Saya sendiri, yang kebetulan sedang belajar di Ohio, mengalami reaksi beragam. Saya tinggal di perumahan yang disubsidi pemerintah dan dihuni banyak rakyat AS yang miskin. Suatu ketika, seorang tetangga bertanya dengan nada tak ramah: “Anda muslim, ya?”
Di lain waktu, istri saya yang kebetulan berjilbab, diolok-olok laki-laki yang memberi isyarat dengan jari tengah bernada melecehkan. Dari negara bagian lain, kami mendengar berita bahwa beberapa toko milik orang Arab dibakar. Di Columbus, ibukota Ohio, sebuah masjid atau Islamic Center diserang orang-orang tak dikenal.
Tapi kami juga tahu bahwa di banyak tempat lain, banyak orang atau tempat khusus milik kaum muslim dilindungi kalangan agamawan non-muslim. Di Athens, sebuah kota kecil di Ohio, misalnya, persis sehari setelah 11 September, Islamic Center didatangi kalangan agamawan yang ingin menegaskan bahwa kaum muslim tidak perlu khawatir.
Karena gagal bertemu pengurus yang sedang tidak di tempat kala itu, mereka menempelkan keterangan di pintu Islamic Center, yang menegaskan niat mereka itu.
Khususnya dalam situasi tegang seperti itulah kami merasa beruntung karena ada penulis seperti Karen Armstrong. Penulis Inggris ini dikenal sebagai penulis buku-buku agama yang amat produktif dan hampir semuanya menjadi best-seller.
Selain menulis mengenai tema-tema tertentu dalam agama Kristen yang secara khusus didalaminya (ia pernah menjalani hidup sebagai calon biarawati, sebelum akhirnya hengkang), ia menulis mengenai perbandingan dan sejarah agama, biografi Nabi Muhammad dan Budha, dan sebuah sejarah Islam ringkas.
Seraya bermarkas di rumahnya di London, ia rajin diundang ke berbagai penjuru dunia, menyebarkan spiritualitas yang baginya tidak harus berbasis agama tertentu. Ia menyebut dirinya monoteis freelance.
Karya-karya Armstrong sebenarnya tak istimewa benar. Dalam biografinya mengenai Nabi Muhammad, misalnya, tidak ada perspektif atau pengetahuan yang baru sama sekali. Karyanya tak sebanding dengan karya-karya para sarjana lain seperti Martin Lings, Montgomery Watt atau Maxime Rodinson.
Cukup jelas bahwa ia juga tak menguasai bahasa Arab, hingga sejumlah kesalahan penulisan terjadi dalam bukunya (madrasahs, misalnya, ditulismadaris). Ia hanya mensistesiskan karya-karya terdahulu, dan menuliskannya secara popular dan sederhana.
Yang disukai para pembaca dari Armstrong adalah pendekatannya yang empatik. Ia paling tertarik dengan aspek-aspek konkret dari kehidupan keagamaan Islam, misalnya, dan mencoba memahami motif-motif terdalamnya.
Dalam sejarah ringkasnya mengenai Islam, misalnya, ia sempat mendiskusikan beragamnya fundamentalisme modern tanpa mengaitkannya secara tendensius dengan Islam. Ia mencoba memahami fundamentalisme dari dalam, memotret para aktivisnya sebagai pengikut sebuah iman yang merasa terancam oleh otoritarianisme sekular yang mendominasi dunia Islam.
Kita dibawa masuk ke dalam pikiran terdalam orang-orang yang bersedia mati, sambil membawa bom di tubuhnya, yang merasa putus asa dengan kelaliman para penguasa.
Katanya, sikapnya banyak dibentuk oleh Marshal Hodgson, bekas guru Nurcholish Madjid dan Amien Rais di Universitas Chicago, yang memperkenalkannya kepada the science of compassion. Dengan bekal itu, katanya, kita bisa turut merasakan apa yang orang lain rasakan, sehingga dalam diri kita ada ruang untuk menerima mereka.
Ia juga terkesan dengan Wilfred C. Smith, yang mendirikan Lembaga Kajian Islam di Universitas McGill pada akhir 1950-an. Untuk mengerti Islam sungguh-sungguh, ahli Islam India ini mensyaratkan agar lembaga di McGill itu diisi oleh sedikitnya 50% mahasiswa Islam. Ia juga berprinsip: apa yang saya katakan mengenai Islam baru valid jika kaum muslim sendiri berkata “amin” kepadanya.
Dengan sikap mental inilah Armstrong menulis buku-bukunya. Biografinya mengenai Muhammad disukai banyak orang Islam. Kata Akbar Ahmed – seorang pemuka muslim di AS asal Pakistan – kepadanya, “Buku Anda itu sebuah kisah cinta.
Seandainya Anda sempat bertemu Sang Nabi, Anda tentunya akan bersedia menjadi istrinya yang ke-15!” Berkat itu pula Armstrong diundang untuk berceramah pada sebuah acara maulid Nabi! Padahal ia belum pernah menemukan seorang pemuka muslim diundang berceramah di Hari Natal, katanya.
Di AS, karya Armstrong menjadi pembanding yang berarti bagi karya-karya penulis lain seperti Bernard Lewis, yang di AS juga menjadi penulis best seller. Beda dari Armstrong, Lewis adalah seorang esensialis yang melihat Islam hanya dari sudut pandang kaum fundamentalis. Hanya ada satu Islam baginya, dan Islam itu adalah Islam “keras”.
Karyanya yang paling tipikal adalah What Went Wrong?, yang ditulis sebelum, tetapi diterbitkan sesudah peristiwa 11 September. Di situ ia menyatakan bahwa Islam sudah dan pada dasarnya memang akan terus berbenturan dengan Barat, kecuali jika perubahan mendasar berlangsung di dunia Islam (yang ia ragukan).
Tidak ada kualifikasi mengenai Islam, atau Barat: semuanya monolitik dan tak akan berubah. Karya itu memenuhi nafsu yang bergejolak di dada sebagian rakyat AS: seakan mereka memperoleh konfirmasi mengenai mengapa “Islam” menyerang mereka secara keji.
Berkat karya-karya Armstrong, Lewis tak lagi bertengger di jajaran penulisbest-sellers sendirian. Karya-karya mereka kini bisa ditemukan berjejeran di toko-toko waralaba seperti Wall Mart, dengan harga murah. Karya-karya Armstrong juga menandai makin seringnya Islam dibicarakan di luar kampus di AS.
Karya-karya itu memang tidak dalam secara kesarjanaan, tetapi kesederhanaannya justru berguna untuk dibaca kalangan luas. Karya-karya itulah yang turut membentuk pandangan bahwa Islam itu warna-warni.
Bahwa bahkan kalangan yang disebut fundamentalis pun memiliki alasan yang membuat kita bisa mengerti mengapa mereka siap sedia bunuh diri. Armstrong mengecam keras peristiwa 11 September, tetapi ia juga mengerti mengapa begitu banyak orang di dunia Islam yang tidak suka sama pemerintahan AS.
Kaum muslim Indonesia semestinya juga bisa belajar banyak dari Armstrong, sambil membaca terjemahan karya-karyanya yang belakangan banyak diterbitkan di sini. Sikapnya mestinya mendorong kita untuk lebih bersikap empatik terhadap pandangan orang lain, baik itu muslim atau bukan.
Harus ada ruang dalam hati kita untuk memahami sikap, pikiran dan pilihan orang lain. Mestinya ada sejenis relativisme internal dan eksternal pada diri kita, sehingga kita tidak terpaku pada kepastian-kepastian yang biasanya kita pegang: siapa tahu ada sejemput kebenaran pada orang lain! Bukankah Islam mengajarkan bahwa Kebenaran Mutlak (al-haqq) hanya Allah?
Membaca karya-karya Armstrong, juga Hodgson dan Smith yang memberinya inspirasi, saya terus terang sering kecewa jika bertemu dengan uraian seorang muslim yang terlalu menyederhanakan mengenai pihak lain. Mengenai kehidupan di Barat, misalnya, yang disinggung melulu soal kebebasan seksual dan yang menyerempet itu. Seakan semua orang Barat seperti itu. Seakan itu gejala umum di sana.
Bagi saya, Armstrong telah ikut “menyelamatkan” kaum muslim dari perasaanketar-ketir mereka di AS. Mudah-mudahan karya-karyanya juga turut mewarnai kaum muslim di tempat-tempat lain. Agar dunia diisi lebih banyak lagi orang yang bersedia membuka diri, ingin memahami orang lain, tidak mau menang sendiri dengan kepastian-kepastian yang absolut. Dengan begitu dunia rasanya akan lebih damai bagi semuanya.