IslamLib – Rabu 14 Oktober 2015 kemarin, umat Islam merayakan Tahun Baru Hijriyah 1437. Ia memang tak semeriah tahun baru Masehi, tapi kaum muslimin nusantara selalu memperingatinya. Tema “Tahun Baru” selalu bertumpu pada refleksi setahun ke belakang. Tahun baru selalu menyematkan semangat bagi kita untuk memulai esok yang lebih baik dengan berkaca pada hari kemarin.
Sehari sebelum peringatan tahun baru Islam, sebuah peristiwa yang sangat mengagetkan negeri ini melanda Aceh, sebuah provinsi dimana syari’at Islam dipakai untuk mengatur masyarakatnya. Peristiwa ini mungkin lebih mengagetkan dari bunyi petasan yang bersahut-sahutan pada pukul 00.00 di awal tahun. Semoga ini bukanlah momen untuk memperingati Tahun Baru Islam, yang selalunya bertemakan “PERUBAHAN”.
Tepatnya di Aceh Singkil, sebuah pergerakan massa yang berjumlah ribuan orang, melakukan “penyerangan” dengan sasaran bangunan-bangunan gereja yang ada di sana.
Gerombolan massa tersebut mengatasnamakan diri sebagai kelompok Pemuda Aceh Singkil Peduli Islam. Mereka membakar sebuah bangunan Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) yang terletak di desa Dangguren, Kabupaten Aceh Singkil. Akibat dari penyerangan ini, dilaporkan seorang warga meninggal dunia dan empat lainnya luka-luka.
Begitu kabar duka ini tersebar di media-media online, bermunculanlah reaksi dari para pengguna social media.
Bangsa kita berduka menjelang suatu hari dimana titik tolak kehidupan kaum Muslimin dimulai kembali untuk perubahan. Duka ini datang karena ada orang-orang yang tak bisa menerima perbedaan. Ya, lagi-lagi perbedaan agama. Sayangnya, momen perubahan untuk menjadi yang lebih baik lagi harus dinodai dengan sebuah peristiwa berdarah.
Lagi-lagi, agama dijadikan alat peretak kesatuan kita. Agama dijadikan alasan untuk kita lamban mencapai sebuah perubahan. Agama dijadikan alasan untuk kita sulit menghargai perbedaan yang katanya indah, yang katanya kita dikenal dunia karenanya.
Peristiwa ini juga melahirkan anggapan seakan-akan semua ini adalah salah agama. Sebagai seorang penganut agama tertentu, saya tak habis pikir mengapa agama yang dijadikan alasan?
Bukannya agama adalah sumber rahmat? Sebab, kemerdekaan yang kita rebut dan persatuan yang terwujud adalah karena rahmat dari Tuhan. Tuhan yang mewujudkan semua itu, bagi semua golongan, bukan cuma bagi umat Islam.
Tuhan yang mewujudkan semua itu adalah Tuhan yang diyakini oleh setiap anak bangsa negeri ini. Bukankah keyakinan ini yang membuat kita menjadi bangsa yang merdeka?
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Perubahan atau ishlah, sejatinya harus dimulai dari diri kita sendiri.
Tahun Baru Islam mengingatkan kita untuk merenung sejenak, mengevaluasi setiap tingkah laku kita sebagai bekal untuk esok. Lalu, mau dibawa kemana arah toleransi beragama kita? Apakah Islam tidak mengenal istilah toleransi beragama?
Alquran mengatakan kepada kita,
“…Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah..”(QS. 22:40).
Karena itu, dalam pandangan saya, Allah tidak akan merestui perilaku anarkis manusia untuk menghancurkan rumah-rumah ibadah agama lain.
Potongan ayat ini adalah rangkaian ayat-ayat yang membicarakan tentang tujuan Islam berperang. Di awal ayat tadi dikatakan,
“Adalah mereka yang terusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’…”
Tujuan berperang yang dilakukan Islam adalah untuk mempertahankan keimanan mereka. Kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka, dirampas hak-haknya, dan Allah memerintahkan mereka untuk berperang. Bukan untuk merebut tempat tinggal musuh, bukan juga untuk merampas hak-hak mereka yang memusuhi Islam.
Islam berperang bukan untuk membalas dendam terhadap apa yang orang-orang kafir perbuat. Tujuan berperang dalam Islam adalah untuk menegakkan kebebasan beragama, kebebasan berkeyakinan terhadap suatu wujud Tuhan.
Kebebasan itu tampaknya telah dibatasi gerak-geriknya oleh mereka yang tertutup pintu hatinya. Islam hendak melenyapkan kezaliman ini. Itulah sebabnya dahulu Islam mengangkat senjata.
Lalu, mengapa kita sekarang jadi demikian ganasnya, hendak melenyapkan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang Rasulullah telah bangun dulu?
Nampaknya, ada yang salah dengan diri kita. Ada yang salah dengan penghayatan kita atas nilai-nilai Islami yang telah diajarkan Rasulullah.
Saya akan kutip sebuah pernyataan agung dari Rasulullah, sebagai gambaran bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan.
Beliau bersabda:
“Aku berjanji bahwa seorang rahib atau musafir yang mencari pertolongan, baik dia di atas gunung-gunung, hutan-hutan, gurun-gurun atau tempat tinggal atau di tempat peribadatan, aku pasti akan menolak musuh-musuhnya. Dengan (bantuan) segenap sahabat-sahabatku dan penolong-penolongku, dengan semua kerabatku dan semua orang yang menyatakan mengikutiku. Dan aku akan mempertahankan mereka, karena mereka berada dalam perjanjian denganku.
“Tidak ada paderi atau pendeta yang akan dikeluarkan dari tempatnya. Tidak ada biarawan yang akan dikeluarkan dari biaranya. Tidak ada pendeta yang akan dikeluarkan dari tempat ibadahnya dan tidak ada peziarah yang akan ditawan dalam perjalanan ziarahnya. Tidak ada satupun gereja dan tempat ibadah mereka yang lain akan dirusak atau dimusnahkan atau dibongkar.
“Tidak ada satupun dari bahan-bahan bangunan gereja mereka yang akan digunakan untuk membangun masjid atau rumah-rumah kaum Muslim.
Setiap Muslim yang melakukan hal itu akan dinilai sebagai orang fasik atau pembangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya.” (Futuhul Buldan)
Aceh adalah provinsi yang bersyari’atkan Islam. Syari’at Islam tentunya diharapkan menjadi jalan untuk terciptanya kerukunan dan kedamaian di provinsi ini. Berkaitan dengan masalah tempat-tempat ibadah agama lain, bukannya sabda Rasul di atas yang harus disyari’atkan (diformalkan)?
Sekiranya, Aceh memang benar-benar mau menerapkan syari’at Islam secara kaffah, apakah sabda Rasul di atas bukan bagian dari syari’at Islam? Syari’at mana lagi yang harus dipakai untuk menyudahi masalah ini?
Masalah di Aceh Singkil bukanlah masalah pertama yang dialami negeri kita ini berkaitan dengan perbedaan. Kita sudah terlalu lelah melihat betapa kita masih sangat belia untuk menyikapi perbedaan yang amat niscaya ini. Mudah-mudahan momen “Tahun Baru” bukan dijadikan sebagai momen balas dendam akibat peristiwa di Tolikara silam.
Sebab, makna perubahan bukanlah untuk melanggengkan siklus permusuhan di antara sesama anak bangsa, tapi menyudahinya, menggantinya dengan sebuah perubahan. Perubahan menuju Indonesia yang aman, damai, dan tenteram.[]