Home » Tokoh » Farid Esack
Farid Esack (Foto: enca.com)

Farid Esack

4.17/5 (6)

Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam, Afsel boleh dikatakan sebagai kawasan yang kuranguntuk mengatakan tidak sama sekalidipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam. Sebagaimana Islam di Asia Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar jazirah Arab dan Afrika bagian utara, Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keislaman.

Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi keragaman wajah Islam dan oleh karenanya mengeklusi konvisinitas pemikiran keislaman yang muncul di kawasan lain. Dengan kata lain, pemikiran keislaman yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan Islam (the centre of Islam).[1]

Justru di negeri yang tersohor dengan sistem apartheid inilah muncul suatu pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan munculnya Maulana Farid Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang berambisi mewujudkan Islam Afsel.[2] Struktur penindasan yang nyaris sempurna seperti digambarkan Esack ketika melukiskan penderitaan ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid, patriarkhi dan kapitalisme,[3]memang menjadi krisis kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian lama berurat akar.

Konteks lokal inilah dijadikan Esackdengan meminjam perspektif Aloysius Pieris sebagai tempat berteologi (locus theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan kaum tertindas.

Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat organisasi pendukungnya dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang tipikal Afsel. Uniknya, pemikiran keagamaan yang digagas beliau langsung merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan relevansinya dengan latar belakang disiplin keilmuan Esack.

Bila dirunut lebih jauh, pemikiran beliau masih beririsan dengan konteks besar gagasan teologi pembebasan yang dalam konteks Islam dipromotori oleh Asghar dengan kritik sejarah dan sosialnya.[4] Ia sendiri lebih suka menamainya Islam progaresif daripada teologi pembebasan.[5]

Apa yang dirumuskan Esack sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah merupakan catatan kaki dari produk refleksi pemikiran teologis dan pergumulan praksis dengan hegemoni, dominasi dan represi rezim apartheid yang menggencet rakyat Afsel pada umumnya.

Keterlibatan Esack dan komunitas muslim secara intens dalam gerakan pembebasan di Afsel menjadi anotasi penting dalam perjuangan meruntuhkan rezim apartheid. Sebagaimana diketahui, pada umumnya masyarakat muslim di negeri itu adalah masyarakat urban.

Kebangkitan masyarakat urban, terutama kelompok muslim, di Afsel sendiri dimulai sekitar tahun 1986. Embrionya bahkan telah tampak saat organisasi politik yang besar, Organisasi Rakyat Afrika (APO), yang mewadahi aspirasi politik masyarakat Afsel dari pelbagai kalangan, pada tahun 1910-1944 terus dipimpin muslim: Dr. Abdullah Abdurrahman yang kebetulan cucu seorang budak.[6]

Peran signifikan komunitas muslim semakin kentara bila dilihat dari jumlah nominalnya yang tidak terlalu seberapa, namun mengambil posisi proaktif dalam gerakan pembebasan. Kaum Muslim menduduki posisi-posisi kelas menengah yang menguasai sektor publik sehingga turut mewarnai arah perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Saat ini, kaum Muslim yang hanya berjumlah 2% dari total populasi rakyat Afsel menduduki 12% kursi di kabinet (empat menteri beragama Islam dari 28 menteri yang ada).[7] Ketua Mahkamah Nasional juga seorang muslim. Begitu juga di parlemen terdapat 12% anggotanya yang beragama Islam.

Menurut Esack, konstatasi politik di atas menguntungkan sekaligus merugikan. Secara politis memang daya tawar komunitas muslim meningkat, tapi dilihat dari diskursus Islam progresif pasca-apartheid justru terlihat menurun frekuensinya karena semakin banyak pemikir Islam progresif yang terlalu sibuk menjalankan pemerintahan.[8]

Menurut pengakuan Esack, peran kelompok muslim terutama dalam perjuangan anti-apartheid bersama kelompok lain tidaklah memancing reaksi negatif karena mereka tidak memburu agenda muslim semata, tapi agenda pembebasan masyarakat Afsel.[9]

Sebagai masyarakat yang terbilang minoritas di negeri yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen, kelompok muslim memang tidak bisa bertindak gegabah meskipun perjuangan anti-aparteid yang mereka kumandangkan ditujukan untuk agenda kemanusiaan yang bersifat universal serta melampaui batas-batas dan sekat-sekat teologis dan etnis.

Mereka harus pandai merangkul komunitas lainnya, terutama dari agama Kristen yang mayoritas, untuk bersama-sama menegakkan aras perjuangan yang didasarkan pada kesadaran teologis bahwa agama apa pun mengecam penindasan atas dasar rasialisme dan sejenisnya.

Realitas menunjukkan bahwa hingga tahun 1970-an, hampir semua gereja di Afsel mendukung apartheid.[10] Gereja hanya melayani kepentingan orang kulit putih saja, terlebih lagi bila gereja tersebut berada di wilayah orang kulit putih.

Masyarakat berkulit hitam dan berkulit berwarna dalam struktur apartheid yang mendekati kesempurnaandiharuskan membangun gereja sendiri dan terpisah. Sebuah ironi di mana agama dipaksa berperan dalam memelihara sistem rasialis.

Paulo Freire pernah mengatakan bahwa kelompok yang menikmati status quo dan kepentingannya akan terganggu dengan perubahan akan cenderung menolak perubahan. Demikian juga dengan kenyataan yang terjadi di sana sebelumnya di mana banyak orang kulit putih yang didukung oleh agamawan-kolaborator justru menjadi lawan pertama dari gerakan anti-apartheid selain aparatus ideologi negara yang dijaga militer dan polisi. Kemunculan Kongres Nasional Afrika (ANC) membawa nuansa baru dalam perjuangan anti-apartheid yang kemudian mengantarkan Nelson Mandela menjadi Presiden Afsel pada tahun 1992.

Kehidupan yang Pahit

Esack termasuk seorang intelektual yang mengalami masa kecil yang sulit dan pahit. Esack lahir pada tahun 1959 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya lainnya di Wynberg.

Sepeninggal sang ayah yang raib entah kemana itulah, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack kemudian memerankan posisi ibu sekaligus ayah yang harus mencari nafkah hidup bagi enam orang anak yang masih kecil-kecil.

Dalam buku Quran Liberation and Pluralism, Esack banyak mengulas kisah pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat mewarnai cara pandang pemikiran Esack di kemudian hari. Penghasilan sang ibu sebagai buruh kecil tak cukup menghidupi sebuah keluarga besar yang kemudian memaksa Esack dan saudara-saudaranya mengais tempat-tempat sampah untuk mencari sisa-sisa makanan.[11]

Tak jarang pula, mereka mengemis meminta belas kasihan orang. Meskipun demikian, Esack tak menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan.[12]

Sebuah kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi urusan Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain.[13]

Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus, adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan.[14]

Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya.

Esack secara khusus juga tak pernah melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas.[15] Hubungan sosial yang begitu harmonis yang bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih supel dalam bergaul.

Selanjutnya, ketika Esack merintis perjuangan anti-apartheid, Esack tidak lagi mempersoalkan prasangka-prasangka sempit karena problem klaim kebenaran dan klaim keselamatan (claim of truth and salvation) di benak Esack telah usai.

Penderitaan hidup yang dialami keluarga Esack adalah gambaran mikro dari derita rakyat Afsel pada umumnya akibat perlakuan diskriminatif rezim apartheid. Orang kulit putih yang secara nominal hanya berjumlah 1/6% dari total populasi rakyat Afsel menguasai dua pertiga pendapatan nasional, sementara bangsa kulit hitam yang hampir berjumlah % total penduduk hanya memperoleh saja.

Banyak orang kulit hitam yang menjadi budak, sementara kulit putih menguasai sektor publik dan kelas menengah.[16]Perlakuan istimewa terhadap orang kulit hitam tersebut ditambah lagi dengan dua kebijakan rezim apartheid yang makin menyingkirkan orang kulit hitam yang mayoritas dari akses-akses ekonomi dan politik serta hukum.

Dua kebijakan tersebut adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker). Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi yang dibuat Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam.

Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4: 2: 1.[17]

Kebijakan lainnya adalah penerapan akta wilayah (groups area act) yang membuat orang-orang kulit hitam tergusur dan terpinggirkan di daerah-daerah paling tandus di Afsel. Mereka akhirnya menjadi pengemis di kampungnya sendiri, untuk meminjam istilah Emha Ainun Najib yang terkenal itu.

Inilah realitas menggelikan sekaligus mengerikan yang terjadi ketika rezim apartheid masih berkuasa di Afsel. Embargo dan pemboikotan dunia serta ekslusi dari negara-negara internasional terhadap rezim apartheid tak sedikitpun menggoyahkan.

Di antara tokoh-tokoh awal Islam yang terkemuka, Esack malah mengagumi dan mengidolakan Abu Dharr al-Ghifari, bapak sosialisme Islam.[18]Barangkali pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang bersahaja.

Tatkala tampil di Auditorium Utama IAN Jakarta tanggal 23 Maret 2001, Farid cuma mengenakan kaus berkancing dengan motif sederhana. This is not my picture, kata Esack sambil tertawa ketika melihat pamflet dirinya bergambar George Washington yang berjubah parlente.

Aktivisme Politik

Sebagai seorang intelektual muslim yang telah menelurkan beberapa karya monumental, nama Esack belumlah setenar nama Fazlurrahman, Mohammed Arkoun, Syed Naquib al-Attas dan lain-lain. Sebelum ia menelurkan karya Quran Liberation and Pluralism, nama Maulana Farid Esack belum banyak dikenal oleh masyarakat akademisi. Literatur yang membicarakan buah karyanya belumlah banyak, apalagi informasi mengenai jatidiri dan kiprahnya dalam dunia keilmuan dan aktivitas lainnya juga terhitung tidak melimpah.

Dalam perkembangan berikutnya, beberapa jurnal terkemuka di dunia mulai memuat tulisannya. Esack juga tak segan-segan mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai anotasi penting yang diakuinya turut mempengaruhi kiprah perjalanan intelektualnya.[19] Esack berargumen bahwa kisah nyata yang ia alami bersama keluarganya adalah sebuah pijakan yang tidak terlepas dengan realitas serta membentuk struktur epistemologis tafsir hermeneutika pembebasan.

Akan tetapi ada juga penilaian yang muncul yang mengatakan bahwa pernyataan Esack terlalu hiperbolik. Tak jarang keluar penilaian sinikal, yang menyatakan bahwa Esack terlalu berlebihan mengangkat kisah hidup dan perjuangannya dalam usaha melepaskan diri dari sistem apartheid.

Terlepas dari itu, Esack sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang aktivis ketimbang pemikir. Seperti diakuinya ketika ia berbicara dalam Orasi Al-Quran dan Pembebasan di Auditorium IAIN Syarif Hidaya-tullah yang diselenggarakan BEM IAIN Jakarta tanggal 23/3/ 2001. Pengakuannya tersebut tak terlalu berlebihan. Ia dikenal sebagai sedikit tokoh muslimin di Afsel yang berjasa dalam membebaskan rakyat Afsel dari belenggu apartheid.

Bila dilihat dari karya-karyanya, ia juga tak berpretensi terlalu ilmiah dalam mengungkapkan gagasan-gagasan besarnya. Para pengkaji yang relatif baru berkenalan dengan pemikiran Esack, tidak akan menemui banyak kesulitan bila berlatar belakang Quranic studies. Ia sadar bahwa ilmu bukan semata-mata untuk ilmu sendiri, namun punya agenda liberatif untuk masyarakat umumnya.

Esack juga bukan tipikal intelektual menara gading yang beruzlah di ruang-ruang perpustakaan, namun kehilangan sentuhan dengan realitas di sekelilingnya. Esack adalah model intelektual organik untuk memakai kategori Antonio Gramsci yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia untuk mengubahnya.

Sebagaimana telah dinyatakan di muka, di tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen.[20]

Dari berbagai informasi diperoleh data menarik di mana Esack sejak usia 9 tahun telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan berpusat di Pakistan.

Di dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood).[21] Ia mengakui bahwa figur sang ayah yang tak ketahuan rimbanya tergantikan dengan rekatnya hubungan persaudaraan antar-anggota Jamaah Tabligh.

Yang menarik adalah kesempatan menuntut ilmu menuju Pakistan untuk meneruskan studinya di Jamiah Ulum al-Islamiyah. Di sini Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang hukum Islam. Dalam literatur yang penulis peroleh, tidak didapat informasi yang meyakinkan soal keberangkatan ke Pakistan untuk menekuni studi lanjut, sementara secara finansial, Esack sangat kekurangan.

Penulis hanya bisa menduga kemungkinan beasiswa dari Jamaah Tabligh atau simpatisannya karena Jamaah Tabligh itu sendiri berpusat di negeri sang penyair Mohammad Iqbal. Bisa juga ada bantuan beasiswa dari orang atau lembaga yang berempati dengan kepandaian Esack dan ia memilih Pakistan karena ia merasa telah mendapat informasi yang memadai tentang situasi akademis di negeri itu berkat aktivitasnya di Jamaah Tabligh.

Intinya, tempat Esack menuntut ilmu di Pakistan ada kaitannya dengan Jamaah Tabligh, meskipun dalam buku Quran Liberation & Pluralism, ia tak menyebutkan beasiswa yang ia dapatkan dari lembaga mana. Kisah Derrick Dean, kawan Esack yang beragama Kristen, yang diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah Tabligh Afsel,[22] Haji Bhai Padia, juga menunjukkan bukti keterkaitan tersebut. Kita tahu, kejadian tersebut terjadi di Pakistan, tempat Esack menuntut ilmu.

Pengakuan Esack bahwa institut yang ia tuju sangatlah konservatif bisa jadi mengukuhkan dugaan di atas bahwa jamiah tempat ia kuliah adalah milik atau ada kaitannya dengan Jamaah Tabligh. Ini terutama bila dikaitkan dengan reaksi Bhai Padia. Kasus Abdul Khaliq Ali yang dirawat di rumah sakit juga makin menambah diskrepansi pemahaman teologis Esack dengan konservatisme Jamaah Tabligh.[23]

Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar maulana yang makin menambah gagah namanya.

Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi minoritas: sering dilecehkan dan ditindas.

Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan tukang kredit berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough).[24]

Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang mentaji mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen.[25]

Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan rasialis di mana Pakistan ia sering menemui penindasan terhadap wanita, sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid.

Esack menempuh studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah masa pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977,[26]Jenderal Zia ul-Haq yang berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak berdarah.

Zia ul Haq yang disokong oleh Pemerintah Amerika Serikat dan CIA meskipun pada akhirnya ia diduga dibunuh oleh CIA setelah pesawat yang ditumpanginya meledak karena dianggap sebagai patner utama untuk membantu mujahidin Afghanistan menggulingkan pemerintahan boneka Uni Soviet di Kabul. Zia ul-Haq dikenal dekat dengan kalangan konservatif karena melalui merekalah pemerintah Zia mendapatkan sumberdaya politik utama selain dari militer.

Pada masa pemerintahannya, marginalisasi terhadap kaum minoritas dan perempuan dalam kehidupan sosial politik mencapai puncaknya. Segregasi laki-laki dengan perempuan di sektor publik terjadi secara kasat mata, perempuan juga dilarang tampil di televisi serta kewajiban mengenakan duppata yang kemudian memancing reaksi balik dari kaum perempuan.[27]

Seperti biasa pemerintahan Amerika menerapkan standar ganda. Mereka tak berani mengusik kebijakan Zia yang non-demokratik tersebut karena saat itu Amerika Serikat masih membutuhkan peran dan jasa pemerintahan Zia untuk mempermalukan Uni Soviet dalam perang Afghanistan.

Di tengah situasi yang penuh dengan kebijakan diskriminatif ini, Farid justru merasa betah dengan iklim akademis di Pakistan dan oleh karenanya ia melanjutkan pendidikannya di Jamiah Abi Bakar Karachi dalam bidang ulum al-Quran.[28]

Farid malah merasa mendapatkan pengalaman berharga serta dapat menarik pelajaran tidak hanya di bangku kuliah saja, tapi juga secara langsung dari dua negeri yang menerapkan kebijakan diskriminatif. Hal-hal inilah yang nantinya berguna bagi pematangan konstruksi epistemologis pemikiran Esack yang mampu menubuhkan semangat teologis dan praksis melawan penindasan.

Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-Quran di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984[29]. Ia menjadi koordinator nasionalnya.[30] Organisasi ini berafiliasi kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.

Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.[31]

Meskipun demikian, gerakan The Call Of Islam bukannya sepi dari hambatan. Kelompok-kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, MSA[32]melalui tabloid Majlis mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap mereka yang bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama pluralisme.

Atas dasar penafsiran sempit terhadap al-Quran, tabloid tersebut tak henti-hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada a search for an outside model of Islam.[33]

Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi. Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Ayat-ayat yang sering dipakai sebagai justifikasi adalah:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kamu[34] (Q.s: al-Baqarah: ayat 120):

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu (al-Maidah (5): 51).

Hal inilah yang mendorong Esack untuk mempelajari al-Quran dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Quran di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman.

Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir.

Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri.

Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University Nortridge).[35] Tak sekadar itu, Esack juga masih aktif di Comission on Gender Equality dan World Conference for Religion and Peace (WCRP). Sebuah gabungan apik antara intelektualisme dan aktivisme.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.