Home » Tokoh » Tentang Memori dan Patah Hati
Barbra Streisand (Foto: highdefdigest.com)

Tentang Memori dan Patah Hati Barbra Streisand

4.68/5 (22)

IslamLib – Belakangan saya senang sekali mendengarkan “Memory” dari seorang mahadiva, Barbra Streisand. Tak sedikitpun saya merasa bosan meski berulangkali ia diputar. Liriknya teramat indah juga mampu menyentuh kenangan paling tersembunyi yang hampir terlupakan. Lagu ini juga mampu menghadirkan kesadaran akan banyak hal; kesalahan-kesalahan masa lalu yang kerap abai kita renungkan. Saya menduga, penulisnya memiliki jenis memory sebagaimana ia ceritakan. Sebab dalam liriknya, ia bisa meresapi betul makna sebuah kenangan.

Coba dengar petikan pembukanya ini:

Midnight not a sound from the pavement/ Has the moon lost her memory/ She’s smiling alone/  In the lamplight the withered leaves collect at my feet and the wind begins to moan…

Memory, all alone in the moonlight/ I can dream of the old days/ Life was beautiful than/ I remember the time i knew what happiness was/ Let the memory live again…

Tentu saja. Rupanya T.S Elliot yang mengilhami lagu ini melalui puisinya: “Preludes” and “Rhapsody on a Windy Night“, hingga digubah oleh Tervor Nunn untuk drama musikalnya yang fenomenal: Cats.

Meski Eliane Page adalah pelantun pertama lagu ini, tetapi saya lebih menyukai versi yang dibawakan Barbra Streisand. Mungkin bagi sebagian orang ini hanya soal selera. Tetapi bagi saya tidak berhenti sampai di sana.

Sebuah lagu legendaris, yang biasanya dirilis berulangkali oleh para penyanyi belakangan, hanya menyisakan satu versi yang mampu menyentuh seorang pendengar. Lagi-lagi, meski ini tak lepas dari soal selera, tetapi memang selalu ada satu yang lebih menonjol dibanding yang lainnya. Setidaknya bagi saya. Entah karena momen yang melatarinya, atau sebab kualitas dari penyanyi itu sendiri.

Saya kira, sepertinya ini juga melibatkan sesuatu yang disebut chemistry antara seorang penyanyi dengan lagunya (juga dengan pendengarnya).

Misalnya The Way You Look Tonight versi Tony Bennett yang, bagi saya, lebih memikat dibandingkan milik Fred Astaire atau Frank Sinatra. Betapapun luar biasa kekaguman saya terhadap penyanyi yang terakhir ini.

Atau Over The Rainbow yang juga dikenal dengan judul Somewhere Over The Rainbow. Versi Judy Garland memang charming dan legendaris. Tetapi lagu ini lebih asyik di telinga saya ketika diberi sentuhan modern oleh Norah Jones atau Israel Kamakawiwoʻole.

Untuk Memory, Barbra Streisand mampu menghadirkan tema sesungguhnya dari lagu ini. Betapa ia mampu menghidupkan memory bukan sekedar sebuah judul lagu.

Saya menelusuri berbagai versinya, mencoba menikmati semuanya sepenuh hati. Tapi hanya improvisasi Barbra Streisand yang paling memikat. Terutama setelah menemukan video klip rekamannya di YouTube. Menyaksikan secara langsung bagaimana ia bernyanyi, semakin menambah bias saya terhadapnya.

Bagi saya, pemeran utama film Sydney Pollack, The Way We Were (1973), ini memiliki keistimewaan yang jarang dimiliki penyanyi sekarang. Terutama, tentu saja karena kualitas suaranya. Mendengar ia bernyanyi, saya seolah diantarkannya ke gerbang surga (imajinasi puncak keindahan).

Saya mulai menggandrungi suara emas Streisand melalui The Way We Were (original soundtrack untuk film dengan judul yang sama). Streisand berhasil membawa saya pada tahun-tahun yang digambarkan dalam film tersebut.

Dengan suaranya ia membius saya hingga terlena dalam perjalanan menembus waktu untuk menyaksikan sisi lain perang dunia kedua: ketika kisah-kisah cinta semburat melahirkan berbagai masterpiece, apakah dalam wujud film, musik, novel.

Mungkin terdengar berlebihan. Tetapi tidak sepenuhnya salah, saya kira. Gaya bercerita Streisand melalui lagu-lagunya bak permata yang sulit ditemukan pada penyanyi-penyanyi jaman sekarang.

Artikulasi yang ia hadirkan dalam setiap liriknya sangat jernih dan tegas. Bagi Anda yang sedang belajar english pronunciation, bisa juga mulai mengakrabi lagu-lagu yang dibawakannya.

Kecerdasan Streisand dalam mengatur dan memainkan nafas sungguh mengagumkan. Setiap lagu yang dibawakannya selalu berhasil menampilkan perpaduan bakat dan disiplinnya sebagai seorang biduan.

Kesan ini sangat terasa dalam Memory, The Way We Were ataupun Women in Love. Ketiganya menuntut seorang penyanyi dengan kualitas pengolahan nafas yang baik. Jeda dari satu bagian ke bagian lain di dalam tubuh lagu-lagu tersebut teramat pendek, bahkan nyaris tiada.

Streisand mampu memainkan karakter ketiganya dengan teknik canggih yang mengagumkan. Seringkali pada bagian-bagian teramat sulit, ketika orang begitu cemas ia akan kehabisan nafas, nyatanya ia mampu memukau pendengar lewat tarikan suara yang disemburkannya sepenuh tenaga.

Dalam Memory, Anda akan berjumpa dengan pengalaman ini sampai berulang-kali. Teknik tersebut ia lakukan juga pada The Way We Were dan Women In Love.

Sehingga ketika beberapa penyanyi merilis-ulang dengan versi berbeda, tak ada yang mampu mengisinya dengan jiwa sebagaimana diberikan Streisand. Versi belakangan cukup menarik, seperti The Way We Were oleh Vanessa Williams, sebab aransemen musiknya yang bisa lebih familiar untuk taste pendengar masa kini.

Intonasi yang diberikan Streisand untuk kata-kata tertentu dalam lagunya, akan membuat Anda membayangkan apa yang ingin ia ungkapkan. Atau membuat Anda merasa sebagai orang yang tengah diceritakan kisah hidupnya oleh sang diva. Dalam Memory, misalnya ketika ia sampai pada bagian:

Memory, all alone in the moonlight/ I can dream of the old days/ Life was beautiful than/
I remember the time i knew what happiness was/ Let the memory live again…

Dalam penggalan life was beatutiful than, ia memberi sentuhan intonasi yang kuat pada kata beautiful. Dengannya ia membuat kita membayangkan masa-masa mengagumkan dalam hidup ini. Betapa indah, betapa kita ingin kembali menyelami memory itu. Maka kita bisa saja tersenyum atau menangis ketika dihantarnya pada bagian yang satu ini.

Saat menyaksikan video Memory Streisand di YouTube, saya sampai tergugah untuk menjadi seorang penyanyi.

Streisand nampak bahagia, bersinar. Ia begitu menikmati setiap kata, setiap nada yang berhamburan ke arahnya. Ia memberi jiwa pada lagunya. Maka Anda akan melihat bagaimana setiap ungkapan diekspresikan sedemikian tepat olehnya. Teramat mengena.

Satu lagi kelebihan Streisand yang, menurut saya, cukup sulit ditandingi penyanyi lain adalah ketika ia mengantarkan kita pada perpisahan dengan lagunya. Khas lagu-lagu Streisand adalah nada bergerak meninggi menjelang titik penghabisan, namun tetap memuat kesyahduan yang magis. Ketika Memory sampai pada penggalan terakhir:

Touch me, it’s so easy to leave me
All alone with the memory
of my days in the sun
if you touch me you’ll understand what happiness is

Look a new day has begun…

Bagi saya, puncak dari Memory Streisand adalah di sini. Ketika seluruh unsur mengagumkan dalam gaya berceritanya menyatu: kualitas suara, pengolahan nafas, ekspresi. Semuanya mengarahkan ia dan kita pada orgasme berkepanjangan.

Maka seketika lagu itu berakhir, kesan yang dialirkannya akan terus terasa; mengirimkan hasrat untuk memutarnya lagi dan lagi; memberi enerji untuk turut menyanyikannya, menghayatinya.

Itulah Barbra Streisand. Seorang diva sejati. Yang tidak sekedar bernyanyi, namun mengabdi pada profesinya. Ia mampu menyematkan berbagai rasa untuk para pendengarnya: dari suka cita hingga nelangsa.

Dengan lagunya ia menemani seorang manusia yang tengah patah hati; mereka yang cemas pada usia tua dan ingin sedikit melalang kembali ke masa muda; atau ia yang tengah jatuh cinta. Kita akan terpana, betapa seseorang bisa memberi kehangatan pada orang lain melalui caranya yang terkadang kita pandang sederhana. []

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.