IslamLib – Konflik dan silang sengketa Timur Tengah senantiasa berdampak sampai jauh ke Indonesia. Proses radikalisasi masyarakat Indonesia pun berlangsung lewat persebaran gagasan-gagasan yang muncul di Timur Tengah. Bagaimana itu bisa terjadi? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Sidney Jones, Project Director International Crisis Group (ICG) untuk kawasan Asia Tenggara Kamis, 31/8, lalu.
Mbak Sidney, tampaknya agresi Israel ke Libanon kemarin menjadi inspirasi penting bagi milisi-milisi Islam dimanapun untuk merekrut anggota dan menghimpun kekuatan kembali. Apa komentar Anda?
Bisa jadi inspirasi. Saya kira, yang paling ditakuti negara-negara di luar Timur Tengah adalah: masalah Libanon justru menjadi magnet yang menarik mujahidin dari seluruh dunia. Tapi itu masih bergantung pertama-tama pada apakah mereka punya dana. Kedua, apakah ada tempat latihan.
Ketiga, adakah cara-cara praktis untuk betul-betul dapat menolong Hizbullah. Tapi saya kira, itu sangat sulit. Karena kelompok yang sudah jelas jaringannya saja, seperti al-Qaida dan salafi-jihadi yang Sunni sudah mulai kesulitan dana. Tapi kalau bergabung dengan kelompok Syiah di Libanon, siapa tahu sumber dananya ada. Ini satu faktor yang harus dipikirkan juga.
Kemarin banyak sekali kelompok-kelompok yang sudah unjuk kebolehan perang untuk berangkat ke Libanon. Apakah kelak itu akan jadi duri dalam daging bagi masyarakat Indonesia?
Ya. Yang harus diingat, setiap kali ada sesuatu seperti perang di Irak atau di Afganistan, atau perang seperti di Libanon kemarin, selalu ada pos-pos yang muncul tiba-tiba dengan menarik orang yang ingin menjadi mujahidin.
Mereka didaftarkan dan lain sebagainya. Tapi sepanjang yang saya tahu, jarang sekali nama-nama yang didaftar di pos-pos itu betul-betul berhasil berangkat. Sebab, prosesnya tidak segampang menuliskan nama. Harus ada logistik, dana, dan banyak hal lainnya.
Kalaupun logistik dan dana sudah didapat, msalahnya juga belum selesai. Karena ada kesulitan untuk mencari jalan masuk ke daerah perang dan kesulitan lainnya.
Memang tidak mustahil beberapa orang, mungkin puluhan atau sedikit lebih dari itu, bisa tetap berangkat. Tapi begitu sulit memberangkatkan begitu banyak orang, apalagi betul-betul ikut ke medan perang. Biasanya, kalau mereka mau bergabung ke medan perang, mereka ke Malaysia dulu, ikut suatu organisasi LSM di Malaysia.
Mungkin bisa berangkat lewat jalur itu. Tapi karena Sunni dan Syiah tidak bersatu, maka kontak dan jaringan mereka yang ada di Libanon tidak begitu baik dengan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Mereka yang di Palestina mungkin lebih luas kontaknya, apalagi dengan adanya kelompok Ikhwanul Muslimin di sana.
Nah, dalam kasus Irak, sampai saat ini, setahu saya tidak ada satu orang dari Asia Tenggara pun yang ikut bergabung dengan pemberontakan atau perlawanan di sana. Mungkin ada saja, tapi saya belum lihat. Saya kira, walau banyak omong-omongan tentang pentingnya ikut sebagai mujahidin di sana, tapi itu tidak terjadi.
Jadi dalam kasus-kasus seperti itu, jangan lihat kata-kata saja, tapi lihat bagaimana mereka bisa mengumpulkan apa yang diperlukan untuk berangkat. Kalau ada banyak infak di Indonesia, mungkin mereka bisa berangkat. Tapi saya kira kemungkinannya kecil.
Saya kira, ancaman dari kelompok yang sudah ada di Indonesia jauh lebih besar daripada orang yang mungkin sekarang ini baru mau berangkat sebagai mujahidin.
Apa tafsiran Anda terhadap keberatan Israel atas partisipasi Tentara Nasional Indonesia dalam tentara perdamaian PBB di Libanon?
Menurut saya, itu wajar. Kalau tidak punya hubungan diplomatik, kan wajar saja. Jadi saya kira, kalau Indonesia betul-betul mau ikut pasukan di sana, atau misalnya mau menjadi semacam broker atau perantara dalam proses perdamaian Arab-Israel, sebaiknya harus ada hubungan diplomatik dengan Israel.
Tapi untuk sekarang, secara politik itu tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Jadi saya kira, bukan sesuatu yang aneh kalau Israel atau negara-negara yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel tidak bisa ikut serta dalam misi perdamaian PBB. Mungkin Indonesia tidak dilihat sebagai kelompok yang netral.
Apa dampak agresi Israel ke Libanon terakhir terhadap pasang-surut aktivitas terorisme di dunia?
Mungkin terlalu dini untuk tahu dengan pasti apakah perang di Irak dan Libanon saat ini betul-betul menimbulkan dan memperkuat bentuk-bentuk terorisme baru. Tapi kita tahu, dulu George W Bush pernah bilang kalau dia akan masuk Irak untuk melawan teror.
Tapi tampaknya, yang terjadi justru sebaliknya. Terorisme, sekarang menurut saya justru lebih kuat dari pada sebelumnya, apalagi di daerah Irak dan sekitarnya. Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Saya kira ada dua aspek yang perlu diperhatikan oleh Indonesia. Satu, sekarang ada banyak bahan-bahan bacaan berbahaya dari bahasa Arab yang sedang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia, termasuk tulisan Abu Mus’ab al-Zarqawi, pemimpin al-Qaidah asal Yordania.
Juga termasuk tulisan gurunya yang bernama al-Maqdisi. Memang pengaruh gagasan-gagasan itu tidak cukup kuat kalau hanya dengan buku-buku saja. Harus ada orang yang mengajarkan apa isinya lewat proses mentoring.
Maka dari itu, saya kira kelompok-kelompok pengajian sangat penting perannya dalam proses radikalisasi itu, karena tinggal menunggu buku semacam itu saja sebagai petunjuk, terus diajarkan dalam kelompok kecil semacam halaqah. Dengan cara itu, orang bisa meyakinkan orang lain bahwa apa yang ada di dalam buku itu benar adanya.
Kedua, sewaktu saya melihat website yang ditemukan sesudah Dr. Azahari tertembak, di sana juga ada daftar ulama-ulama yang perlu ditaati oleh kelompok Islam. Tapi yang menarik, semuanya adalah orang-orang yang ditahan atau dibunuh oleh pemerintah di beberapa negara di luar negeri.
Ada beberapa yang ditahan di Arab Saudi, ada yang sudah meninggal seperti al-Zarqawi, dan ada yang masih ditahan di Suriah, Mesir, dan lain sebagainya. Ada juga yang sudah meninggal seperti pemimpin kelompok Jamaah Islamiah di Mesir yang bernama Mohammad al-Farraj dan Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Buku-buku mereka hampir semuanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Jadi sekarang, dampak perang di Irak memang tidak terlihat dalam bentuk fenomena orang pergi ke Irak untuk ikut berperang, tapi lewat buku-buku yang menggerakkan sentimen masyarakat Indonesia. Dan saya kira, pengaruh dari literatur ini lebih kuat daripada apa yang bisa dilihat di televisi.