Bagaimana kaitan antara Islam dan demokrasi, baik pada dataran konseptual maupun empiris? Apa yang disumbangkan Islam dalam proses konsolidasi, dan sebaliknya pula, apa yang disumbangkan demokrasi untuk kemajuan Islam? Dari diskusi ini tersimpul bahwa wilayah agama dan negara itu harus dibedakan.
Bagaimana kaitan antara Islam dan demokrasi, baik pada dataran konseptual maupun empiris? Apa yang disumbangkan Islam dalam proses konsolidasi, dan sebaliknya pula, apa yang disumbangkan demokrasi untuk kemajuan Islam?
Kajian Utan Kayu kali ini menghadirkan perbincangan tentang tema itu bersama tiga intelektual muda: Ulil Abshar-Abdalla, pemikir muda NU, Dr. Rizal Mallarangeng, ilmuwan politik lulusan Ohio State University dan Dr. Denny J.A, kolumnis dan pengelola acara talk show tentang parlemen di salah satu TV swasta Jakarta.
Bung Rizal, adakah sumbangan Islam dan gerakannya terhadap demokrasi?
Sumbangannya bisa positif bisa negatif. Yang negatif misalnya usaha mempertahankan ide tentang Piagam Jakarta di mana umat Islam atau individu-individu yang beragama Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Itu ‘kan mencampuradukkan antara apa yang menjadi urusan negara dengan apa yang menjadi urusan masing-masing.
Padahal hubungan antara negara dan individu adalah hubungan yang sangat fundamental jika demokrasi mau ditegakkan. Kalau negara terlalu jauh mencampuri urusan individu seperti bagaimana harus beribadah, berpuasa dan lain-lain, saya kira agak susah berbicara masalah kebebasan. Kalau sulit kita berbicara masalah kebebasan pribadi, maka demokrasi sebagai sistem pemerintahan akan sulit tercapai.
Ada penelitian dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta yang dimuat di Tempo. Di sana terlihat bahwa dewasa ini ada kecenderungan orang-orang semakin Islam, tapi pada saat yang sama pandangan-pandangan konservatif juga semakin dominan. Dengan kata lain, wajah Indonesia semakin santri, tapi juga semakin tidak toleran. Bagaimana Bung Denny menanggapi hal itu dilihat dari persepktif konsolidasi demokrasi.
Denny J.A
Demokrasi bisa disebut mengalami konsolidasi bila ia melalui tiga lapis reformasi. Pertama, ada kultur kebebasan karena ia menjadi fondasi dasarnya. Kedua, kultur kelembagaannya. Pemerintah tidak hanya bebas tapi ia juga bisa memerintah secara efektif karena bila pemerintahan tidak efektif, kebebasan itu justru akan menghancurkan demokrasi.
Reformasi ketiga adalah munculnya kultur dominan dalam umat Islam yang mendukung hal-hal yang pro demokrasi. Itu yang belum tercapai di sini, karena kita tahu, politik otoriter membutuhkan teologi yang otoriter.
Dan politik yang demokratis jelas membutuhkan suatu teologi yang demokratis. Oleh karenanya sudah saatnya kita mengembangkan satu teologi negara sekuler demokratis yang langsung mendapat justifikasi dari prinsip-prinsip Islam.
Rizal Mallarangeng
Islam secara an sich penting karena ia mayoritas dianut warga Indonesia. Sebagai agama, Islam bagaimana? Saya kira saya setuju bahwa negara demokrasi membutuhkan elemen-elemen teologis yang demokratis.
Pertanyaannya adalah: apakah prinsip-prinsip Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk di sini, kalau pun toh tidak bisa disebut demokratis, apakah itumendukung demokrasi nggak? Itu penting. Teologi ini selain mencakup pandangan dan keyakinan abstrak, tapi juga dalil-dalil konkret yang diyakini sebagai kebenaran pewahyuan.
Sebagian orang Islam yang skripturalis kerap mengatakan begini: karena Islam adalah agama mayoritas maka Islam harus ditegakkan, karena tanpa wewewnang negara, agama tidak bisa berjalan. Seolah-olah tegaknya syariat Islam harus mengandaikan intervensi dan wewenang negara.
Denny J.A
Dalam laporan Freedom House, dari 47 negara yang mayoritas Islam hanya 11 negara yang dipilih secara demokratis, itu pun hanya satu negara yang benar-benar bebas secara stabil. Saya kira, ini ada hubungan dengan konsepsi tadi, bahwa negara adalah intrumen untuk menjalankan prinsip-prinsip agama.
Rizal Mallarangeng
Ini menarik karena kalau misalnya saya salat atau tidak, puasa atau tidak, maka itu menjadi urusan pribadi saya sendiri, jika kita konsisten hidup pada sistem atau teologi yang terbuka. Kalau negara kemudian mencampuri urusan privat ini, ‘kan jadi tidak lucu. Ini jadi soal. Memang ada satu nilai, di Amerika misalnya negara melarang anak di bawah 18 minum bir.
Tapi alasannya tidak religius menurut agama tertentu, tapi karena ternyata banyak terjadi tabrakan yang membawa kematian hampir 90% disebabkan oleh pengemudi di bawah 18 tahun yang mabuk. Ini bagian dari kebijakan sosial, bukan karena dilarang Tuhan.
Kalau dilarang Tuhan itu urusan saya, kalau saya mau melanggarnya ya jangan jadi urusan birokrat, politisi. Intinya birokrat atau politisi tidak punya hak apapun mencampuri urusan saya dengan Tuhan.
Jadi pemahaman bahwa negara yang demokratis yang oleh Denny disebut sekuler itu tidak memusuhi keyakinan agama penduduknya.
Denny J.A
Oh bukan sama sekali. Di AS misalnya, Islam justru paling berkembang. Di AS, Islam yang sangat beragam wajahnya itu, ada Syiah, Ahmadiyah Sunni, black Moslem dan lain-lain, tumbuh secara equal bersama agama atau sekte-sekte yang lain. Negara sekuler itu konsepnya adalah negara yang netral dalam agama.
Bagi mereka negara bukan menjadi instrumen bagi agama, tapi memberi hal yang sama bagi semua agama untuk tumbuh dan berkembang. Karena yang berkembang di sini adalah konsep warganegara. Apa pun agamanya, latar belakang etnis dan rasnya kalau ia menjadi warganegara, ia harus mendapat hak yang sama.
Perlakuan adil terhadap seluruh warga negara yang berasal dari beragam afinitas dan jenis kelamin ini, mustahil bila diterapkan di suatu negara yang berdasar agama tertentu. Katakanlah di negara Islam, pastilah hanya memberi keistimewaan bagi penganut Islam dan sulit bagi penganut non-Islam untuk mendapat perlakukan sama dari negara.
Selain itu, kalau Syariat Islam masuk dalam konstitusi, konsekuensinya shalat itu menjadi kewajiban konstitusional. Yang tidak salat tak sekadar disebut melanggar konstitusi tapi juga bisa di-impeach. Hal ini jelas sulit dari segi teknis, karena sulit adanya polisi agama yang bisa melihat setiap warganegara menjalankan ibadah salat tidak.
Rizal Mallarangeng
Upaya para penggerak syariat Islam ini juga bisa dilihat sebagai kegagalan membujuk orang menjalankan syariat Islam secara sukarela. Untuk masuk pada agamanya maka pinjam negara. Saya tambahkan pula, politik adalah area tawar menawar, wilayah bargaining dan kompromi. Sementara agama selalu bersifat absolut dan mutlak. Orang yang ingin mencari kesempurnaan hidup, yang hendak menciptakan surga di bumi jangan memasuki wilayah politik karena politik adalah ajang negosiasi.
Lantas bagaimana mengaitkan nilai Islam dengan kehidupan sehari-hari? Katakankalah nilai tertinggi dari Islam adalah nilai keadilan (al-adalah). Ia menjadi sinar yang menerangi aspek kehidupan.
Sekarang kita bertanya, dalam soal keadilan ekonomi dan keadilan pendidikan atau keadilan terhadap kaum marginal, sistem sosial apakah yang paling pas untuk menerapkan itu semua? Menurut saya, itu adalah demokrasi, dan dalam hal ekonomi adalah sistem kapitalis. Ini berarti tujuan keislaman tadi bisa dimungkinkan dicapai melalui demokrasi.
Yang ingin kita usahakan adalah merumuskan nilai-nilai Islam—yang sebenarnya sudah ada—yang kompatibel terhadap nilai-nilai demokrasi. Sepengetahuan saya, dulu ada kekhalifahan Islam yang percaya dan menerapkan sistem yang mirip-mirip seperti demokrasi dan pasar bebas, namun pertanyaannya sekarang mengapa warisan tersebut ditinggalkan?
Dan kita merasakan justru kejayaan Islam jadi meredup. Mercusuar dunia dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan lain-lain justru diambil alih oleh Barat. Sementara saat ini masih ada sekelompok umat Islam yang bernostalgia dengan sistem khalifah yang secara kaku menerapkan syariat Islam. Sistem itu sudah nggak cocok, sudah ketinggalan zaman.
Sebenarnya yang perlu dipertahankan adalah semangatnya itu. Adapun tubuh dan wadahnya bisa berganti-ganti. Problemnya adalah kejayaan Islam masa lalu dengan sistem yang ada pada masa itu dianggap berlaku secara universal dengan konsidi sekarang. Saya kira, pandangan ini bermasalah dan juga merepotkan karena diterima banyak orang.
Denny J.A
Kalau kita konsekuen bahwa Al-Quran itu berlaku sepanjang zaman, menembus batas masa dan ribuan tahun, maka amat mustahil bahwa Al-Qur’an yang sesuai dengan semua zaman itu hanya diterjemahkan dalam satu sistem.
Logikanya tidak kena. Artinya, mustahil misalnya satu sistem yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW dianggap cocok untuk semua zaman. Sistem itu belum tentu cocok dan baik untuk diterapkan saat ini. Oleh karena itu, raihlah apinya Islam, kata Bung Karno, bukan abunya.
Bung Rizal, tadi kita sepakat bahwa sebuah sistem menjadi demokratis –bila diletakkan dalam konteks Indonesia—jika disokong oleh teologi yang mendukung demokrasi. Kalau misalnya ada nilai-niali teologis dalam Islam yang justru berlawanan dengan demokrasi?
Rizal Mallarangeng
Ini yang menjadi satu perbincangan yang tak bakal tenggelam sepanjang zaman. Kalau kita lihat secara letterlijk doktrin Islam, tentu kita akan menemui juga nilai-nilai yang bertentangan dengan demokrasi seperti perlakuan terhadap wanita, kaum non-muslim, hak-hak individu dan lain-lain.
Soal ketegangan antara doktrin yang suportif terhadap demokrasi dengan yang bertentangan ini harus diselesaikan. Ini wilayah anda, Bung Ulil. Tradisi Kristen misalnya juga pernah mengalami dinamika serupa.
Jangan lupa, sejarah Kristen juga pernah mengalami satu fase kegelapan di mana jalan keluarnya ternyata adalah pemisahan kekuasaan antara gereja dengan non-gereja.
Denny J.A
Saya kira, penting buat catatan aktivis-aktivis Islam bahwa pada tahun 1970-an, nilai-nilai Katolik dianggap kontra demokrasi dan negara-negara yang mayoritas Katolik pada masa itu banyak yang terbelakang dalam menerapkan demokrasi. Mengapa keadaan paska tahun 70-an menunjukkan perkembangan yang sangat menarik dibanding sebelumnya?
Huntington misalnya sampai menyatakan bahwa katolikisme adalah bagian penting dalam upaya reformasi demokrasi dalam percatutran global. Huntington lantas menyelidiki persoalan ini dan menemui fakta bahwa pada tahun 1960-an ada konsili Vatikan II yang melakukan otoritik terhadap nilai-nilai Katolik yang sebelumnya tidak pluralis dan demokratis. Mereka mengapresiasi kebebasan dan demokrasi secara luas. Mereka bahkan menelurkan keputusan bahwa “konsep keselamatan itu juga terdapat di luar gereja.”
Masalahnya begini Bung Rizal. Di luar persoalan bagaimana kita menerjemahkan inti dari nilai dan teologi Islam dalam sistem yang modern, kita juga menghadapi persoalan yang kita hadapi sehari-hari. Misalnya seperti diungkap oleh penelitian PPIM yang dimuat Tempo bahwa ada korelasi antara orang-orang Islam yang semakin saleh dengan pandangan-pandanmgan yang semakin tertutup. Singkatnya, semakin saleh kok semakin tidak toleran. Misalnya, ia tak mau mengucapkan selamat natal kepada tetangganya, tak mau menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan non-Islam meski faktanya punya kualitas baik, tak mau dirawat di rumah sakit Kristen dll. Kehidupan kok semakin sempit. Bagimana soal ini menurut Anda? Bukankah kehidupan sehari-hari bagian penting dari demokrasi.
Denny J.A
Menurut pandangan saya, kesalehan ritual dengan kesalehan sosial itu dua wilayah berbeda. Idealnya sih ada korelasi seseorang yang saleh secara indidual, juga saleh secara sosial. Cak Nur dari dulu kan pernah menyatakan peringatan agar kita tidak terjebak pada kesalehan simbolik.
Makanya Cak Nur, dalam pandangan saya, secara ritual saleh, dan secara sosial juga saleh. Tapi ada juga yang secara ritual saleh, tapi tidak secara sosial. Atau sebaliknya. Memang ada unsur di luar kesalehan pribadi yang membentuk kultur seseorang untuk pro atau kontra terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Tapi ini adalah soal kehidupan sehari-hari…
Rizal Mallarangeng
Memang paling bagus ya pendekatan dakwah liberal. Kita harus yakinkan kepada orang-orang bahwa kita tidak bisa memakai negara untuk memaksa kelompok yang satu mencintai yang lain. Yang bisa dilakukan negara adalah hubungan antarkelompok tersebut tidak saling membahayakan. Ini harus dimengerti oleh kaum demokrat di manapun, karena ini fundamental.
Soal bagaimana kita mencintai itu adalah kegiatan interaksi sukarela dari elemen-elemen di luar negara, entah itu juru dakwah, penulis, penyiar radio, novelis dan lain-lain untuk membangkitkan sikap saling meyayangi.
Dari diskusi ini tersimpul bahwa wilayah agama dan negara itu harus dibedakan ya. Dan agama harus dibedakan dari semangat, substansi dan intinya, sementara sistem bertugas menerjemahkan substansi agama tadi, meskipun tentu saja di tingkat praksis pasti berbeda-beda cara mengaplikasikannya. Terima kasih Bung Rizal dan Denny untuk pendapat-pendapat anda yang jelas dan kritis.