Home » Politik » Dunia Islam » Refleksi Hijrah Dan Spirit Kosmopolitanisme Islam
Hagia Sophia, Istanbul. (Photo: Brittney Barr/flickr.com)

Refleksi Hijrah Dan Spirit Kosmopolitanisme Islam

4.29/5 (7)

IslamLib – Bertepatan dengan momentum tahun baru Islam 1437 H, kita dikejutkan dengan persitiwa penyerangan gereja di Aceh Singkil. Sebagai anak bangsa kita pastinya sangat sedih mendengar berita ini. Momentum hijrah yang seharusnya menjadi ajang permenungan dan muhasabah (introspeksi) bagi umat Islam untuk menumbuhkan semangat kosmopolit dan berkeadaban, Justru dinodai oleh tindak kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu terhadap rumah ibadah agama lain. Apapun alasanya, kekerasan merupakan tindakan yang menyimpang dari fitrah  manusia dan tidak dapat dibenarkan.

Peristiwa hijrah sebenarnya mengandung banyak pelajaran bagi umat Islam. Salah satunya adalah menumbuhkan semangat kosmopolitanisme dalam beragama.

Kosmopolitanisme merupakan terma filosofis, yang oleh Plato dimaknai sebagai“ harmonisasi atas banyak elemen atau unsur yang berbeda, keseimbangan antara kekuatan yang berkonflik, serta sebuah kesatuan dalam perbedaan.” Oleh karena itu setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai warga negara dan dunia, berkewajiban untuk menyebarkan kebaikan dan menghindari penggunaan kekerasan.

Peristiwa hijrah ke Yastrib (Madinah) sesungguhnya telah memperlihatkan watak kosmpolitanisme Islam. Dalam struktur masyarakat Madinah yang plural (secara agama dan etnik) Nabi Muhammad bersama orang Yahudi, Nasrani, Suku Auz dan Khazraj bekerjasama membangun tatanan etik dan kehidupan sosial  yang adil dan terbuka. Ia  juga menghapus dikhotomi non-pribumi (Kaum Muhajirun) dan pribumi (kaum Anshar). Sehingga konflik antar suku dan antar agama yang telah berlarut-larut di Madinah dapat diselesaikan.

Sikap pro-multikulturalisme yang dipraktikan Nabi itu, terekam dalam poin-poin Piagam Madinah; Pertama, tentang “pentingnya kesatuan dan ikatan nasionalisme dalam bingkai negara, demi tercapainya cita-cita berasama”(termuat dalam pasal 17, 23 dan 42).

Kedua, tentang “pentingnya persaudaraan di antara umat beragama baik antar sesama muslim mapun non-muslim (pasal 14, 15, 19 dan 21). Ketiga, tentang “Negara mengakui dan melindungi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing ( pasal 25, 26, 27, 28, 29 dan 30).

Berangkat dari peristiwa hijrah di atas, sepertinya penting melakukan refleksi atas hubungan antar agama di Indonesia dan upaya menciptakan masyarakat Madani. Seperti piagam Madinah,  Indonesia juga  memiliki “Pancasila” sebagai asas kehidupan bersama.

Nilai-nilai pancasila sesungguhnya menghendaki terbentuknya masyarakat Madani, yakni suatu masyarakat yang berperadaban (tamaddun); mengandaikan tatanan hidup yang ideal, berdasarkan  hukum, keadilan, kesetaraan dan toleransi.

Dalam konteks Indonesia, mewujudkan cita-cita masyarakat Madani sepertinya masih sangat sulit. Rentetan peristiwa kekerasan antar agama masih terus terjadi. Peristiwa terkini, pembakaran geraja di Aceh Singkil dan diikuti konflik berdarah antar warga, semakin menunjukkan betapa terjalnya jalan menuju masyarakat madani.

Meski demikian, kita tak boleh patah semangat untuk terus melakukan aksi-aksi yang pro-perdamaian. Peran jejaring aktivis (masayarkat sipil), organisasi masyarakat,  dan institusi-institusi perdamaian (NGO) harus terus dimaksimalkan untuk mengkampanyekan aksi-aksi nir-kekerasan. 

Konflik di Aceh singkil, sejatinya tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik identitas. Sehingga memunculkan semacam “ketidakadilan”. Terlepas dari persoalan regulasi tentang pendirian gereja, dan perihal surat izin mendirikan bagunan di Aceh Singkil itu, yang dianggap memicu insiden tersebut, cara-cara kekerasan tetap saja tak bisa dibenarkan.

Dalam kondisi semacam ini, persfektif kosmopolitanisme Islam sangat dibutuhkan, agar proses dialog dan tindakan-tindakan etik lebih dikedepankan. Hal ini sesuai dengan proses demokratisasi yang  mensyaratkan terakomodirnya keragaman  di dalam ruang publik.

Sebagai pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad menjujung tinggi al-Qur’an sebagai sumber hukum transedental (ilahiyah), namun dalam konteks relasi-sosial ia tetap setia mentaati dan menjalankan “Piagam Madinah” yang notabene adalah konsensus bersama dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan kabilah-kabilah di Madinah.

Nah, tindakan nabi itu merupakan teladan (uswah) yang sarat “pesan moral” bagi umat Islam Indonesia. Bahwa menjalankan pancasila tidak serta merta menegasikan kepercayaan pada nilai-nilai al-Qur’an.

Maka, semestinya penyelesaian masalah-masalah hubungan antar agama harus berdasarkan nilai-nilai luhur pancasila dan undang-undang dasar. Bukan dengan menggunakan pandangan keagamaan yang eksklusif dan rigid, sehingga berujung pada sikap-sikap vandalisme.

Selanjutnya yang paling penting dalam soal pengelolaan keragaman adalah adanya kesetaraan dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan dua hal itu maka perlu adanya dua hal pula.

Pertama, recognition yakni pengakuan dan penghargaan pada yang lain (others). Ukuran rekognisi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari sejauh mana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat saling menghormati dan mengakui perbedaan.

Kedua, representasi, yakni bagaimana kelompok-kelompok keagaman yang beragam dijamin dan bisa merepresentasikan aspirasinya di ruang publik, baik secara kelembagaan (institusi agama) maupun individual.

Akhirnya, semoga spirit hijrah (tahun baru Islam) menjadi reflesksi untuk  menghadirkan watak kosmopolitanisme Islam, secara khusus bagi umat Islam  Indonesia. Pandangan Kosmopolit (yang inklusif dan deliberatif) pada akhirnya akan menentukan kualitas ruang publik kita. Sehingga keragaman agama akan dipandang sebagai keniscayaan hidup (min lawazim al-hayah), dan harus diakui “adanya”.

Dialog antar umat beragama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi juga perlu terus dilakukan. Sehingga bisa menghasilkan keputusan bersama yang berorientasi pada pencapaian kebaikan bersama (common good).[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.