IslamLib – Secara politik, negara seharusnya memang mengambil posisi “agnostik”. Negara seharusnya memberikan pelayanan yang sama kepada semua warga negara, tanpa melihat apa agama dan kepercayaan yang mereka anut. Agnostisisme politik sama dengan sikap netral dalam menghadapi keragaman kepercayaan yang dianut oleh warga negara. Hanya dengan sikap semacam ini, negara bisa bersikap adil.
Corak ideal negara modern adalah negara yang tak “intrusif”, tidak masuk terlalu jauh serta mencampuri keyakinan penduduknya. Apapun kepercayaan yang dianut oleh seorang warga negara, pososi negara harus “agnostik”, tak mau tahu. Apapun kepercayaan warga, negara tak boleh memberikan persetujuan atau penolakan. Negara juga tak boleh ikut campur dalam isi kepercayaan yang dianut penduduknya dengan cara memberikan stempel “sesat” atau “benar”.
Ide tentang negara yang agnostik dan netral muncul dalam masyarakat modern sebagai akibat dari trauma konflik sektarian, terutama di masyarakat Barat. Negara yang bersikap favoritis atau berpihak pada agama/keparcayaan tertentu, seperti pernah terjadi di Eropa pada abad pertengahan, sudah pasti akan menomor-duakan, kalau tidak malah memusuhi semua agama/kepercayaan lain yang bukan merupakan kepercayaan resmi negara.
Dengan kata lain, negara favoritis dengan sendirinya akan menjadi negara yang diskriminatif. Sebab ia berpihak. Ia tidak netral. Negara favoritis juga tidak bisa bersikal inklusif: merangkul dan melibatkan semua warga negara, tanpa melihat kepercayaannya, dalam skema pelayanan yang ia berikan kepada warga negara. Ada satu-dua kelompok yang akan dikeluarkan dari skema pelayanan itu. Misalnya dengan alasan bahwa mereka memeluk keyakinan yang tak diakui oleh negara.
Apakah negara kita telah sepenuhnya memenuhi ideal negara semacam ini? Ini pertanyaan yang mengusik banyak pihak di negeri ini, terutama kaum minoritas. Sekurang-kurangnya ada tiga gejala penting yang mengindikasikan bahwa negara kita belum sepenuhnya memenuhi cita-cita ideal negara agnostik ini.
Pertama, hingga sekarang negara kita masih mengenal konsep “agama yang diakui” dan “agama yang tak diakui”. Ada enam agama yang diakui: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Ide tentang agama yang diakui negara jelas menandakan bahwa negara kita sebetulnya masih merupakan negara favoritis: negara yang berpihak kepada agama-agama tertentu. Ini, tentu saja, mengakibatkan perbedaan pelayanan yang diberikan negara.
Salah satu sektor sipil yang menjadi bahan diskusi selama ini adalah soal registrasi oleh negara. Registrasi oleh kantor negara bukan sekedar catatan biasa. Dampak dari registrasi ini menggema ke mana-mana. Dengan registrasi ini, warga negara menikmati hak-hak perdata dan manfaat-manfaat sosial-politik yang tak terhitung jumlahnya. Tanpa registrasi, akses dia kepada manfaat-manfaat sosial-politik itu, dengan sendirinya, terhalang.
Saat ini, warga negara yang memeluk agama atau kepercayaan yang tak diakui oleh negara mengalami diskriminasi dari aspek registrasi ini, terutama registrasi kependudukan. Para pengikut kepercayaan lokal, misalnya, tak bisa mencatatkan kepercayaannya itu dalam KTP. Mereka juga masih kesulitan untuk mencatatkan nikah yang mereka selenggarakan berdasarkan tradisi kepercayaan yang mereka anut.
Kedua, hingga sekarang ini, kita masih memiliki apa yang disebut dengan SKB dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) yang membatasi kegiatan penyiaran agama yang dilakukan oleh sebuah kelompok minoritas Islam, yaitu Ahmadiyah. Dengan alasan bahwa kelompok ini menganut pandangan yang sesat, negara membuat suatu kebijakan yang membatasi kegiatan peribadatan dan dakwah mereka.
Ketiga, kita masih menjumpai banyak masalah yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah, terutama dalam lima belas tahun terakhir ini, justru setelah negara kita memasuki era keterbukaan. Kasus paling menonjol tentu saja kasus penutupan, penyegelan dan perusakan gereja. Alasan yang biasa dikemukakan adalah soal izin.
Ketiga gejala ini menandakan bahwa negara kita belum sepenuhnya bisa bersikap netral dan “agnostik” terhadap keragaman agama dan kepercayaan yang dianut oleh warga negara. Sudah tentu, penerima manfaat (beneficiary) terbesar dari negara yang favoritis ialah kelompok-kelompok yang kebetulan berada pada kedudukan sebagai mayoritas. Kelompok-kelompok yang kepercayaannya belum atau tidak diakui oleh negara jelas dirugikan.
Perjalanan politik negara kita menuju kondisi ideal di mana segala bentuk diskriminasi bisa dikurangi, terutama diskriminasi dalam kehidupan keagamaan, masih panjang. Memang ini bukan proses yang sederhana dan pendek. Tekanan dari lingkungan sosial yang cenderung konservatif secara keagamaan sekarang ini makin menyulitkan usaha-usaha ke arah perwujudan cita-cita negara agnostik.
Sebenarnya, ada hal yang menggembirakan: secara umum, “mood” budaya masyarakat kita cenderung toleran dan terbuka. Sejak dulu, kawasan Nusantara menjadi tempat persilangan pelbagai pengaruh luar yang datang silih berganti. Selama ratusan tahun, penduduk kawasan ini dibentuk oleh iklim kebudayaan yang memustahilkan ketertutupan. Ideologi-ideologi yang tertutup bisa saja mampir di negeri ini, tetapi ia akan sulit meraih dukungan luas.
Sementara itu masyarakat Jawa yang merupakan lapisan demografis terbesar di negeri ini mempunyai kecenderungan ekletik dan sinkretik sejak dulu. Yakni kecenderungan “gado-gado”: menerima agama yang datang dari luar, tetapi sekaligus mencampurnya dengan unsur-unsur kebudayaan lokal. Bagi masyarakat Jawa, puritanisme adalah hal yang aneh. Apakah ada agama dan budaya yang puritan? Semua agama dan kepercayaan adalah hasil interaksi antara banyak unsur yang campur-aduk, meskipun dikleim sebagai sesuatu yang bersifat ilahiah.
Kenyataan-kenyataan semacam ini, bagi saya, merupakan kabar baik. Corak kebudayaan Nusantara yang toleran dan terbuka pada pengaruh-pengaruh luar bisa memberikan konteks yang kodusif bagi terwujudnya negara yang netral dan agnostik.
Tetapi, kita tak boleh menutup mata. Meski secara umum masyarakat kita berwatak terbuka, toleran dan eklektik, tetapi kecenderungan ke arah sebaliknya juga ada, dan, di kalangan tertentu, juga menguat. Yaitu kecenderungan ke arah puritanisme: ingin kembali kepada sesuatu yang murni berdasarkan ajaran Kitab Suci. Kecenderungan semacam ini memang umumnya berwatak tertutup. Meski bukan merupakan kecenderungan dominan, tetapi dia meraih pengaruh yang cukup luas di masyarakat,
Indikasi-indikasi ke arah ini bisa kita lihat dari gejala-gejala sederhana: orang-orang yang tak suka melihat rumah ibadah agama lain ada di sekitarnya, atau mengharamkan ucapan selamat kepada penganut agama lain pada saat hari raya mereka, maraknya penggunaan kata “sesat” untuk menyebut golongan lain yang berbeda paham, dsb.
Jika impuls ke arah puritanisme sosial ini menguat di tengah-tengah umat Islam yang mayoritas, kita bisa berhadapan dengan situasi yang dilematis. Sebab, negara bisa didesak untuk mengabaikan hak-hak minoritas, dengan alasan bahwa yang terakhir ini menyimpang dari ajaran yang lurus. Dan inilah yang terjadi dengan pengikut Ahmadiyah dalam sepuluh tahun terakhir. Negara berada di bawah “tekanan sosial” untuk menjadi negara favoritis.
Untuk mencegah puritanisme ini makin menguat, tak ada cara lain kecuali memobilisir kembali sumber-sumber kultural yang sudah ada di masyarakat kita, yaitu budaya eklektik dan terbuka yang sudah tertanam ratusan tahun dalam anyaman sosial kita. Dengan kata lain, menemukan dan menghidupkan kembali budaya dan “thought style” yang terbuka yang merupakan karakteristik masyarakat Nusantara.
Dalam kebudayaan Nusantara sudah tertanam sejak dulu insting budaya yang anti-penyeragaman dan puritanisme. Kebudayaan Nusantara, sejak dulu, berwatak polisentris: mempunyai banyak sumber dan pusat otoritas. Watak ini kondusif untuk membangun negara yang agnostik secara politik.[]