IslamLib – Kamis lalu, 1/10, adalah haul yang ke-21 Mahbub Djunaidi, kolumnis jenaka dan pintar memainkan satir itu. Ia meninggalkan banyak pelajaran berharga. Ia bisa menjadi teladan yang baik bagi banyak kalangan saat ini: politisi, jurnalis, budayawan. Apa yang ditingalkan oleh penulis Betawi ini dan masih layak kita kenang hingga sekarang adalah idealisme. Mahbub Djunaidi begitu kokoh, seperti karang yang tetap berdiri meski terus dihempas ombak besar.
Hari-hari ini, kita kerap menyaksikan begitu banyak politisi, seniman, wartawan dan pemimpin organisasi yang sibuk menggeser-geser diri agar dekat dengan pusat kekuasaan. Tetapi kita ingat Mahbub Djunaedi. Ia yang juga pernah menjadi politisi, seniman, jurnalis dan pemimpin organisasi besar, justru menjauh dari sana.
Ia pernah ditawarkan kemewahan material oleh Orde Baru. Tetapi tokoh NU dan pendiri PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) itu, menolak secara tegas. Ia bahkan akhirnya dipenjarakan oleh Suharto.
Ia kemudian dikirim ke rutan Nirbaya bersama dua sahabatnya, Soebandrio dan Omar Dhani. Ketiganya dianggap melakukan penghasutan karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di hadapan forum mahasiswa.
Namun dalam sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara, Mahbub mengatakan:
“Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi, bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti ditempuh.” (Emmy Kuswandari, 2008).
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh dua pimpinan DPR, Setya Novanto dan Fadli Zon, yang bertemu dengan, dan menghadiri kampanye Donald Trump. Juga kunjungan Ketua MPR Zulkifli Hasan ke China. Melihat Mahbub sang politisi dan melihat para politisi sekarang ini, terasa ada sesuatu yang hilang. Mungkin itu adalah idealisme dan prinsip. Mahbub berpolitik dari sebuah ide dan komitmen. Politisi sekarang bergerak dari perhitungan real politiek saja.
Jakob Oetama pernah mengatakan: Mahbub Djunaidi adalah seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. Itulah Mahbub Djunaedi. Gaya politik dia kontras dengan politisi sekarang.
Biasanya, ketika berada di pusaran kekuasaan, seorang politisi cenderung tergoda memanfaatkan kedekatannya itu untuk ambisi pribadi. Bahkan untuk menimbun kekayaan dengan cara yang tidak wajar. Misalnya: korupsi.
Mahbub (kelahiran Jakarta 27 Juli 1933) justru, dengan keras kepala, memilih hidup sederhana. Ia tidak tergoda oleh gemerlap kemewahan material, meski ada kesempatan yang luas bagi dia untuk menikmatinya, jika ia mau. Ia memilih hidup sederhana, dan di sanalah kita berjumpa dengan sebuah teladan yang mengesankan. Di sanalah kita jumpai kekuatan Mahbub sebagai manusia.
Saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada tahun 1967-1971, ia tetap mengkritik pemerintah. Ia, melalui tulisan-tulisannya yang tajam dan jenaka, mencoba melancarkan kritik itu, dan mempertahankan prinsip yang ia percayai dengan sepenuh-teguh.
Tak heran jika ia kemudian dijuluki sebagai “pendekar pena”. Dan kita pun tahu, melancarkan kritik kepada pemerintah pada zaman Orde Baru adalah tindakan kepahlawanan, dan sekaligus kenekadan. Kritik dengan gampang bisa menggiring orang ke ruang bui.
Mahbub pernah menulis sebuah artikel menarik: Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini (Kompas, 18 Maret 1981). Salah satu tulisannya berbunyi seperti ini:
“Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia.”
Di kutipan itu, kita melihat sebuah satir, tetapi juga sekaligus gaya yang jenaka — gaya yang sudah langka kita jumpai pada penulis-penulis sekarang. Kejenakaan, tetapi juga sekaligus pengamatan yag tajam, juga bisa kita baca dalam kutipan berikut:
“Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan.”
Mahbub Djunaedi, sosok dengan kepiawaian yang berbagai-bagai itu, meninggal 21 tahun lamanya. Tetapi warisannya masih terus kita kenang hingga sekarang: berpolitik dengan komitmen, ketajaman dan kejenakaan dalam menulis, serta kesederhanaan hidup.
Ia juga telah menorehkan sesuatu yang sangat berharga dalam dunia tulis-menulis kita. Amat disayangkan bahwa mazhab menulis ala Mahbub ini nyaris punah. Tak ada yang meneruskan saat ini.
Alfatihah…