Home » Politik » Syafi’i Anwar: “Isu Partai Islam Terlalu Normatif”
M. Syafi'i Anwar (Foto: flickr.com)

Syafi’i Anwar: “Isu Partai Islam Terlalu Normatif”

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

Dalam waktu kurang dari setahun ini, sejatinya partai-partai politik yang akan berkompetisi memperebutkan konstituen dalam Pemilu 2004 ini sudah selesai melakukan konsolidasi. Tapi, belakangan beberapa partai Islam ataupun partai yang berbasis konstituen kalangan Islam, justru mengalami fragmentasi yang mengkhawatirkan.

Mengapa partai-partai Islam yang berisi orang-orang yang sering memekikkan pentingnya persatuan umat itu sangat rentan terhadap perpecahan? Faktor-faktor apa yang ikut menentukan kawin-cerainya kalangan politisi di partai-partai Islam?

Syafi’i Anwar MA, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla (25/9/03), menganalisis fenomena ini dengan pendekatan kebudayaan politik. Di banyak negara berkembang, menurut kandidat doktor pada Universitas Melbourne Australia ini, budaya politik yang bersifat primordialis seringkali menghambat penyelesaian persoalan-persoalan institusional yang muncul secara rasional. Berikut petikannya:

 

Mas Syafi’i, bagaimana Anda menanggapi fenomena rentannya perpecahan di partai-partai Islam ini?

Saya melihat persoalan mendasarnya terletak pada problem of leadership (problem kepemimpinan). Kalau kita mencari latar belakang persoalan lebih jauh lagi, kita akan menemukan pangkalnya ada pada masalahleadership culture (kultur kepemimpinan).

Saya memang tidak tahu pasti persoalan internal yang ada di partai-partai itu, karena saya memang bukan anggota salah satu partai Islam, tapi saya punya banyak kawan di sana. Yang saya perhatikan, kadang-kadang konflik itu tidak bermula dari problem-problem yang tidak substansial, tapi lebih pada masalah pribadi-pribadi.

Anda menyebut masalahnya ada pada pribadi-pribadi pemimpin masing-masing partai. Sekarang di PPP ada Hamzah Haz, PBB punya Yusril Ihza Mahendra, dan di PKB ada sosok Gus Dur. Nah, kalau Anda perhatikan, apa perbedaan prinsipil masing-masing tokoh tersebut, sehingga mereka sulit bersatu sesuai dengan keinginan umat?

Dalam pengamatan saya, problemnya terkadang tidak menyangkut masalah visi atau misi, tapi pada style of leadership (gaya kepemimpinan). Pak Amien orangnya blak-blakan, ceplas-ceplos, dan kadang-kadang –ada yang mengatakan– kurang bijaksana.

Yusril kadang-kadang terlalu kaku, Hamzah Haz seorang politisi yang gampang berubah. Dia itu tipe orang yang cepat berubah, dan itu mungkin wajar bagi seorang politisi. Persoalannya adalah kenapa itu bisa terjadi. Saya kira, bukan menyangkut visi-misi tapi lebih pada gaya kepemimpinan.

Kenapa saya kemukakan soal gaya kepemimpinan, sebab gaya menjadi sentral bagi sebuah kepemimpinan itu sendiri. Sebab sebuah partai pasti punya figur pemimpin. Saya setuju pembinaan konstituen itu penting, tapi selamaperformance sebuah kepemimpinan tidak baik, akan sulit untuk bisa diterima semua pihak.

Menurut Anda, kenapa gaya kepemimpinan membuat mereka susah akur?

Karena kebudayaan kita yang masih primordialis. Hal-hal yang bersifat pribadi sering kali tidak bisa kita selesaikan secara rasional. Itu sebenarnya tipe umum kalangan politisi negara berkembang. Persoalannya, mereka tidak berbicara pada substansi persoalan yang mereka hadapi. Jadinya, perbedaan pribadi seperti ketersinggungan, merasa dilangkahi, dan lain sebagainya, yang lebih bersifat primordial itu, betul-betul menjadi problem.

Kalau kita lihat, pada level umat, sebetulnya mudah membangun cita-cita persatuan, tapi pada level pemimpin nampaknya lebih susah…

Betul yang Anda katakan itu mas Ulil. Seperti yang saya katakan tadi, kalau dilihat dari pendekatan kebudayaan politik, sebenarnya umat Indonesia itu sangat moderat, toleran, apresiatif, as long as the leader is a good leader, asalkan kalangan pemimpinnya baik.

Menurut Anda, apa jenis kebudayaan politik yang berkembang di kalangan pemimpin politik kita sehingga mereka susah bergaul satu sama lainnya?

Soal kompetisi. Muaranya nanti juga kepada ideologi, visi, serta misi partai itu sendiri. Masalah visi dan misi partai-partai Islam ini juga masih menjadi persoalan dan belum begitu jelas.

Salah satu penyakit dalam budaya politik kita, benturan antar pemimpin selalu saja punya ekses sampai ke bawah. Mengapa begitu?

Saya setuju. Tapi yang ingin saya tekankan, itu bukan hanya penyakit partai Islam, tapi ini juga penyakit banyak pemimpin partai yang lebih senang menjadi seorang politisi dari pada sebagai negarawan. Itu persoalan besar bangsa Indonesia. Jadi partai Islam atau apapun juga, kaya akan politisi tapi miskin akan negarawan.

Tapi apakah kesan untuk politisi harus selalu buruk?

Tidak. Tapi seharusnya seorang politisi juga berpikir untuk menjadi negarawan. Artinya, dia tidak hanya berpikir untuk partainya saja, tapi ke depan harus tampil dengan sosok yang kredibel, jujur dan penuh integritas pada negara.

Kalau seorang politisi belum sempat menjadi negarawan, tak apalah. Tapi kalau politisi kursi dan gaji saja, ini yang mengacaukan umat.

Betul. Terkadang ayatnya kan ayat kursi, ha-ha-ha. Jadi orientasinya bukan untuk kepentingan masyarakat. Ini sebenarnya problem besar partai Islam. Selain itu, persoalan partai Islam juga terletak pada pilihan-pilihan isunya yang terlalu normatif, tidak menyentuh pada pokok soal-pokok soal yang real.

Misalnya bagaimana menjuangkan HAM, lapangan kerja, memberantas korupsi, dan lain sebagainya. Isu-isu itu sebetulnya lebih fundamental ketimbang isu tentang penerapan syariat Islam yang sangat normatif sifatnya.

Bahkan kita melihat ada partai yang bernama Partai Syariat Islam…

Itulah! Saya pikir itu akan kontaproduktif. Artinya, orang-orang sekarang menginginkan pemecahan problem yang real. Maka paling tidak partai Islam mesti punya agenda yang jelas tentang berbagai problem real tersebut.

Nah, kegagalan utama partai-partai Islam, kalau kita belajar dari pengalaman bangsa lain terutama Pakistan, menurut pendapat Olivier Roy dalam bukunyaThe Failure of Political Islam, disebabkan mereka tidak punya agenda real untuk menuntaskan problem-problem mendasar di masyarakat, seperti soal HAM, korupsi dan lain-lain.

Mereka selalu saja bermain di isu-isu yang normatif seperti wajibnya kita berhukum pada hukum Allah, dan lain sebagainya. Isu yang mereka kembangkan berkaitan dengan ajaran agama yang tidak diterjemahkan secara mendetail, tidak membumi.

Mas Syafi’i, ada segudang cerita tentang tidak menjanjikannya partai-partai Islam. Nah pertanyaan saya, apakah Partai Kadilan Sejahtera (PKS) misalnya bisa diharapkan?

Saya ingin melihat persoalan sejarah secara kritis. Saya setuju bila dikatakan bahwa dari segi organisasi, misi, visi, dan keteladanan pengurusnya, PKS cukup bagus. Dalam hal ini, saya setuju dengan pendapat Martin Van Bruinessen, seorang ahli Indonesia dari Belanda. Tapi persoalannya menyangkut basis sosial PKS itu sendiri yang sangat terbatas kalau mau berkompetisi pada Pemilu 2004 nanti.

Saya melihat, basis massanya adalah kampus. Menurut saya, basis massa yang sedemikian itu masih kurang. Itu yang pertama. Artinya, PKS belum bisa meyakinkan programnya ke tingkat yang lebih populis.

Dan lebih dari itu, PKS juga masih bertumpu pada hal-hal yang normatif sifatnya.
Kedua, walaupun saya orang Muhammadiyah, tapi saya cukup concern pada PKB yang sebenarnya punya basis sosial yang sangat real. Konstituen PKB itu cukup jelas, tapi persoalannya timbul karena ada friksi di dalam. Sebagai pengamat, hal ini sangat perlu disayangkan.

Saya berharap, persoalan ini bisa diselesaikan secara elegan. Kalau tidak tentu akan sangat merugikan, bukan hanya bagi jamaah Nahdliyyin, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan. Perpecahan internal ini bisa dimanfaatkan berbagai pihak. Nantinya, akan ke mana konstituen NU yang sudah real itu?

Masalah PKB ini sangat terkait dengan seorang figur yang sangat kuat, yakni Gus Dur. Bagaimana Anda melihat sosok beliau?

Dominannya figur Gus Dur ini memang problem besar. Kalau kita berbicara masalah politik, PKB ini punya basis massa yang real. Saya sangat concern pada PKB karena komunitasnya lebih real. Terjadinya friksi dan tidak bisanya elemen-elemen tersebut disatukan, akan berimplikasi sangat besar.

Yang membuat saya gelisah juga, persoalan ini juga bukan masalah khas PKB, tapi juga menimpa PPP yang melibatkan Hamzah Haz dan Zainuddin MZ. Sama saja, betapa sulitnya merekonsiliasikan mereka yang sehari-hari bicara tentang persatuan umat.

Massa PKB kan cukup luas di pedesaan dan sangat dipengaruhi oleh pandangan yang primordial tentang pemimpin. Kalau pemimpinnya pecah, mereka juga akan pecah. Bagaiman mengatasi soal ini?

Betul yang anda katakan itu. Karenanya pemimpin-pemimpin partai ini harusnya istiqomah dan rendah hati. Jadi yang dipentingkan bagaimana memikirkan dan mementingkan prospek ke depan. Tapi nampaknya dalam politik, sifat rendah hati itu mahal sekali.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.