Home » Politik » Demokrasi » Waduk Pidekso: Proyek yang Membelenggu Kebebasan

Waduk Pidekso: Proyek yang Membelenggu Kebebasan

4.57/5 (7)

IslamLib – Rencana pembangunan Waduk Pidekso di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, terang adalah bentuk pelanggaran terhadap kebebasan manusia (individu). Kebebasan, seperti banyak pemikir liberal mengartikannya, adalah kondisi di mana manusia tak lagi terhalang oleh tindakan eksternal yang tak dikehendakinya. Kita terbebas dari belenggu penindasan dan penjajahan, kapan dan di saat manapun kita berada.

Secara konsep, antara praktek kebebasan dan ketidakbebasan (penindasan) hampir tak bisa kita bedakan. Bagaimana tidak, keduanya sama-sama berdalih sebagai praktek yang berlandas pada nafas kebebasan itu sendiri.

Adalah satu keberuntungan luar biasa kita dapat berkenalan dengan seorang filsuf dan sejarawan pemikiran abad 20 bernama Isaiah Berlin. Melalui percikan-percikan pemikiran liberalnya yang terkemuka, kedua konsep tersebut tak lagi remang dan membingungkan.

Darinya kita dapat membedakan mana praktek kebebasan dan ketidakbebasan yang benar-benar berlandas pada kebebasan hakiki umat manusia. Paling tidak hingga dewasa ini.

Sekilas mengurai, di samping sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan manusia, rencana pembangunan Waduk Pidekso adalah juga rencana yang sangat ambisius. Melalui dalih kesejahteraan umum yang tertegaskan, pemerintah dan para kaki tangannya justru mencoba untuk memisahkan manusia dari ruang hidup dan penghidupannya.

Maksudnya jelas bahwa mereka (pemerintah dkk.) hanya hendak mengusai lahan potensial, dengan tujuan untuk melakukan satu monopoli yang tak bertanggungjawab. Pertimbangan akan kebebasan manusia yang paling hakiki, yakni hak hidup dan berkehidupan, sama sekali tak terindahkan dalam upaya rencana pembangunan tersebut.

Di sinilah kita patut meminjam istilah Berlin: “mengekang seorang manusia berarti menghilangkan kebebasan darinya.”

Memang benar bahwa rencana proyek pembangunan ini berlandas pada dokumen ANDAL (Analis Dampak Lingkungan) yang telah dibuat jauh-jauh hari oleh sejumlah ahli. Hanya saja, dokumen sebagai landasan pengambilan keputusan ini tak lebih dari sekadar dongeng atau ocehan tak berdasar.

Sebagai contoh misalnya, tahap pra-konstruksi pembangunan Waduk Pidekso yang meliputi perencanaan dan survei serta sosialisasi, sama sekali tak patuh terhadap ketentuan yang seharusnya berlaku.

Perencanaan yang dimaksudkan untuk menentukan detail engeneering design (DED) serta studi kelayakan teknis dan ekonomis dari pembangunan waduk, seolah dibiarkan jadi misteri, tanpa sosialisasi yang memadai.

Ya, masyarakat hanya butuh penjelasan, mengapa tanah kelahiran mereka yang terpilih sebagai daerah terdampak pembangunan waduk.

Pihak perencana, dalam hal ini Kementerian PU di bawah Dirjen SDA Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo, terhitung sampai hari ini, belum pernah menjawab apa yang menjadi kegelisahan warga masyarakat terdampak. Meski BBWS menggiatkan sosialisasi yang dimaksud, sayangnya, sosialisasi tersebut justru salah judul, atau mungkin sebaliknya.

Menurut informasi dari warga terdampak, sosialisasi proyek pembangunan Waduk Pidekso, lebih banyak membicarakan soal-soal pupuk, pertanian, dan sejenisnya. Padahal, sosialisasi tersebut seharusnya membahas proyek atau rencana kegiatan pembangunan waduk.

Juga alangkah baiknya jika ia merupakan sosialisasi dan konsultasi publik sebagai implementasi peraturan perundangan yang mengatur tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup).

Hematnya, sosialisasi yang terselenggara tersebut sama sekali tak menghimbau atas apa yang menjadi agenda BBWS sebagai pihak perencana pembangunan Waduk Pidekso, dan sekaligus apa telah yang menjadi harapan warga masyarakat itu sendiri.

Kapitalisme Yang Terciderai. Jika menggunakan pendekatan ekonomi-politik, rencana proyek apapun, meski dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan umum sekalipun, memang harus kita waspadai. Bagaimana tidak, hampir setiap proyek pembangunan di belahan bumi ini, terutama di Indonesia, acapkali menyisakan luka yang teramat perih.

Di sinilah kita dituntut untuk berpikir kritis. Dengan kata lain, segala sesuatu tidak boleh kita pandang sebagai taken for granted begitu saja.

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi paling mutakhir dewasa ini, sama sekali tak pernah bermaksud melanggengkan beragam bentuk ketidakbebasan dan atau penindasan terhadap umat manusia. Meski kemudian istilah ini melulu didefinisikan secara tidak proporsional.

Pahamnya acapkali dipersepsi sebagai upaya monopoli, ekspansi, penghisapan, bahkan penindasan. Akibatnya, kapitalisme berusaha dihindari, ditiadakan, pun berusaha diganti dengan sistem-sistem ekonomi yang lain.

Secara konsep, sebagaimana Berlin memberi makna atas kebebasan, justru kapitalisme-lah yang bercita-cita membangun suatu peradaban di mana kesejahteraan umum sebagai landasan dan ukurannya. Bahwa tak ada sistem ekonomi yang paling memungkinkan manusia untuk sejahtera selain sistem ekonomi kapitalisme.

Berbeda dari sosialisme dan atau komunisme yang menekankan pada kepemilikan bersama, kapitalisme lahir justru lebih memanusiakan setiap manusia (individu). Hak kepemilikan pribadi menjadi acuan utamanya. Belum lagi, pembagian kerja merupakan konsekuensi logisnya.

Adapun negara, dibutuhkan hanya sebagai pengawas bukan pengatur. Bahwa tiap individulah yang menjadi subjek atas hidup dan penghidupannya. Karenanya, adalah suatu tindakan tergesa-gesa jika kita langsung beranggapan bahwa  kapitalisme adalah dalang semua penindasan tersebut terjadi.

Berkaca pada Karl Marx, seorang filsuf sekaligus ahli ekonomi-politik terkemuka, tidakkah dalam Das Kapital-nya Marx justru mengkritik praktek kapitalisme bukan kapitalisme secara an sich?

Dengan kata lain, praktek harus dibedakan dari ide. Bahwa praktek bisa jadi keliru bisa juga tidak. Adapun ide, tetap apa adanya sebagaimana ide tersebut dilahirkan.

Kembali ke soal rencana pembangunan Waduk Pidekso, praktek kapitalisme yang akan terjadi dalam pembangunan ini yang harus kita jadikan sebagai sasaran tembaknya, harus kita antipasi. Jika perlu, ia harus dibungkam sampai ke akar-akarnya. Bahwa praktek dengan over-kapitalisme (akumulasi primitif) inilah yang melulu menjadi sebab semua penindasan terjadi di muka bumi ini.

Sebuah Ironi dan Harapan. Tentu tak manusiawi kiranya jika ada di antara saudara-saudara kita mengalami praktek penindasan, sementara kita hanya bisa asyik-asyikan bersuka-ria, bercanda-gurau, baik dengan teman atau keluarga. Di mana rasa kemanusiaan yang kita agungkan itu? Di mana harga diri dan martabat kita sebagai bangsa yang katanya beradab ini?

Jika seolah tak peduli dengan apa yang banyak terjadi di sekitar kita, saya kira kita tak lebih dari seonggok binatang yang hina sehina-hinanya.

Adalah benar ungkapan Anies Baswedan bahwa peradaban bangsa kita hancur bukan saja karena banyaknya orang-orang jahat yang menggerogotinya dari dalam, melainkan lebih karena banyaknya orang-orang baik yang berdiam diri dan didiamkan. Bahwa mereka yang tahu tapi mendiamkannya, tentu tak lebih sebagai orang-orang munafik. Maka munafiklah kita jika berlaku demikian.

Ya, mereka butuh bukti bukan sekadar janji. Mereka butuh kita sebagaimana kita butuh mereka di saat-saat genting dan kesusahan. Mereka butuh kebebasan seperti kita membutuhkannya. Mereka butuh apa-apa yang kita pun butuh untuk bisa, bahkan sekadar bertahan hidup.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.