biasa dilakukan di masyarakat beragama pada umumnya.
Misalnya untuk menyikapi kalau ada saudara seagama yang dipandang teraniaya dalam suatu masyarakat biasanya memunculkan keprihatinan. Gejala yang bersifat mainstream barangkali mewujud dalam bentuk keprihatinan. Bentuk yang ekstrim mencoba melihat hal itu tidak sekadar prihatin, tapi juga dilanjutkan dalam aksi advokasi, penyikapan, pemberian label (ini yang biasanya kuat) sehingga mencuri perhatian publik yang besar. Khusus dalam ekstremisme agama, pelabelan dan pengkontrasan antara pihak yang teraniaya dengan penganiaya itu begitu besar dengan memakai simbol-simbol agama.
Bisa Anda paparkan ciri-ciri ekstremisme agama?
Pertama, mempunyai pandangan yang khas tentang apa yang diyakininya. Saya kira, semua agama mengklaim bahwa agama yang diyakini dan yang dipahami oleh satu kelompok itulah yang paling benar. Adapun yang lain salah. Konsekuensinya ialah ada usaha untuk meyakinkan atau memberlakukan keyakinannya kepada orang lain melalui propaganda dan retorika.
Singkat kata, kaum ekstremis agama itu eksklusif, minoritas dan tidak mentolerir pandangan-pandangan yang berbeda. Mereka juga tidak mau berdialog, dan kalaupun mau berdialog biasanya mereka sudah punya satu sikap dan posisi yang jelas, yang tidak bisa ditawar.
Ada ciri lain yang Anda lihat?
Yang kedua, ekstrimisme agama itu biasanya dijabarkan dalam bentuk aktifisme. Misalnya mereka mengorganisir dirinya dan kelompoknya. Ada aktivis-aktivisnya yang tidak hanya didukung oleh solidaritas sesama, tapi juga ada organisasinya.
Tentu juga disupport dana dan ditopang jaringan yang luas. Faktor media massa juga menjadi penting. Walaupun media massa bisa netral, tapi karena kaum ekstremis muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang agak “beda” dengan mainstream, kemudian menjadi menarik perhatian untuk diekspos.
Jadi saya melihat bahwa ekstrimisme dalam bentuk sikap, pemikiran, atau pandangan itu sebetulnya tidak menjadi persoalan yang terlalu serius dalam masyarakat yang plural. Namun ketika mereka terorganisir dan membuat klaim kepada publik bahwa mereka mewakili sebuah komunitas besar, maka barulah menjadfi problem besar..
Kalau kita melihat gejala yang kita hadapi akhir-akhir ini adalah; kelompok-kelompok ini menjadi masalah kalau sudah menuding yang lain salah, lalu memaksakan pendapatnya, lalu menganggap yang lain tidak punya hak atas kebenaran itu.
Tepat. Karena kita sendiri juga punya hak untuk mengklaim bahwa kitapun punya satu kebenaran. Sejauh klaim tersebut hanya dalam diskusi, menurut saya, wajar dan biasa. Tapi kalau sudah diwujudkan dalam bentuk kegiatan sehari-hari yang sifatnya memaksa dan menggunakan kekerasan, hal itu yang menjadi persoalan.
Bukankah gejala ekstrimisme ini juga ada sepanjang sejarah agama. Dalam Islam misalnya, pada masa klasik ada kaum khawarij, kaum pembelot, yang juga menggunakan metode dan penafsiran yang ekstrim. Apa yang spesial dalam ekstremisme di zaman sekarang ini?
Kalau mencari yang spesial, saya cenderung mengatakan bahwa dalam setiap agama apa pun, entah Hindu, Kristen dan lain-lain selalu muncul benih ekstrimisme. Cuma masalahnya; kapan benih itu bisa tumbuh menyebar, lebih besar, aktif ke permukaan tergantung konteks historis dan latar belakang politiknya.
Benih dalam agama yang mendorong ekstrimisme itu apa?
Doktrin-doktrin tertentu, misalnya dalam Islam ada doktrin binary untuk membuat beda: Islam dan kafir, ada orang beriman dan orang yang tidak beriman. Yang diposisikan di seberang berkonotasi negatif dan bersifat labelling yang ditunjang akar teologis. Dalam agama Kristen juga ada satu keyakinan bahwa tanpa Kristus manusia tidak akan selamat. Dalam semua agama memang ada unsur claim of truth (klaim kebenaran) dan claim of salvation (klaim keselamatan).
Adakah sebab-sebab di luar agama yang mendorong timbulnya ekstrimisme?
Benih tadi bisa tumbuh subur kalau ada lingkungannya. Nah, lingkungan itu tentu saja yang tradisional –orang biasa menyebutnya ada persoalan alienasi masyarakat. Alienasi, yaitu masyarakat merasa terasing, diperlakukan tidak adil dan seterusnya. Ekstrimisme bukan hanya monopoli dalam agama, komunis juga dalam bentuk tertentu sangat ekstrim.
Kesempatan politik juga mendorong tumbuhnya benih ekstrimisme. Apabila ada politik yang terbuka dan bebas merupakan pupuk yang cukup baik untuk tumbuhnya ekstremisme. Dengan kebebasan itu mereka memanfaatkannya untuk menyebarluaskan keyakinan. Mereka belum tahu makna kebebasan. Seolah-olah kebebasan itu adalah peluang untuk mendominasi orang lain.
Hal itu menyalahi pengertian dari kebebasan itu sendiri. Jadi faktor luar yang mendukung adalah, pertama, adanya peluang kebebasan. Kedua, kebebasan yang belum terlembagakan dalam masyarakat secara baik karena masih relatif baru. Di dalam demokrasi yang sudah mapan, kebebasan sudah terlembagakan berarti ada mekanisme dan prosedur yang telah disepakati berdasarkan hukum.
Sederhananya, dalam konteks masyarakat kita, orang yang bersalah atau diduga mencuri kerapkali dibakar ramai-ramai. Sementara, kebebasan yang melembaga berarti menyerahkan kepada mekanisme hukum untuk menyelesaikannya.
Apakah kebebasan saat ini sudah dipakai kelompok tertentu ke arah ekstrimisme dan penggunaan kekerasan?
Banyak sekali. Misalnya saja konflik atas dasar atau simbol agama. Di Ambon, Poso dan pembakaran gereja dan lain-lain adalah wujud dari kebebasan yang belum terlembaga. Kedua, orang masih belum percaya terhadap partai politik sebagai salah satu sarana penting untuk memanage konflik dan perbedaan.
Kesempatan politik saat ini biasanya juga diisi oleh para petualang politik yang mencuri kesempatan masyarakat yang sedang bertransisi itu sebagai suatu bentuk untuk menumbuhkan benih-benih tadi. Sebenarnya ini politik biasa untuk bargaining di antara kelompok-kelompok yang sedang bermain.
Partai politik juga punya keterbatasan di dalam menampung orang-orang yang berminat untuk kekuasaan dan lain-lain. Ini salah satu media untuk mobilitas vertikal, tidak hanya duduk jadi menteri atau anggota DPR, tapi juga popularitas di publik.
Semua kelompok bebas menyuarakan aspirasinya. Masalahnya ada satu kelompok tertentu yang cenderung menggunakan kekerrasan di dalam memperjuangkan kepentingannya?
Prinsip kebebasan sebenarnya amat berat. Karena di dalamnya ada tanggung jawab, bukan anarki. Bentuk ekstrimisme berbahaya karena sudah menyangkut hak-hak orang lain, hak untuk beragama, hak untuk berbeda, dan lain-lain yang diterjang. Untuk menyikapinya, perlu pelembagaan dan internalisasi keyakinan dalam diri manusia. Doktrin pluralisme perlu dikembangkan. Tentu saja peran para mufassir doktrin-doktrin agama menjadi penting. Jadi perlu diperbanyak para mufassir yang moderat.
Kalau hukum positif saat ini tidak jalan, kenapa tidak dicoba hukum Islam?
Itu bukan solusi. Apakah orang yang menerapkan hukum Islam juga akan membuat kebebasan terjamin di masyarakat.
Soal pelembagaan kebebasan melalui hukum tentu menjadi PR kita bersama. Apapun alasannya tidak ada jalan lain, kecuali kita sendiri sebagai warganegara mencoba membangun pelembagaan hukum di antaranya dengan menanamkan kesadaran dari masyarakat untuk melihat bahwa hukum menjadi mediasi yang terbaik bagi masyarakat yang bebas. Kekerasan atas nama apapun jelas mencederai makna kebebasan.
Kita hidup dalam satu masyarakat yang plural dengan berbagai pandangan yang berbeda-beda. Gejala ekstrimisme muncul kalau orang memaksakan satu pendapat, lalu mengingkari kehidupan yang plural. Bagaimana Anda melihat usulan agar pada bulan Ramadhan toko-toko yang menjual miras, hiburan-hiburan harus ditutup?
Kenapa harus bulan Ramadhan? Kalau hubungan antara kegiatan tadi dengan masalah yang negatif dalam masyarakat itu bukan hanya pada bulan Ramadhan. Kenapa harus diskriminatif seolah-olah karena bulan suci saja? Poinnya: bulan suci justru dikaitkan dengan bulan-bulan berikutnya.
Di negara yang disebut sekuler sekalipun, memang ada pembatasan, misalnya penjualan miras, lokalisasi WTS dan lain-lain. Cuma masalahnya, hukum kita ini seperti apa? Jangan tiba-tiba kemudian hal itu menjadi persoalan yang parokial. Artinya kita membatasi itu ketika bulan Ramadhan yang seolah-olah hanya menyangkut umat Islam.
Padahal ini bukan persoalan umat Islam saja, tapi menyangkut kepentingan publik. Kalau kegiatan seperti itu tidak baik misalnya, kenapa kita tidak bicarakan itu sebagai masalah negara ini. Jangan dianggap soal miras dan pelacuran itu sebagai masalah umat Islam sendiri.
Itu masalah semua orang beragama. Setidaknya itu urusan publik di sini. Jangan disubordinasi pada persoalan puasa dan sebagainya, yang kemudian akan memunculkan reaksi yang tidak positif dari orang yang beragama lain. Kita harus membawa agama dengan cara yang sangat santun dan ini bagian dari kepentingan publik bersama.
Jadi misalnya ada yang melakukan sweeping dan penertiban tempat-tempat hiburan di bulan Ramadhan?
Tidak boleh orang atau pihak swasta yang melakukan sweeping. Itu jelas melanggar hukum. Yang punya hak adalah polisi. Kita sebagai warganegara harus percaya pada polisi. Kalau polisi ini belum jalan, maka adalah kewajiban kita bagaimana membuat polisi menjalankan tugas.
Kita boleh mengkritik polisi, membenahi polisi, mendemonstrasi dan mendatangi kantor polisi. Sementara, bila kita menertibkan apalagi dengan jalur kekerasan dengan memakai simbol-simbol agama itu berarti kita mengotori pesan suci agama dan melanggar hukum.