Home » Tokoh » Belajar Islam di Negeri “Kafir”
Shahab Ahmed (Photo: Harvard Gazette).

Belajar Islam di Negeri “Kafir” Mengenang Shahab Ahmed

3.58/5 (19)

IslamLib – Jumat kemaren, 18/10, sebuah berita duka sampai di smartphone saya. Shahab Ahmed, dosen saya waktu kuliah di Universitas Harvard dulu, meninggal. Dia adalah associate professor Kajian Islam di universitas itu. Selama dua tahun saya mengikuti kuliah dia. Barangkali itu adalah momen terbaik dalam kehidupan akademis saya.

Shahab Ahmed meninggal dalam usia yang masih sangat muda, setelah lama berjuang melawan leukemia . Ini mengingatkan saya pada sarjana besar asal Palestina yang juga meninggal karena penyakit yang sama, yaitu Edward Said.

Selama setahun penuh, pada 2007, saya mengikuti kuliah Dr. Ahmed tentang Quran. Walau ini kuliah di universitas Amerika, tetapi apa yang saya lakukan tak jauh beda dengan model pengajian di pesantren. Kami membaca teks bersama-sama, persis seperti cara “bandongan” ala pesantren. Yang kami baca adalah kitab karangan Jalaluddin al-Suyuti (w. 1505 M di Kairo, Mesir),  Al-Itqan. Saya kira, ini adalah karya klasik terbaik dalam ilmu-ilmu Quran.

Setiap minggu saya menghadiri kelas Dr. Ahmed, di sebuah rungan di lantai tiga di gedung Barker Center di Quincy Street. Ada sekitar dua belas mahasiswa doktoral di sana. Salah satunya adalah seorang mahasiswa asal Pakistan yang sudah menjadi warga negara Amerika, Suhail Laher. Ia satu-satunya mahasiswa di kelas dengan jenggot panjang dan celana cingkrang. Laher adalah teman sekelas saya sejak kuliah di Department of Religion di Boston University.

Apa yang khas dengan kajian Islam di Amerika dan universitas di Barat yang lain? Yang khas adalah Islam dikaji di sana sebagai obyek ilmiah, sama dengan obyek-obyek yang lain. Pendekatan yang dipakai juga pendekatan ilmiah. Berbeda dengan pendekatan berbasis iman (faith based) yang kita jumpai dalam kajian Islam di negeri-negeri Muslim, pendekatan ilmiah tidak mengandaikan bahwa kesimpulan-kesimpulan akhirnya harus cocok dengan iman seorang Muslim. Kajian ilmiah tidak dibebani sama sekali dengan iman. Dia netral.

Pengajar-pengajar Islam di Barat umumnya adalah non-Muslim. Meskipun Shahab Ahmed, dosen saya itu, adalah seorang Muslim. Ini mungkin agak janggal di mata seorang Muslim. Bagaimana mungkin seorang non-Muslim mengajarkan Islam? Apakah tidak akan menimbulkan distorsi? Apakah tak akan merusakkan iman seorang Muslim? Apakah kajian semacam itu “mu’tabar” alias bisa dipercaya?

Tentu saja aneh jika kita memakai sudut pandang konvensional. Umumnya orang berpandangan bahwa mengajarkan Islam adalah sekaligus juga mendakwahkannya. To teach is to propagate. Pengajaran Islam dipandang sebagai bagian dari kegiatan propagasi atau dakwah. Ini adalah paradigma kajian Islam berbasis iman yang kita kenal di seluruh dunia Islam sekarang.

Kajian Islam di Barat tidak diniatkan untuk meneguhkan iman seorang mahasiswa, atau menghancurkannya. Kajian itu sifatnya ilmiah, objektif (dalam pengertian tidak terikat dengan komitmen sektarian tertentu), dan data-based (berbasis pada data empirik). Islam diajarkan sebagai bidang studi yang sama kedudukannya dengan bidang-bidang yang lain. Dia sama kedudukannya dengan, misalnya, ilmu politik, sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi, dll. Sebagaimana ilmu ekonomi bisa diajarkan oleh siapapun, tak memandang apa agama dia, begitu juga dengan kajian Islam.

Ini juga berlaku terhadap agama-agama yang lain. Di universitas-universitas Amerika, ada banyak sub-kajian mengenai agama-agama tertentu. Ada kajian tentang agama Buddha, Hindu, Yahudi, Kristen, dan agama-agama lokal di seluruh dunia. Yang mengajarkan kajian agama Buddha tak harus seorang Buddhis. Saya pernah mengambil kelas tentang agama Hindu dan Buddha di Universitas Boston. Dosen saya adalah Prof. Diana Lobel, seorang sarjana Yahudi yang juga ahli mengenai mistik Islam.

Keuntungan kajian Islam yang “netral” dan ilmiah ini adalah kita tak diharuskan menghasilkan kesimpulan yang harus sesuai dengan ortodoksi atau pakem tertentu. Tak ada cerita seorang mahasiswa yang digagalkan dalam ujian disertasi karena kesimpulan penelitiannya bertolak belakang dengan “rezim kebenaran relijius” yang dianut oleh umat Islam, misalnya.

Di dunia Islam, ceritanya bisa lain. Prof. Hamid Abu Zayd dari Mesir mengalami tragedi akademik yang memalukan. Dia ditolak menjadi profesor penuh di Universitas Kairo pada 1992 karena buku-buku yang menjadi basis pengangkatan dia memuat sejumlah kesimpulan yang bertentangan dengan keyakinan umat Islam. Salah satunya adalah buku mengenai Imam Syafii (w. 820 M), pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara.

Hal semacam ini tak akan pernah terjadi di Barat. Tak mungkin seorang sarjana Muslim ditolak mendapatkan titel akademik karena dia menulis karya ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan umat Islam. Begitu juga ahli agama Hindu: dia tak akan pernah ditolak gelarnya karena karya akademiknya dianggap berseberangan dengan keyakinan umat Hindu.

Kenetralan ini, saya kita, yang membuat kajian Islam di Barat berlangsung sangat dinamis. Setiap saat ada percobaan dengan metode dan pendekatan baru. Setiap pendekatan baru bisa mengoreksi kesimpulan-kesimpulan yang lahir dari pendekatan sebelumnya. Begitu seterusnya ad infinitum. Tak ada teori yang permanen. Dia bisa dibantah jika ada data baru yang menyangkalnya. Menyangkal teori tak dianggap sebagai “blasphemy” atau menghina agama.

Setiap tahun, selalu lahir buku-buku ilmiah baru di Barat mengenai Islam, dengan pendekatan yang segar, dengan perspektif yang baru. Menjelang meninggal, Shahab Ahmed sempat menerbitkan sebuah buku yang dianggap sebagai “breakthrough,” berjudul What Is Islam? Harus diakui, cara Shahab Ahmed dalam mendekati obyek kajiannya sangat kreatif dan segar.

Noah Fieldman, profesor di Harvard Law School, memberikan pujian yang saya kira sama sekali tidak berlebihan terhadap buku Shahab Ahmed ini: “Not merely field changing, but the boldest and best thing I have read in any field in years.”

Suasana akademis yang kreatif dan dinamis ini dimungkinkan, antara lain, karena kajian Islam di Barat tidak dibebani untuk mendakwahkan iman tertentu, atau menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan “pakem” ajaran yang sudah ada. Selain, tentu, karena dana riset yang besar.

Pada mulanya, kajian Islam di Barat yang dikerjakan oleh kaum orientalis memang mempunyai tujuan-tujuan yang apologetik: untuk mencari kesalahan Islam, dan menegaskan keunggulan agama Kristen sebagai “agama orang kulit putih”. Ini paradigma yang dominan pada abad ke-18 hingga menjelang pertengahan abad ke-20. Tetapi, pelan-pelan, kajian Islam di Barat makin simpatik pada dunia Islam.

Saat Islam sekarang menjadi sorotan kritis di Barat, yang membela Islam adalah para sarjaan Islam “bule” itu. Sebut saja beberapa nama seperti John L. Esposito dari Georgetown Universiy, Bernard Haykel dari Yale University, Robert Hefner dari Boston University. Semuanya adalah orang-orang “kafir” yang mencintai kajian Islam dan menaruh simpati besar pada dunia Islam.

Seluruh dosen kajian Islam yang mengajar saya dulu, baik di Universitas Boston atau Universitas Harvard, baik yang Muslim atau tidak, mereka adalah sarjana-sarjana yang memiliki simpati mendalam pada Islam. Dua dosen saya asal Jerman, Prof. Wolfgang Heinrichs dan Prof. Baber Johansen, adalah Islamicist dan Arabist (ini istilah yang dipakai sekarang) yang meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Dedikasi dan kecintaan mereka pada ilmu-ilmu Islam sangat mengharukan saya.

Saya pernah belajar ringkasan al-Itqan waktu di madrasah dulu. Dengan metode tradisional yang dipakai di madrasah di seluruh dunia Islam. Setelah itu, saya mengkaji kembali al-Itqan dengan pendekatan ilmiah, non-faith based, bersama Shahab Ahmed di Amerika. Saya bersyukur bisa mengalami dua model pendekatan pengkajian Islam itu. Masing-masing punya kelemahan dan kelebihannya. (Bukankah memang semua hal begitu?) Tetapi keduanya telah memperkaya perspektif saya dalam melihat Islam.

Semoga Ustadz Shahab Ahmed damai di sisi-Nya.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.