Home » Politik » Sekularisasi » Menjadi Muslim Sekuler

Menjadi Muslim Sekuler

5/5 (2)

Islam dan sekularisasi selama ini bagai dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang. Satu sisi, konstruksi pandangan yang menghegemoni bahwa Islam merupakan ajaran suci. Di sisi lain, sekularisasi adalah produk barat yang penuh kemunafikan. Sekularisasi dianggap sebagai barang haram yang tidak boleh dijamah jika menginginkan agar kemurnian Islam tetap terjaga.

Sekularisasi di mata muslim seperti itu dikatakan telah menawarkan tindakan tak bertanggung jawab. Karena sekularisasi berusaha “menyingkirkan” dimensi-dimensi metafisik, spiritualitas dan religiositas yang menjadi inti ajaran Islam, sehingga menyebabkan semua dimensi itu dalam diri manusia menjadi kering. Sekularisasi menghendaki sepenuhnya segala sesuatu tersentral pada diri manusia, sementara kehendak dan kekuasaan Allah dianggap “telah mati”.

Niestzche dan Marx bahkan telah mengungkapkan kata-kata seperti itu pada abad pertengahan sebagai kritik terhadap agama: gott is tott! Persoalan fundamental yang menjadi latar belakang ungkapan itu bahwa manusia selama ini telah tertipu dengan opium-opium ajaran agama, sementara tugas-tugas dunia terbengkalai hingga produktivitas kreasi akal dan nalar manusia diberangus dengan klaim-klaim keselamatan dan kedamaian agama.

Meskipun setting itu terjadi pada abad pertengahan yang dialami kaum Kristen pada jamannnya, namun pada perkembangannya sekularisasi menyusup secara diam-diam dalam pandangan dan budaya kaum muslim, sehingga tak kurang pro dan kontra pun mengiringi perjalanannya. Pengaruh globalisasi tidak bisa dilepaskan dengan persoalan ini. Globalisasi dan sekularisasi merupakan satu paket yang menjalar ke setiap ruang “barat dan timur”.

Menyusupnya sekularisasi di ruang tradisi umat Islam, semula terjaring lewat globalisasi budaya barat. Secara gradual endapan budaya itu menjalar dalam konstruksi pemahaman dan bahkan hingga terekspresikan dalam praksis tindakan.

Konsekuensinya ajaran dan dogmatisme Islam yang semula sakral sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh muslim yang pandangannya telah “terkena virus realitas jaman/saeculum”. Islam pada dataran itu akhirnya menjadi profan, karena kehendak ajarannya merupakan bagian dari kehendak umat Islam itu sendiri.

Setidaknya ada tiga hal, mengapa sekularisasi dalam bangunan tradisi intelektual di dunia Islam dianggap akan menodai ajaran agama.

Pertama, sekularisasi mengandung dimensi disenchantment of nature atau pembebasan alam semesta dari pengaruh ilusi, bahkan Allah pun termasuk didalamnya. Kedua, sekularisasi mengandung desacralization of power yakni membongkar mitos-mitos kekuasaan Allah. Ketiga, sekularisasi mengandungdeconsecreation of values atau pembangkangan terhadap nilai-nilai ajaran agama. (Harvey Cox, the secular city, 1965)

Dengan ketiga hal itu, ajaran Islam yang selama ini telah terkonstruksi secara dogmatis dan untouchable, maka dapat dipastikan kemudian menjaditouchable. Dengan disenchantment of nature misalnya, pemahaman seorang muslim akan bisa memisahkan diri dari “kekuasaan Allah”.

Begitu juga dengandesacralization of power dan deconsecreation of values, pemahaman seorang muslim akan dapat membongkar nilai-nilai ajaran agama sehingga agama menjadi inklusif dan seorang muslim bebas menciptakan perubahan serta membenamkan dirinya kedalam proses evolusi sejarah umat manusia sepanjang jaman (consecreation of values).

Namun pertanyaan fundamental yang masih menggelitik dan patut untuk diungkapkan bahwa, apakah dua kutub biner antara Islam dan sekularisasi sudah benar-benar menjadi harga mutlak? Artinya, apakah antara Islam dan sekularisasi tidak bisa dirajut hingga menjadi bentuk unifikasi yang “saling berbagi”? Sebab, sekularisasi sendiri yang semula terjadi dari produk budaya barat, tidak selamanya buruk.

Sekularisasi justru merupakan “ajaran kritis” untuk umat manusia ketika ajaran agama dianggap hanya sebagai hiasan penenang yang hanya meninabobokan manusia. Adapun kekhawatiran dari budaya sekularisasi yang identik dengan glamouritas dan hanya mengurus masalah keduniawian belaka, maka hal-hal seperti itu sebenarnya merupakan kesalahan manusia itu sendiri, yang tidak bisa menyeimbangkan konsumerisme dunia dengan urusan akhirat.

Arus Balik Sekularisasi

Abdul Karim Soroush, intelektual muslim dari Iran, mempunyai pengalaman tersendiri tentang sekularisasi ini. Ia semula seorang saintis, yang ketika pada masa pra revolusi Iran menjadi salah satu aktor muda-revolusioner dan sering memberikan pandangan-pandangan argumentatif dan kritis di seputar masalah-masalah keagamaan.

Namun setelah revolusi berakhir, yang ditandai tumbangnya rejim Syah Pahlevi, Soroush malah mengkritik balik atas isu-isu negara Islam di mana masalah-masalah syariat menjadi bagian didalamnya.

Soroush berubah dan mendeklarasikan dirinya menjadi tokoh sekuler. Namun baginya menjadi sekuler asal tidak taklid adalah baik, malah kritisismenya justru tumbuh subur dan gagasan-gagasan “liberalnya” berkecambah mempengaruhi banyak kalangan muda. (Martin Van Bruinessen, 2000)

Soroush mengungkapkan, bahwa menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Baginya, justru ketika umat Islam berada di alam dunia dan bergelut didalamnya adalah muslim yang sekuler.

Dalam salah satu wawancaranya Soroush bahkan menyatakan diri demikian: “saya menjadi bagian dari sekularisasi justru karena ingin menyelamatkan agama dari sekularisasi itu sendiri”. Artinya, umat Islam seharusnya bergumul dan mempelajari sekularisasi untuk membendung arus budaya sekularisasi yang mengikis ajaran Islam. Tidak malah meninggalkan sekularisasi, apalagi meninggalkannya tanpa sebab-sebab yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Justru menjadikan tabu sekularisasi, sama halnya ketika umat Islam merasa risih dengan budaya pop yang dikreasi oleh sekularisasi barat, misalnya seperti dunia musik. Seharusnya, dunia Islam tidak menjadikan dunia musik sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan, padahal di sisi lain kaum muda Islam sangat gandrung dengan dunia hiburan seperti musik ini.

Seharusnya yang dilakukan adalah bagaimana tradisi Islam mengkreasi musik Islami tanpa menghilangkan substansinya seperti musik yang sekuler, sehingga kaum muda muslim pun tetap menikmati tujuan-tujuan seninya.

Jadi, pandangan generik dan memukul sama rata mengenai sekularisasi harus dikembalikan pada substansinya, yaitu sekularisasi seperti juga yang didefinisikan Robert Bellah (1999) merupakan “ajaran” rasionalisasi agama dan mengaktualisasikan pemahaman keagamaan pada perkara-perkara realitas.

Sehingga tugas seorang muslim adalah juga menjadikan dirinya sekuler, atau muslim-sekuler yang meredefinisi ajaran dan dogma agama bagi kehidupan dunianya. Dengan demikian, sekularisasi bagi seorang muslim merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran Islam yang turun ke bumi untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Karena ajarannnya akan menjadi lebih tangguh saat seorang muslim mengetahui kelemahan-kelemahan sekularisasi itu.

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.