Home » Tokoh » Mengenang Potret Ayah Sebagai Sang Pengarang
Ayah dan ibu saya. (Photo credit: Dokumentasi keluarga)

Mengenang Potret Ayah Sebagai Sang Pengarang

4.52/5 (27)

IslamLib – Ayah saya adalah sosok dengan kegemaran yang tidak lazim. Ia penyuka simetri. Jika ia berhadapan dengan sebuah ruang, maka ia akan membaginya menjadi dua bidang. Jika ia menaruh sebuah obyek di satu bidang, obyek yang sama harus ada pula di bidang yang lain. Dan letak obyek di kedua bidang itu harus sama, persis. Dia akan mengukur dengan teliti sekali letaknya. Berkali-kali.

Ayah saya seorang gardener, penyuka kebun yang hebat. Selama hidupnya, ia telah menanam banyak pohon. Jika ia menanam sebuah tanaman, misalnya pohon kelapa, di sebuah bidang, maka ia akan menanam dua pohon. Ia letakkan di dua bidang. Dia ukur dengan teliti letak dua pohon kelapa itu. Harus sama persis.

Kegemarannya pada simetri itu, barangkali, yang menjelaskan kenapa ayah saya menggemari syair Arab. Syair yang memang sangat simetris. Bukan hanya itu. Ia juga menggubah syair. Syair Arab mengenal metrum, sama dengan puisi-puisi tradisional yang lain — pantun di Melayu, macapat di Jawa. Metrum adalah patokan dalam puisi tradisional: berapa jumlah kata dalam satu bait, bagaimana polanya, bagaimana sebuah bait harus diakhiri, dst.

Ayah saya adalah penyuka berat syair Arab. Bukan. Lebih tepatnya, ia menyukai simetri dalam syair Arab. Dia penggemar ilmu al-‘Arud wa al-Qawafi, ilmu syair yang konon ditemukan oleh leksikograf Arab besar asal Basrah, Irak, Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 791 M).

Syair Arab mengenal aturan metrum (wazan) yang ketat sekali. Ada enam belas metrum utama dalam tradisi syair Arab. Ayah saya menguasainya dengan baik. Ada tiga metrum yang paling ia suka: rajaz, thawil dan basith. Metrum rajaz biasa dipakai oleh ulama Islam klasik dalam “versifying” atau membaitkan ilmu-ilmu bantu (‘ilm al-adawat, ‘ilm al-alat), seperti nahwu (Arabic grammar).

Kitab yang sangat populer di pesantren NU, Alfiyyah Ibn Malik, yang berisi seribu bait itu, menggunakan metrum rajaz. Dulu, waktu di pesantren, saya diharuskan menghafal seribu bait Alfiyyah. Jangan “ngeri” membayangkan beban menghafal bait sebanyak itu. Beban itu menjadi mudah karena metrum rajaz. Ia membuat kita mudah menghafalnya.

Tampaknya, metrum ini memang diciptakan orang Arab sebagai mnemonics, alat bantu untuk menghafal. Andai Chairil Anwar menggubah puisi-puisinya dengan metrum yang mirip-mirip rajaz, tentu saja murid-murid sekolah akan dengan mudah menghafal seluruh puisinya. Bukan hanya puisi “Aku” yang masyhur itu.

Ayah saya, entah dari mana asal-usulnya, gemar sekali menggubah syair Arab. Sejumlah kiai tradisional dari pesantren NU menulis buku, seperti Kiai Ihsan (Jampes, Kediri), Kiai Fadhal (Senori, Tuban), Kiai Ali Ma’sum (Krapyak, Yogyakarta), dan guru saya sendiri Kiai Sahal Mahfudz (Kajen, Pati). Mereka semua mengarang buku dalam bentuk prosa Arab.

Ayah saya lain sama sekali. Ia hanya mengarang dalam bentuk syair Arab. Hampir semua buku yang ia karang memakai bahasa Arab. Ini juga sesuatu yang tak lumrah. Ayah saya tak pernah belajar di Mekah. Ia murni produk lokal. Ia murid dan sekaligus menantu dari Kiai Muhammadun dari Pondowan, Pati – seorang ulama yang dikenal karena keahliannya berdebat dengan orang-orang Wahabi.

Kakek saya dan juga sekaligus guru ayah saya itu bukan seorang pengarang. Tetapi ayah menggemari karang-mengarang, dan dalam bahasa Arab. Hingga sekarang, saya tak tahu dari mana ketrampilan itu ia peroleh. Saya belum sempat menanyakan itu kepada ayah saya sampai ia wafat sebelas tahun yang lalu (mata saya mulai berkaca-kaca mengenangnya).

Ada beberapa buku yang ditulis oleh ayah saya. Yang paling populer adalah Al-Mifann. Berisi bait-bait mengenai kasus-kasus i’rab (semacam “case” dalam bahasa-bahasa Latin) yang sulit dalam bahasa Arab. Misalnya: frasa la siyyama (secara harafiah artinya: apalagi). Ini frasa yang sulit dari segi case atau i’rab-nya. Kitab ayah saya berisi “grammatical problems” semacam itu.

Al-Mifann, setahu saya, satu-satunya kitab yang ditulis oleh kiai Jawa, dalam bahasa Arab, mengenai tema ini. Saya belum pernah melihat ada kitab lain seperti ini. Kitab ini dibuka dengan bait bermetrum rajaz seperti ini:

Al-hamdu lillahi-lladzi dallat ‘alaih

‘Aja’ibul kauni wa auma’at ilaih

Kitab ini dikarang oleh ayah saya pada saat ia masih muda, pada awal 70an. Mula-mula ia mencetaknya dalam bentuk stensilan. Kitab ini beredar di kalangan terbatas di kawasan Kajen dan sekitarnya. Di luar Kajen, tak banyak orang yang tahu mengenai kitab ini. Sebab ayah saya bukanlah ulama besar. Ia hanyalah kiai kampung yang mengasuh pesantren kecil – Pesantren Mansajul ’Ulum. Hanya ada sekitar lima puluh santri saja di sana.

Belakangan, ayah saya mengarang sejumlah kitab yang lain. Yang layak saya sebut di sini adalah Ruh al-Tarjuman. Kitab ini, lagi-lagi, dalam bentuk syair, berisi ulasan tentang ‘arudh, ilmu bersyair. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab yang lebih besar yang ia karang sebelumnya, berjudul al-Tarjuman al-Syafi fi ‘Ilm al-‘Arud wa al-Qawafi. Kitab ini dibuka dengan bait berikut:

Hamdan li man sabba ‘aruda ni’matih

‘Ala qawafi man ‘uni bi khidmatih

Kitab terakhir yang saya anggap penting yang ditulis oleh ayah saya sebelum ia terkena stroke adalah Zad al-Mutafaqqih, berisi isthilahat al-fuqaha. Yakni: istilah-istilah yang dipakai para ulama fikih, terutama yang bermazhab Syafii, mazhab yang dominan di negeri kita.

Sekedar contoh: al-Ustaz. Kerapkali kata ini disebut tanpa keterangan siapa orangnya. Jika istilah ini dipakai tanpa keterangan apapun, yang dimaksud pasti seorang ulama besar mazhab Syafii bernama Abu Ishaq al-Shirazi (w. 1083 M). Ia pengarang dua kitab yang populer di pesantren-pesantren NU, al-Muhazzab dan al-Luma’. Saya cukup  beruntung bisa me-ngaji kitab ini dengan alm. Kiai Sahal Mahfudz (mantan Ketum MUI Pusat).

Belakangan, ayah saya menulis syarah atau komentar atas kitab ini dengan judul: Zad Mutafakkih Bi Zad al-Mutafaqqih. Syarah ini ia tulis dalam bentuk prosa, berbahasa Arab. Kitab ini dibuka dengan ungkapan yang khas pada kitab-kitab klasik dulu: Al-hamdu lillahi-lladzi  ja’ala kalimatai al-syahadataini zad al-mutafakkihina bikitabih.

Kitab dengan tema serupa, yaitu mengenai isthilahat al-fuqaha, ditulis oleh Kiai Sahal Mahfudz, berjudul al-Tsamarat al-Hajiniyya fi al-Istilahat al-Fiqhiyyah. Kitab ini (berbentuk syair juga) ditulis oleh Kiai Sahal jauh sebelum ayah saya. Tampaknya ayah saya diinspirasikan oleh kitab itu. Waktu di pesantren dulu, saya sempat me-ngaji kitab ini dengan Kiai Sahal langsung.

Ada beberapa kitab lain yang ditulis oleh ayah saya. Tapi tiga itu yang saya anggap paling penting. Di akhir hayatnya, ia sempat mulai menulis sebuah kitab mengenai balaghah (Arabic rhetoric, ilmu retorika bahasa Arab). Ayah saya pengagum berat kitab karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 1505 M) tentang balaghah, ‘Uqud al-Juman (kitab ini pernah saya hafal waktu di pesantren dulu). Ia hendak menulis sebuah kitab seperti itu.

Ia sudah memulai, tetapi terhenti di tengah jalan. Saya sempat melihat manuskrip karangan itu. Saya sudah tak tahu lagi, di mana naskah tulisan tangan ayah saya itu. Sekedar keterangan tambahan: Ayah saya memiliki khat atau tulisan tangan yang indah. Ia mengembangkan gaya khat sendiri. Lagi-lagi, ia mengembangkan khat yang simetris.

Ada sebuah buku kecil berbahasa Jawa dengan aksara Arab pegon yang ditulis ayah saya. Judulnya: Husn al-Irfad fi Ma’rifat Bani al-Irshad. Buku ini berisi sejarah dan daftar silsilah keluarga saya dari pihak ayah.

Menjelang sakit, saya tahu ayah saya ingin menulis kitab dalam bahasa Jawa. Tetapi niatnya itu tampaknya belum terlaksana.

Ayah saya yang penggemar simetri itu bernama Kiai Abdullah Rifai. Ia berasal dari Bugel, Jepara. Ia lelaki yang amat sederhana. Seluruh hidupnya ia lewatkan dalam keadaan yang miskin. Tetapi, saya tahu, ayah saya mempunyai kebanggaan yang tak bisa dibatalkan oleh apapun, termasuk kemiskinan. Yaitu ilmu. Seperti kakek, ayah saya adalah pembaca yang hebat. Seorang pangkaji ilmu yang amat teliti dan mendalam.

Momen paling menyedihkan dan selalu saya ingat adalah saat ayah saya terkena stroke. Suatu saat ia dijenguk teman sekelas waktu di madrasah dulu. Ia menangis seraya, dengan terbata-bata, dengan ujaran yang  tak jelas lagi, mengucapkan kalimat ini: “Ilmuku kok ilang kabeh sak iki ya.” (Ilmuku kok hilang semua sekarang ya).

Saya tahu, ilmu adalah satu-satunya kebanggaan ayah saya. Dan kebanggaanya itu, kini, telah hilang, karena stroke. Ia sedih bukan main. Saya, setiap kali  mengingat momen itu, tak kuasa menahan air mata. Ini sama dengan kesedihan seorang atlet yang kehilangan kemampuan fisiknya.

Saya ingin anda berbaik hati membacakan doa dan fatihah untuk ayah saya. Alfatihah…[]

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.