Home » Tokoh » Djohan Effendi dan Jiwa yang Merdeka

Djohan Effendi dan Jiwa yang Merdeka

4.39/5 (41)

IslamLib – Djohan Effendi adalah anak Banjar dengan pikiran yang merangkul seluruh agama-agama (besar atau kecil) dunia. Dia salah satu orang yang pikiran-pikirannya membentuk gagasan saya. Hari ini, Kamis 1/10/2015, umurnya genap 76 tahun. Kini, ia sedang disergap penyakit yang membuat tubuhnya lumpuh. Tetapi, pikirannya masih tajam, jiwanya merdeka, dan kecintaannya pada Islam yang terbuka masih menyala-nyala.

Saya pertama kali mengenal nama ini dari suatu jarak yang jauh — jarak yang membuat saya mustahil menyentuh dan menemuinya secara langsung. Circa 1984, dan saya masih di sebuah pesantren di pelosok Jawa Tengah, di Kajen. Suatu hari, seorang kawan membawa sebuah majalah bersampul warna kuning dengan desain gambar yang saya sudah lupa. Tetapi isi majalah itu masih saya ingat dengan jelas: Kritik atas teori negara Islam.

Saya, saat itu, masih berumur kira-kira tujuh belas tahun. Saya belum mengerti secara keseluruhan apa yang dikatakan dalam majalah itu. Walau tak memahami seluruhnya, saya menangkap sebuah semangat yang tampak menonjol di sana: kritik atas teori-teori politik yang dianut oleh sejumlah gerakan Islam di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Nama majalah itu ialah Nuansa.

Nama Pak Djohan ada di sana. Dia menulis sebuah artikel yang sudah saya lupa persinya. Samar-samar, saya mengingat Pak Djohan membahas Muhammad Iqbal. Saya, saat itu, belum pernah mengenal pemikir besar dari India/Pakistan itu. Tulisan Pak Djohan tidak terlalu menarik minat saya, meski saya tetap membacanya. Ada tulisan-tulisan lain dalam majalah itu yang lebih memikat saya: Tulisan dari Gus Dur, Cak Nur, dan Dawam Rahardjo.

Tetapi salah satu tulisan Pak Djohan yang mengubah wawasan saya mengenai agama adalah kata pengantar pendek yang ia buat untuk buku klasik Huston Smith, The Religion of Men (belakangan, karena dianggap tidak sensitif jender, judul itu diubah menjadi World Religion). Dalam versi terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Obor, buku itu diberi titel oleh Pak Djohan Agama-Agama Manusia.

Buku ini saya baca pada 1990, setelah saya meninggalkan kampung dan “berkelana” di Jakarta. Buku ini, berikut pengantar Pak Djohan di dalamnya, benar-benar mengubah orientasi saya tentang agama. Untuk pertama-kalinya, setelah sekian tahun hanya mempelajari Islam dan ilmu-ilmunya di pesantren, saya menyadari bahwa Islam “is just a religion among others.” Islam hanya salah satu agama saja di antara sekian ratus, atau bahkan ribu, agama yang terhampar di seluruh dunia, dan di segala zaman.

Tentu saja, sejak di Pesantren, saya telah mengenal agama-agama lain di luar Islam. Meskipun hanya perkenalan yang sangat permukaan saja. Saya tahu ada agama bernama Kristen, atau Katolik, atau Hindu, atau Budhha. Tetapi hanya perkenalan nominalistik. Saya tak tahu apa yang diimani oleh pemeluk-pemeluk agama itu. Yang saya tahu, semua agama itu adalah jalan-jalan yang hanya akan membawa pemeluknya ke kesengsaraan yang abadi. A road to perdition.

Hanya Islam, begitu keyakinan saya saat masih di pesantren, yang menjamin keselamatan. Selebihnya adalah “zulumat”, kegelapan.

Pak Djohan, melalui buku Huston Smith itu, telah mengubah wawasan saya. Saya seperti mengalami “aha moment”. Ternyata ada agama di luar Islam yang memuat ajaran-ajaran etis, moral, dan sosial yang juga “keren” dan indah. Saya, melalui Agama-Agama Manusia itu, telah diantar oleh Pak Djohan untuk mengalami tamasya “religi” (kata ini sungguh tak saya suka; kata “religi” di sana kata benda atau kata sifat?) yang menggairahkan.

Saya kira, buku Hustom Smith ini pelan-pelan telah menyiapkan saya secara mental dan intelektual untuk nanti, bertahun-tahun kemudian, terlibat dalam kegiatan dialog antar-agama. Kegemaran saya yang masih saya rawat hingga sekarang untuk membaca Bible, baik Perjanjian Lama atau Baru, mungkin berasal dari “benih” awal yang ditanamkan di pikiran saya oleh buku terjemahan Pak Djohan itu.

Saya sungguh tak bisa merasakan simpati kepada “diskursus polemis” yang dipakai oleh para polemikus-apologetik seperti Ahmad Deedat atau Zakir Naik. Waktu kuliah di universitas Saudi Arabia dulu, saya pernah diajak oleh dosen saya –ia berasal dari Mesir, dan tampakanya anggota Ikhwanul Muslimin,– bersama seluruh mahasiswa di kelas, untuk menonton debat Deedat melawan Jimmy Swaggart. Debat itu tak cukup membangkitkan selera saya.

Ada kontras antara wawasan relijius yang menjadi semangat buku-buku seperti yang ditulis oleh Huston Smith itu dengan wacana polemis yang dibangun oleh orang-orang seperti Deedat. Yang pertama ingin membangun pengertian. Yang kedua: mencari kelemahan dan kesalahan pada pihak lain. Yang pertama hendak mengapresiasi tradisi spiritual agama-agama lain. Yang kedua ingin mencari “keributan” melalui polemik.

Saya tak menganggap bahwa diskursus polemik tak berguna. Sebagai latihan untuk mempertajam keterampilan berargumen, polemik sangat bermanfaat. Tetapi saya kurang begitu tertarik. Sebab, polemik tampaknya mengandung asumsi: pihak lawan harus dijatuhkan. Makin telak kejatuhan lawan, kita makin puas. Lega. Ego melambung tinggi dengan cara merendahkan musuh.

Pak Djohan, melalui buku Smith itu, mengenalkan kepada saya hal yang justru sama sekali berbeda. Bukan polemik yang ia perkenalkan, melainkan dialog. Orientasi dialog bukan hendak “menjatuhkan” lawan, melainkan mencari pengertian, memahami pihak lain yang berbeda. Mereka yang memiliki nafsu besar untuk (kalau mau memakai bahasa media sosial sekarang) “twitwar”, mungkin dialog tak cukup menarik. Kurang seru. Tak bisa mengerek naik adrenalin. Tak ada pihak lawan yang bisa dijatuhkan dan disoraki. Sebab dalam dialog memang tak ada menang-kalah.

Tetapi dialog bisa membuat jiwa kita merdeka. Kemerdekaan jiwa ini yang saya pelajari dari sosok-sosok seperti Pak Djohan (sosok lain yang mengajarkan saya semangat ini adalah Gus Dur dan Cak Nur). Istilah “kemerdekaan jiwa” memang bisa tampak “verbose”, berlebih-lebihan. Atau mungkin juga klise. Tetapi, istilah ini benar-benar menggambarkan apa yang saya alami secara personal.

Saya merasa merdeka dengan wawasan keagamaan yang dikenalkan Pak Djohan karena saya bisa dengan bebas, tanpa rasa kecut dan takut sedikitpun, menjelajah dari tradisi agama yang satu ke tradisi yang lain. Dengan membacai kekayaan spiritual, moral, dan etis pada agama-agama lain itu, saya merasa tak takut bahwa iman saya sebagai Muslim akan melemah, keropos, luntur. Sama sekali tidak.

Saya justru merasa, iman saya menjadi lebih kaya, lebih bernuansa, lebih warna-warni dengan pengayaan spiritual yang dimungkinkan oleh kelana dan tamasya ke kebun agama-agama itu. Pada orang-orang seperti Pak Djohan, saya memang tak melihat ada kecemasan terhadap “yang lain” yang berbeda. Sebab dia memiliki jiwa yang merdeka.

Kepada orang-orang semacam ini sangat tepat jika kita lekatkan sebuah penggambaran dalam Quran, “la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun.” Tak ada ketakutan, dan tak ada kecemasan.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.