IslamLib – Serangan teror kembali menghantam Paris, Perancis. Ledakan yang hampir serentak mengguncang beberapa fasilitas umum seperti stadion, restoran cepat saji dan panggung konser, menewaskan kurang lebih 129 orang (berita:cnnnews). ISIS mengklaim bahwa peristiwa yang terjadi memang bagian dari rencana teror yang sempat ditargetkan. Terbukti dari percakapan beberapa pendukung mereka di media sosial yang sangat bersuka cita atas peristiwa tersebut. Bukan hanya kali ini, beberapa bulan lalu, negeri menara Eiffel ini juga dihebohkan dengan serangan yang dilancarkan untuk majalah Charlie Hebdo dan menewaskan 11 oran jajaran redaksi majalah tersebut.
Fenomena yang kita saksikan ini sebenarnya peristiwa kemanusiaan yang tak dapat dibenarkan oleh logika apapun. Pembunuhan dengan sengaja, apapun alasannya, tetaplah peristiwa yang tidak menghargai manusia. Apalagi, pelaku penyerangan tersebut membawa motif agama (Islam) yang idealnya sangat menghargai kemanusiaan dan bertolak belakang dengan pembunuhan. “Sesiapa yang membunuh satu manusia, maka ia seperti telah membunuh banyak manusia,” begitu kata kitab suci mereka.
Tulisan ini ingin merespon mereka dari golongan Islam yang tengah memancing di air keruh hingga mendorong munculnya sikap beberapa Muslim “bingungan” pasca tragedi Paris. Belakangan ini menyebar berbagai macam pesan viral, ilustrasi-ilustrasi satir terhadap kedukaan dunia atas tragedi Paris. Banyak juga meme dengan nada kebencian yang menghiasi broadcast di pelbagai media sosial.
Inti daripada pesan/gambar viral tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa kesedihan dunia atas tragedi Paris terlalu “lebay”. Padahal di belahan dunia lainnya, warga Palestina, Burma dan lain-lain, mengalami tragedi kemanusiaan serupa. Karenanya, terror yang menimpa Paris dianggap wajar. Bahkan ada yang membuka luka lama dengan mengungkit soal penjajahan Perancis atas al-Jazair yang menewaskan lebih banyak korban dibanding pembantaian di Paris itu.
Sekali lagi, pembunuhan tetaplah pembunuhan. Melanggar hak asasi manusia. Karena itulah ia tidak bisa dianggap kejadian yang masih dalam batas wajar. Beberapa respon yang disampaikan secara viral tersebut sarat dengan propaganda kebencian. Dilakukan sebagai bentuk penyebaran identias sekaligus mengkonsolidasikan kekuatan politik identitasnya demi tujuan-tujuan eksistensialis.
Dengan pesan tersebut, masyarakat Muslim ingin diseret pada ranah wacana identitas antara dua pilihan: memihak kemanusiaan akan tetapi dianggap “kafir”, atau memihak tindakan teror tersebut sebagai balasan atas kesengsaraan yang menimpa Muslim lainnya di negara-negara yang tengah dilanda perang.
Hasilnya, banyak Muslim yang terjebak pada apa yang disebut Foucouldian sebagai labirin strategi wacana (discursive strategy), mereka tanpa ragu menganggap wajar tindakan teror tersebut. Begitulah cara kerja dari pesan viral propaganda kebencian yang dengan pesat menguasai wacana di media sosial.
Penyebaran pesan viral ini dapat dibaca melalui teori Kliktivisme (eng: clicktivism). Sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Micah White pada pertengahan 2011 lalu, ketika ia membentuk gerakan protes Occupy Wall Street (OWS). Kliktivisme adalah akronim dari kata “click” sebagai aktifitas maya, dan “activism” sebagai gerakan identitas.
Kliktivisme ini menandakan usaha kalangan aktivis yang sadar bahwa dunia saat ini sedang berjalan di dalam logika pasar (logic of marketplace), di mana semua orang berhak mempromosikan dan menawarkan produknya dengan bebas kepada konsumen yang membutuhkan.
Sejalan dengan demokrasi liberal, mekanisme pasar tidak hanya menjadi teori yang berkembang pada kajian-kajian ekonomi, tetapi juga menjadi sudut pandang dalam membaca pertarungan identitas. Masyarakat boleh menyuarakan identitasnya demi keseimbangan dan keadilan yang bisa mereka terima.
Kliktivisme menggambarkan dua hal sekaligus. Pertama, ini mengisyaratkan semangat membentuk identitas yang didukung oleh teknologi. Kedua, sebagai bentuk kekecewaan atas aktivisme di ruang publik, yang pada era globalisasi ini menuntut orang harus bersaing dengan efektif dan efisien dalam memperjuangkan identitas mereka.
Dengan kata lain, kalangan Islamis yang menyebarkan pesan viral tersebut sebenarnya mengarahkan masyarakat Muslim pada satu identitas (Islam) yang menurut mereka tidak bisa ditandingi oleh identitas manapun. Tetapi di sis lain, ini juga merupakan upaya mengatasi kekalahan mereka dalam pertarungan ideologi. Aktivisme mereka yang terus tersaingi, misalnya ketika mempropagandakan khilafah Islam dan mengutuk sistem negara-bangsa non syariah. Sementara mereka terus mempropagandakan sistem negara yang demikian, atau (paling tidak) menyeru anak muda agar tidak pacaran dan lebih baik ke masjid mengikuti liqo’-liqo’ mereka, di luar sana pusat-pusat hiburan tak pernah sepi, bahkan kerap dipenuhi ragam pasangan anak muda yang tengah memadu kasih.
Kalangan Islamis yang menyadari realitas inipun mencari pembenaran-pembenaran identitasnya lewat peristiwa lain yang dapat menunjukkan bahwa terdapat sekat-sekat dan garis demarkasi yang jelas antara putih dan hitam, baik-buruk, pahala–dosa, hingga surga dan neraka.
Kliktivisme membuat rencana internalisasi identitas mereka kepada masyarakat awam menjadi sangat mudah dilakukan. Pesan-pesan dikemas dalam balutan perjuangan agama, dan didistribusikan dengan mudahnya secara viral melalui tekhnologi yang hampir setiap masyarakat kelas menengah menggunakannya. Dengan begitu, mangsa pasar dari ideologi Islamisme sangat mudah dijumpai di media sosial.
Agenda serta tindakan pengalihan yang ditunjukkan melalui propaganda kebencian ini sesungguhnya tak kalah berbahaya sebagaimana ancaman teror bom atau aksi kekerasan lainnya. Seharusnya masyarakat Muslim bisa bersikap lebih dewasa. Seyogyanya umat Islam bisa mengambil pelajaran dan introspeksi diri ketika menyikapi tragedi-tragedi yang memang dilakukan oleh segelintir orang atau organisasi yang mengaatasnamakan Islam. Bukan malah mencari alasan untuk kemudian menyalahkan balik. Be mature, please!